Rabu, 21 Mei 2014

Mei 1998 dan Maret 2014

Oleh Erwin FS
 
Pada bulan April 1998 pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani oleh IMF (International Monetary Fund). Peristiwa ini sangat menimbulkan gejolak karena sebelumnya di pertengahan 1997 terjadi krisis moneter yang menyebabkan melemahnya nilai rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar AS.

Rentetan dari krisis moeneter itu adalah krisis ekonomi, harga barang dan jasa melonjak, pengangguran besar besaran terjadi. Pemerintah yang sudah kadung mengikuti kontrak IMF tidak bisa berbuat banyak. Konsentrasi IMF yang cukup besar di sektor keuangan telah menyebabkan terabaikannya perhatian kepada ekonomi masyarakat kala itu.

Pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah melihat reaksi masyarakat terhadap kebijakan kenaikan harga BBM dan juga kondisi ekonomi politik sosial yang membutuhkan peredaaan ketegangan.


Kejatuhan Soeharto di kemudian hari ternyata tidak memunculkan kondisi ekonomi yang lebih baik setelah itu. Ini karena masa transisi demokrasi tidak mampu memberi solusi ekonomi yang mengedepankan keberpihakan kepada masyarakat, bahkan cenderung memperbesar ketimpangan ekonomi dan sosial.

Ada beberapa hal yang sepertinya sejalan, yaitu diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang bebas pada 1997 diikuti oleh praktik liberalisme ekonomi dan sosial. Sistem nilai tukar mengambang bebas ini idealnya diterapkan dalam kondisi ekonomi masyarakat sejahtera, bukan dalam kondisi miskin akibat terpaan krisis.

Praktik liberalisme ekonomi dan sosial juga terjadi akibat arahan IMF, baik langsung dan tidak langsung. Norma sosial di masyarakat juga mengalami perubahan dan cenderung destruktif. Dan hingga kini bisa dirasakan.

The Australian (14/3/14) mengutip pernyataan Presiden Center for Global Development, Nancy Birdsall menyatakan bahwa IMF akhirnya sadar kebijakannya telah menyebabkan ketimpangan. Nancy memberi apresiasi kepada IMF meskipun sangat terlambat (Kompas 13/4/14).

Kritikan terhadap IMF ini sebenarnya telah dinyatakan oleh para ekonom Indonesia sejak lama, termasuk pengajaran di bangku kuliah mahasiswa ilmu ekonomi. Namun kuatnya hegemoni IMF dan juga dukungan ekonom Indonesia pro IMF dan media terhadap kebijakan IMF menyebabkan ketimpangan di lapisan bawah masyarakat tidak mendapat perhatian yang memadai.

Munculnya otonomi daerah di saat kesejahteraan masyarakat masih rendah (akibat ketimpangan dari IMF) juga menimbulkan ketimpangan di daerah-daerah yang sering disebut sebagai raja-raja kecil. Namun demikian tetap ada juga yang memberikan prestasi dan kontribusi kemajuan ekonomi akibat pelaksanaan pemilu kepada daerah langsung yang memunculkan para pemimpin yang peduli dengan masyarakat.

Karakter masyarakat yang sudah jauh berubah adalah contoh nyata bagaimana kuatnya ketimpangan akibat kebijakan IMF.

Herry Tjahjono dalam tulisannya di Kompas (13/12/13) yang berjudul “Mengantre atau Mati” mengutip sebuah pendapat, perlu waktu 12 tahun bagi seorang siswa untuk pandai mengantre dan mengambil pelajaran dari mengantre tersebut. Dan perlu waktu 3 bulan secara intensif untuk mengajarkan seorang anak pandai meguasai pelajaran Matematika.

Sementara itu, Psikolog UI Sarlito Wirawan Sarwono dalam tulisannya di Kompas (11/12/13) yang berjudul “Mentalitas Penyerobot” memaparkan di jalan raya pengemudi saling serobot, jalur pejalan kaki diserobot pemotor, bantaran sungai dan jalur hijau diserobot pemukim liar. Sarlito menyebut, mentalitas orang Indonesia punya hobi menjadi tukang serobot.

Pendapat-pendapat itu memperlihatkan bahwa karakter masyarakat saat ini sudah memprihatinkan, di antaranya untuk masalah mengantre dan mental menyerobot. Para pelajar, mahasiswa maupun orang terdidik belum tentu bisa mengantre dengan baik. Sementara tindakan penyerobotan sudah terjadi demikian massif untuk berbagai bidang kehidupan.

Sudah kurang lebih 16 tahun kebijakan IMF yang menyebabkan ketimpangan ini mengubah karakter masyarakat Indonesia. Saatnya memperbaiki bangsa dengan membangun sistem yang mampu membentuk karakter masyarakat yang positif.

Para ekonom dan pengambil kebijakan sudah saatnya mendengarkan secara seksama aspirasi masyarakat, tidak melulu lembaga asing yang belum tentu bisa menyelami keinginan masyarakat.

21 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post