Kamis, 20 Mei 2010

102 Tahun Kebangkitan Nasional

Oleh Erwin FS


Secara resmi tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Tanggal 20 Mei 1908 berdiri Budi Utomo, sebuah pergerakan yang mencita-citakan perubahan perbaikan bagi rakyat Indonesia dan juga untuk membangkitkan kesadaran masyarakat akan nasionalisme. Saat itu Belanda tengah menjajah Indonesia. Banyak negara-negara di Asia yang pada saat itu berada dalam cengkeraman penjajahan.
Ingatan saya menerawang ke bangku sekolah, terutama pelajaran sejarah. Waktu itu disebutkan yang mendorong kebangkitan nasional di Indonesia adalah kemenangan Jepang atas Rusia. Lalu juga disebutkan munculnya gerakan Turki Muda. Pada waktu itu saya menerima saja apa yang disampaikan guru dan juga buku pelajaran. Namun pada saat ini, setelah saya membaca sedikit sejarah mengenai Turki, maka nampaknya tidak ada kaitan antara gerakan Turki Muda dengan kebangkitan nasional di Indonesia. Justru yang ada adalah berita suram bagi umat Islam di seluruh dunia saat itu.
Pada tanggal 3 Maret 1924, Majelis Besar Nasional Turki menghapuskan lembaga kekhalifahan. Dengan berakhirnya kekhalifahan ini, maka umat Islam tidak memiliki kepemimpinan global lagi. Kekhalifahan Turki Utsmani adalah kekhalifahan terakhir yang dimiliki oleh umat Islam di dunia yang berumur 1300 tahun.
Dengan sistematis umat Islam dibagi wilayahnya menjadi negara-negara kecil dan terpengaruh dengan isu nasionalisme yang hanya memandang negaranya saja sebagai unit tertinggi pemerintahan dan wilayah yang mesti diperjuangkan, dan ini merupakan konsekuensi logis dari keterjajahan mereka. Dan yang tak kalah penting, semenjak kejatuhan kekhalifahan dan terjajahnya dunia Islam, Palestina pun lepas dan jatuh ke dalam belenggu Zionis Yahudi.
Keinginan kuat untuk berislam dalam bingkai negara sebagai bagian dari nasionalisme juga diperjuangkan oleh umat Islam di Indonesia dari masa ke masa. Namun sayangnya tidak berlangsung mulus. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disebut piagam Jakarta pada waktu itu, memuat ketentuan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi umat Islam. Namun akhirnya gagal menjadi bagian dari UUD 1945. Demikian pula ketika Konstituante berdebat panjang tentang pembentukan Undang-Undang Dasar yang baru dimana ada keinginan dari umat Islam menjadikan Islam sebagai dasar negara pada saat itu. Lagi-lagi hal ini gagal karena Presiden Sukarno membubarkan Konstituante. Presiden Sukarno juga membubarkan Masyumi, yang bisa dikatakan sebagai representasi umat Islam (bersama dengan NU) pada waktu itu.
Kemudian era pemerintahan Suharto, nasionalisme dalam bingkai Islam tidak mendapat tempat karena dianggap akan mengganggu kestabilan (yang pada saat itu menjadi bagian dari trilogi pembangunan). Dan setelah Suharto jatuh, umat Islam kembali bangkit namun belum terorganisir maupun terkoordinasi. Silaturahim belum optimal, menyebabkan mudahnya fitnah dan kebencian berkembang. Kedewasaan dalam memimpin umat belum terbangun. Setelah 12 tahun kejatuhan Suharto, banyak yang harus diperbaiki pada tubuh umat Islam yang sedang membangun nasionalismenya.
Nasionalisme umat Islam terbagi ke dalam dua dimensi, yaitu internal dan internasional. Dimensi internal mengarah kepada negara dan bangsa Indonesia, dan dimensi internasional mengarah kepada kemerdekaan bangsa-bangsa. Saat ini Palestina masih dijajah oleh Zionis Israel yang mendapat dukungan dari Amerika dan Barat. Selama Palestina masih dijajah, maka selama itu pulalah umat Islam dari berbagai belahan negara lain memperjuangkan kemerdekaannya. Dalam hal ini banyak juga umat Islam yang belum meyadari pentingnya kemerdekaan Palestina yang sesungguhnya pernah menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmani. Hal ini wajar karena selama bertahun-tahun ada sebagian umat Islam menganggap Palestina bukan urusan mereka.
Kejatuhan Suharto pada bulan Mei 1998 adalah usia ke-90 tahun kebangkitan nasional. Kemudian pada tahun 2008 memasuki usia yang ke-100. Tahun ini usia kebangkitan nasional itu telah mencapai 102 tahun. Usia 102 tahun bagi sebuah kebangkitan adalah usia yang sudah matang. Namun hal itu terpulang kepada masyarakat dan bangsa itu sendiri, apakah mereka betul-betul bisa bangkit atau sedang terjatuh saat ini.
Kebangkitan sebuah bangsa akan tergantung dari kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Jika hal ini diarahkan kepada umat Islam, nampaknya kita mesti banyak belajar bagaimana membangkitkan umat dari kejatuhannya (dan bukan dari tidur lelapnya). Umat Islam di Indonesia pada saat ini dalam kondisi terpuruk. Perlu pembenahan mental.
Lalu siapa yang bisa membenahi mental umat Islam? Konsekuensi dari ketiadaan pemimpin di level dunia maupun nasional bagi umat Islam menjadi organisasi dan gerakan Islam sebagai leading sector pembenahan mental umat. Untuk itu, sangat penting bagi organisasi dan gerakan Islam memelihara silaturahim, menegakkan tabayyun dan baik sangka di antara sesama mereka. Tanpa hal tersebut, maka umat Islam justru akan semakin terpuruk tanpa mereka sadari.
Kebangkitan nasional tanpa kebangkitan umat Islam tidak akan melahirkan Indonesia yang lebih baik. Hari ini kita bisa lihat, setelah 102 tahun usia kebangkitan nasional dan 12 tahun kejatuhan Suharto, yang menguat justru individualisme, kapitalisme neoliberal, dan isme-isme lain yang cenderung merusak tatanan masyarakat. Berbagai bencana alam, kini sudah dimaknai oleh kesalahan teknis manusia atau perjalanan sains, bukan lagi teguran dari Allah SWT.
Optimisme tetap ada dan memancar dari sebagian umat Islam. Kini sudah berdiri bank syariah, lembaga pengelola zakat indak shodaqoh, sekolah-sekolah Islam, dan juga semakin banyak akademisi, intelektual, profeional yang mencurahkan potensinya untuk berkembangnya Islam. Aspirasi umat Islam sudah mulai diakomodasi. Dan satu hal yang juga menggembirakan, kini banyak orang semakin sadar bahwa nilai-nilai Islam itu banyak yang bersifat universal seperti masalah kebersihan lingkungan, pemberian bantuan bagi orang tak mampu, menjalankan ekonomi yang berkeadilan, dan hal-hal lainnya.
Namun demikian, masih perlu kerja keras menuju kebangkitan riil. Tidak sekedar seremonial sehingga melupakan evaluasi dari tahun ke-tahun. Kebangkitan akan bisa dimaknai oleh umat Islam jika mereka telah memiliki pemimpin. Ketiadaan pemimpin akan menyebabkan mudah terpecah, menyebarnya fitnah dan saling membenci. Inilah konsekuensi logis dari penghapusan kekhalifahan di tahun 1924.
Seiring berjalannya waktu, nasionalisme yang mungkin dibingkaikan oleh umat Islam pada saat ini adalah nasionalisme kemajemukan. Dalam kondisi majemuk, yang menjadi fokus perhatian adalah nilai-nilai Islam yang universal, seperti pemerintahan yang bersih, amanah, bertanggung jawab, peduli, responsif, adil, anti penjajahan dan nilai nilai lain yang menjadi konsensus bersama antar berbagai kelompok.
Turki adalah salah satu model yang bisa dilihat setidaknya pada saat ini. Bahkan Perdana Menteri Turki, Recep Tayyib Erdogan masuk ke dalam 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Time. Ini artinya, ada nilai-nilai yang diakui oleh Barat mengenai kebijakan dan sepak terjang Turki dalam membantu, menjembatani dan juga membela dunia Islam dan hubungannya dengan Barat.
Jika melihat sejarah munculnya Islam di jazirah Arab, masyarakat Arab yang tadinya tidak dikenal atau dihormati dunia seiring dengan datangnya risalah Islam oleh Nabi Muhammad SAW mengalami kebangkitan. Daerah yang tandus ternyata masyarakatnya mampu menjadi guru bagi peradaban dunia. Nabi Muhammad telah melakukan proses pembentukan SDM yang bertaraf internasional yang menjadikan Islam memimpin dunia selama 1300 tahun. Nasionalisme yang tadinya hanya merupakan gerakan dan ikatan kesukuan berubah menjadi ikatan batin, moral dan persaudaraan. Pada saat ini, Indonesia khususnya umat Islam membutuhkan ikatan semacam itu, ikatan moral, persaudaraan yang dibingkai oleh nilai-nilai universal sehingga tercipta konsensus jalannya kehidupan.
Di akhir tulisan ini saya mengutip perkataan Umar bin Khaththab r.a, salah seorang dari Khulafaur Rasyidin, ”Tidak ada Islam melainkan dengan jamaah, tidak ada jamaah kecuali dengan imamah (kepemimpinan) dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan”. Semoga momentum kebangkitan nasional bisa memberikan hikmah bagi kita untuk menjadikan Indonesia lebih baik lagi meskipun hanya berupa titik kecil dalam sebuah lukisan.
Jakarta, 20 Mei 2010

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post