Kamis, 21 November 2002

Hutang Luar Negeri dan Terorisme

Oleh Erwin FS


Pada tahun 1985, dalam Pioneers in Development, WW Rostow menyatakan bahwa suatu negara dapat tinggal landas jika sudah tidak tergantung kepada hutang luar negeri. Pendapat Rostow ini sangat bersesuaian dengan kondisi yang tengah dialami oleh negara-negara berkembang pada saat ini, termasuk Indonesia.

Hutang luar negeri yang membengkak pada suatu negara secara logika berarti negara tersebut belum bisa lepas landas. Namun di luar hal tersebut, hutang luar negeri telah digunakan sebagai instrumen penekan negara-negara donor untuk menyalurkan kepentingannya kepada negara-negara pengutang.

Salah satu contoh nyata tekanan ini adalah kasus Pakistan. Pakistan berhasil mendapatkan pemotongan hutang dengan imbalan Amerika menjadikan negara tersebut sebagai pangkalan militer dalam invasi ke Afghanistan dengan alasan memerangi teroris.

Negara-negara berkembang sebelum kasus peledakan WTC sebenarnya sudah mengalami beban hutang yang berat. Namun setelah peristiwa 11 September 2001 tersebut, sebagian negara-negara berkembang semakin merasakan kesusahan. Indonesia sebagai negara berkembang telah dituduh sebagai sarang teroris dan juga merupakan bagian dari jaringan teroris internasional. Tuduhan ini sangat menyudutkan Indonesia dalam pergaulan internasional.

Ironisnya, yang dituduhkan tersebut adalah umat Islam. Namun, dari dalam negeri muncul perlawanan yang mengakibatkan Amerika sepertinya terpaksa harus menyebarkan film yang menggambarkan bahwa teroris yang dicari oleh Amerika bukanlah umat Islam. Film tersebut menggambarkan bagaimana kehidupan kaum muslim di Amerika yang sudah menyatu dengan warga lainnya dan mendapat perlakuan yang baik.

Namun sayangnya, di tengah propaganda Amerika tersebut, Australia melakukan penggeledahan dan penangkapan kepada orang Indonesia dengan paksa. Orang Indonesia yang dimaksud adalah beragama Islam. Dengan demikian nampaknya sulit menafikan bahwa teroris yang sangat dibenci oleh Amerika, Singapura maupun Australia adalah umat Islam.

Amerika dan Australia yang sangat mengetahui rasionalitas tiba-tiba kehilangan rasionalitasnya ketika menuduh Abu Bakar Baasyir sebagai teroris yang terkait dengan pengeboman Bali. Secara rasional, sangat sulit menduga bahwa Abu Bakar Baasyir mampu mendapat atau membuat bom yang berkekuatan dahsyat. Namun dalam masalah seperti ini, Amerika dan Australia sepertinya mengesampingkan rasionalitas yang merupakan kebanggaan orang-orang kulit putih.

Banyak pengamat, akademisi, maupun politisi menduga bahwa pemerintah Indonesia mengalami tekanan yang sangat kuat dari masyarakat internasional (khususnya Amerika) sehingga dengan sangat terpaksa menjalankan pesanan Amerika untuk menangkap Abu Bakar Baasyir. Ironisnya, pemerintah tidak melakukan klarifikasi atas pendapat ini dan bahkan terkesan tidak mampu menunjukkan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat.

Kondisi demikian nampaknya terkait dengan ketergantungan Indonesia kepada Barat dalam masalah hutang. Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar telah menjadi instrumen yang ampuh bagi Barat untuk melakukan tekanan. Tekanan itu ternyata berhasil dan pemerintah sendiri terkesan tidak memiliki posisi tawar yang cukup kuat, seolah-olah posisinya memang demikian.

Sesungguhnya Indonesia memiliki posisi tawar yang cukup kuat dalam negosiasi hutang maupun dalam menghadapi tekanan semisal dari Amerika. Hanya saja posisi tawar tersebut seperti tidak mampu dimunculkan oleh pemerintah. Pendapat yang menyatakan bahwa dengan adanya bom Bali maupun tuduhan sebagai sarang teroris akan berakibat negatif terhadap ekonomi Indonesia tidaklah benar secara keseluruhan.

Dari sudut ilmu ekonomi, Indonesia memang tergolong sebagai small country yang berarti negara yang tidak mampu mempengaruhi pasar dan juga bukan sebagai penentu harga. Namun demikian, daya tarik Indonesia terhadap pihak asing sangatlah kuat.

Pemerintah Amerika dan Australia boleh saja mengeluarkan larangan bepergian ke Indonesia. Keduanya boleh saja mengatakan bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Akan tetapi bagi para pengusaha asing, terutama yang berasal dari Amerika dan Australia, tidaklah demikian. Mereka masih sangat antusias ingin melakukan investasi di Indonesia.

Ini berarti para pengusaha asing tersebut sebenarnya mengetahui dan mengakui (secara tidak langsung) bahwa penduduk Indonesia bukanlah teroris. Pemerintah asing boleh saja melakukan tekanan politik ala Machiavelli, namun pengusaha mereka justru melakukan lobi-lobi untuk mendapatkan peluang berinvestasi di Indonesia.

Tekanan politik dan opini yang dimunculkan oleh Amerika, Australia dan Singapura boleh saja sangat menekan pemerintah Indonesia. Namun bagi para pelaku ekonomi dari ketiga negara tersebut, mereka masih memandang bahwa potensi ekonomi Indonesia sangatlah menjanjikan. Dengan melihat hal ini, sebenarnya pemerintah Indonesia tidak perlu berhutang lagi karena tanpa hutangpun ekonomi Indonesia akan mengalami pemulihan yang juga dibantu oleh para pengusaha asing.

Disamping itu, opini sebagai sarang teroris juga bisa dihadapi dengan arif dan kesatria. Hanya saja posisi politik pemerintah yang lemah dan korup membuat bangsa ini "dininabobokan" oleh hutang dan takut terhadap tekanan politik dan opini dari pemerintah asing yang tak selalu benar faktanya. Pada suatu saat mungkin akan muncul teori baru yang mengaitkan antara jumlah hutang suatu negara dengan terorisme. Perlu diingat, hutang luar negeri Indonesia sudah sangat banyak. Apakah ini lahan yang empuk untuk memojokkan Indonesia sebagai sarang teroris? Wallahu a'lam
Artikel ini dimuat di Peka Online (www.peka.or.id) 21 Nopember 2002

Selasa, 12 November 2002

Transisi untuk Transisi

Oleh Erwin FS

Kejatuhan Orde Baru telah kita lihat dan alami bersama-sama. Seiring dengan itu ada berbagai harapan yang timbul akibat kejatuhan Orde Baru tersebut. Satu di antaranya adalah peran sipil dalam mengelola negara.
Namun sayangnya, sampai saat ini, mereka yang diberi amanah untuk mengelola pemerintahan dengan baik tidak mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan. Bahkan ada kesan yang timbul bahwa maraknya korupsi akibat pemerintahan dikelola oleh sipil. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah.

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post