Oleh Erwin FS
Pada bulan April 1998 pemerintah
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sesuai dengan kesepakatan yang
ditandatangani oleh IMF (International Monetary Fund). Peristiwa ini
sangat menimbulkan gejolak karena sebelumnya di pertengahan 1997 terjadi
krisis moneter yang menyebabkan melemahnya nilai rupiah terhadap mata
uang asing, terutama dolar AS.
Rentetan dari krisis moeneter itu adalah
krisis ekonomi, harga barang dan jasa melonjak, pengangguran besar
besaran terjadi. Pemerintah yang sudah kadung mengikuti kontrak IMF
tidak bisa berbuat banyak. Konsentrasi IMF yang cukup besar di sektor
keuangan telah menyebabkan terabaikannya perhatian kepada ekonomi
masyarakat kala itu.
Pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
mengundurkan diri setelah melihat reaksi masyarakat terhadap kebijakan
kenaikan harga BBM dan juga kondisi ekonomi politik sosial yang
membutuhkan peredaaan ketegangan.
Kejatuhan Soeharto di kemudian hari
ternyata tidak memunculkan kondisi ekonomi yang lebih baik setelah itu.
Ini karena masa transisi demokrasi tidak mampu memberi solusi ekonomi
yang mengedepankan keberpihakan kepada masyarakat, bahkan cenderung
memperbesar ketimpangan ekonomi dan sosial.
Ada beberapa hal yang sepertinya
sejalan, yaitu diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang bebas pada
1997 diikuti oleh praktik liberalisme ekonomi dan sosial. Sistem nilai
tukar mengambang bebas ini idealnya diterapkan dalam kondisi ekonomi
masyarakat sejahtera, bukan dalam kondisi miskin akibat terpaan krisis.
Praktik liberalisme ekonomi dan sosial
juga terjadi akibat arahan IMF, baik langsung dan tidak langsung. Norma
sosial di masyarakat juga mengalami perubahan dan cenderung destruktif.
Dan hingga kini bisa dirasakan.
The Australian (14/3/14) mengutip
pernyataan Presiden Center for Global Development, Nancy Birdsall
menyatakan bahwa IMF akhirnya sadar kebijakannya telah menyebabkan
ketimpangan. Nancy memberi apresiasi kepada IMF meskipun sangat
terlambat (Kompas 13/4/14).
Kritikan terhadap IMF ini sebenarnya
telah dinyatakan oleh para ekonom Indonesia sejak lama, termasuk
pengajaran di bangku kuliah mahasiswa ilmu ekonomi. Namun kuatnya
hegemoni IMF dan juga dukungan ekonom Indonesia pro IMF dan media
terhadap kebijakan IMF menyebabkan ketimpangan di lapisan bawah
masyarakat tidak mendapat perhatian yang memadai.
Munculnya otonomi daerah di saat
kesejahteraan masyarakat masih rendah (akibat ketimpangan dari IMF) juga
menimbulkan ketimpangan di daerah-daerah yang sering disebut sebagai
raja-raja kecil. Namun demikian tetap ada juga yang memberikan prestasi
dan kontribusi kemajuan ekonomi akibat pelaksanaan pemilu kepada daerah
langsung yang memunculkan para pemimpin yang peduli dengan masyarakat.
Karakter masyarakat yang sudah jauh berubah adalah contoh nyata bagaimana kuatnya ketimpangan akibat kebijakan IMF.
Herry Tjahjono dalam tulisannya di
Kompas (13/12/13) yang berjudul “Mengantre atau Mati” mengutip sebuah
pendapat, perlu waktu 12 tahun bagi seorang siswa untuk pandai mengantre
dan mengambil pelajaran dari mengantre tersebut. Dan perlu waktu 3
bulan secara intensif untuk mengajarkan seorang anak pandai meguasai
pelajaran Matematika.
Sementara itu, Psikolog UI Sarlito
Wirawan Sarwono dalam tulisannya di Kompas (11/12/13) yang berjudul
“Mentalitas Penyerobot” memaparkan di jalan raya pengemudi saling
serobot, jalur pejalan kaki diserobot pemotor, bantaran sungai dan jalur
hijau diserobot pemukim liar. Sarlito menyebut, mentalitas orang
Indonesia punya hobi menjadi tukang serobot.
Pendapat-pendapat itu memperlihatkan
bahwa karakter masyarakat saat ini sudah memprihatinkan, di antaranya
untuk masalah mengantre dan mental menyerobot. Para pelajar, mahasiswa
maupun orang terdidik belum tentu bisa mengantre dengan baik. Sementara
tindakan penyerobotan sudah terjadi demikian massif untuk berbagai
bidang kehidupan.
Sudah kurang lebih 16 tahun kebijakan
IMF yang menyebabkan ketimpangan ini mengubah karakter masyarakat
Indonesia. Saatnya memperbaiki bangsa dengan membangun sistem yang mampu
membentuk karakter masyarakat yang positif.
Para ekonom dan pengambil kebijakan
sudah saatnya mendengarkan secara seksama aspirasi masyarakat, tidak
melulu lembaga asing yang belum tentu bisa menyelami keinginan
masyarakat.
21 Mei 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Recent Post
Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia
Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...
Popular Post
-
Oleh Erwin FS Jika ada manusia di dunia ini yang mengaku sebagai Tuhan, maka salah satunya adalah Firaun. “Dia (Firaun) berkata, “...
-
Oleh Erwin FS Perkembangan perbankan syariah yang begitu pesat di Indonesia patut diapresiasi. Perbankan syariah sebagai bagian ...
-
Oleh Erwin FS Abstrak Perkembangan bank syariah termasuk cukup pesat, terutama setelah tahun 1998, namun dilihat dari segi aset masih...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar