Secara resmi tanggal
20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Tanggal 20 Mei
1908 berdiri Budi Utomo, sebuah pergerakan yang mencita-citakan
perubahan perbaikan bagi rakyat Indonesia dan juga untuk membangkitkan
kesadaran masyarakat akan nasionalisme. Saat itu Belanda tengah menjajah
Indonesia. Banyak negara-negara di Asia yang pada saat itu berada dalam
cengkeraman penjajahan.
Ingatan
saya menerawang ke bangku sekolah, terutama pelajaran sejarah. Waktu
itu disebutkan yang mendorong kebangkitan nasional di Indonesia adalah
kemenangan Jepang atas Rusia. Lalu juga disebutkan munculnya gerakan
Turki Muda. Pada waktu itu saya menerima saja apa yang disampaikan guru
dan juga buku pelajaran. Namun pada saat ini, setelah saya membaca
sedikit sejarah mengenai Turki, maka nampaknya tidak ada kaitan antara
gerakan Turki Muda dengan kebangkitan nasional di Indonesia. Justru yang
ada adalah berita suram bagi umat Islam di seluruh dunia saat itu.
Pada
tanggal 3 Maret 1924, Majelis Besar Nasional Turki menghapuskan lembaga
kekhalifahan. Dengan berakhirnya kekhalifahan ini, maka umat Islam
tidak memiliki kepemimpinan global lagi. Kekhalifahan Turki Utsmani
adalah kekhalifahan terakhir yang dimiliki oleh umat Islam di dunia yang
berumur 1300 tahun.
Dengan
sistematis umat Islam dibagi wilayahnya menjadi negara-negara kecil dan
terpengaruh dengan isu nasionalisme yang hanya memandang negaranya saja
sebagai unit tertinggi pemerintahan dan wilayah yang mesti
diperjuangkan, dan ini merupakan konsekuensi logis dari keterjajahan
mereka. Dan yang tak kalah penting, semenjak kejatuhan kekhalifahan dan
terjajahnya dunia Islam, Palestina pun lepas dan jatuh ke dalam belenggu
Zionis Yahudi.
Keinginan
kuat untuk berislam dalam bingkai negara sebagai bagian dari
nasionalisme juga diperjuangkan oleh umat Islam di Indonesia dari masa
ke masa. Namun sayangnya tidak berlangsung mulus. Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang disebut piagam Jakarta pada waktu itu,
memuat ketentuan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi umat Islam.
Namun akhirnya gagal menjadi bagian dari UUD 1945. Demikian pula ketika
Konstituante berdebat panjang tentang pembentukan Undang-Undang Dasar
yang baru dimana ada keinginan dari umat Islam menjadikan Islam sebagai
dasar negara pada saat itu. Lagi-lagi hal ini gagal karena Presiden
Sukarno membubarkan Konstituante. Presiden Sukarno juga membubarkan
Masyumi, yang bisa dikatakan sebagai representasi umat Islam (bersama
dengan NU) pada waktu itu.
Kemudian
era pemerintahan Suharto, nasionalisme dalam bingkai Islam tidak
mendapat tempat karena dianggap akan mengganggu kestabilan (yang pada
saat itu menjadi bagian dari trilogi pembangunan). Dan setelah Suharto
jatuh, umat Islam kembali bangkit namun belum terorganisir maupun
terkoordinasi. Silaturahim belum optimal, menyebabkan mudahnya fitnah
dan kebencian berkembang. Kedewasaan dalam memimpin umat belum
terbangun. Setelah 12 tahun kejatuhan Suharto, banyak yang harus
diperbaiki pada tubuh umat Islam yang sedang membangun nasionalismenya.
Nasionalisme
umat Islam terbagi ke dalam dua dimensi, yaitu internal dan
internasional. Dimensi internal mengarah kepada negara dan bangsa
Indonesia, dan dimensi internasional mengarah kepada kemerdekaan
bangsa-bangsa. Saat ini Palestina masih dijajah oleh Zionis Israel yang
mendapat dukungan dari Amerika dan Barat. Selama Palestina masih
dijajah, maka selama itu pulalah umat Islam dari berbagai belahan negara
lain memperjuangkan kemerdekaannya. Dalam hal ini banyak juga umat
Islam yang belum meyadari pentingnya kemerdekaan Palestina yang
sesungguhnya pernah menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmani. Hal
ini wajar karena selama bertahun-tahun ada sebagian umat Islam
menganggap Palestina bukan urusan mereka.
Kejatuhan
Suharto pada bulan Mei 1998 adalah usia ke-90 tahun kebangkitan
nasional. Kemudian pada tahun 2008 memasuki usia yang ke-100. Tahun ini
usia kebangkitan nasional itu telah mencapai 102 tahun. Usia 102 tahun
bagi sebuah kebangkitan adalah usia yang sudah matang. Namun hal itu
terpulang kepada masyarakat dan bangsa itu sendiri, apakah mereka
betul-betul bisa bangkit atau sedang terjatuh saat ini.
Kebangkitan
sebuah bangsa akan tergantung dari kualitas sumberdaya manusia (SDM)
yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Jika hal ini diarahkan kepada umat
Islam, nampaknya kita mesti banyak belajar bagaimana membangkitkan umat
dari kejatuhannya (dan bukan dari tidur lelapnya). Umat Islam di
Indonesia pada saat ini dalam kondisi terpuruk. Perlu pembenahan mental.
Lalu
siapa yang bisa membenahi mental umat Islam? Konsekuensi dari ketiadaan
pemimpin di level dunia maupun nasional bagi umat Islam menjadi
organisasi dan gerakan Islam sebagai leading sector pembenahan mental
umat. Untuk itu, sangat penting bagi organisasi dan gerakan Islam
memelihara silaturahim, menegakkan tabayyun dan baik sangka di antara
sesama mereka. Tanpa hal tersebut, maka umat Islam justru akan semakin
terpuruk tanpa mereka sadari.
Kebangkitan
nasional tanpa kebangkitan umat Islam tidak akan melahirkan Indonesia
yang lebih baik. Hari ini kita bisa lihat, setelah 102 tahun usia
kebangkitan nasional dan 12 tahun kejatuhan Suharto, yang menguat justru
individualisme, kapitalisme neoliberal, dan isme-isme lain yang
cenderung merusak tatanan masyarakat. Berbagai bencana alam, kini sudah
dimaknai oleh kesalahan teknis manusia atau perjalanan sains, bukan lagi
teguran dari Allah SWT.
Optimisme
tetap ada dan memancar dari sebagian umat Islam. Kini sudah berdiri
bank syariah, lembaga pengelola zakat indak shodaqoh, sekolah-sekolah
Islam, dan juga semakin banyak akademisi, intelektual, profeional yang
mencurahkan potensinya untuk berkembangnya Islam. Aspirasi umat Islam
sudah mulai diakomodasi. Dan satu hal yang juga menggembirakan, kini
banyak orang semakin sadar bahwa nilai-nilai Islam itu banyak yang
bersifat universal seperti masalah kebersihan lingkungan, pemberian
bantuan bagi orang tak mampu, menjalankan ekonomi yang berkeadilan, dan
hal-hal lainnya.
Namun
demikian, masih perlu kerja keras menuju kebangkitan riil. Tidak
sekedar seremonial sehingga melupakan evaluasi dari tahun ke-tahun.
Kebangkitan akan bisa dimaknai oleh umat Islam jika mereka telah
memiliki pemimpin. Ketiadaan pemimpin akan menyebabkan mudah terpecah,
menyebarnya fitnah dan saling membenci. Inilah konsekuensi logis dari
penghapusan kekhalifahan di tahun 1924.
Seiring
berjalannya waktu, nasionalisme yang mungkin dibingkaikan oleh umat
Islam pada saat ini adalah nasionalisme kemajemukan. Dalam kondisi
majemuk, yang menjadi fokus perhatian adalah nilai-nilai Islam yang
universal, seperti pemerintahan yang bersih, amanah, bertanggung jawab,
peduli, responsif, adil, anti penjajahan dan nilai nilai lain yang
menjadi konsensus bersama antar berbagai kelompok.
Turki
adalah salah satu model yang bisa dilihat setidaknya pada saat ini.
Bahkan Perdana Menteri Turki, Recep Tayyib Erdogan masuk ke dalam 100
orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Time. Ini artinya, ada
nilai-nilai yang diakui oleh Barat mengenai kebijakan dan sepak terjang
Turki dalam membantu, menjembatani dan juga membela dunia Islam dan
hubungannya dengan Barat.
Jika
melihat sejarah munculnya Islam di jazirah Arab, masyarakat Arab yang
tadinya tidak dikenal atau dihormati dunia seiring dengan datangnya
risalah Islam oleh Nabi Muhammad SAW mengalami kebangkitan. Daerah yang
tandus ternyata masyarakatnya mampu menjadi guru bagi peradaban dunia.
Nabi Muhammad telah melakukan proses pembentukan SDM yang bertaraf
internasional yang menjadikan Islam memimpin dunia selama 1300 tahun.
Nasionalisme yang tadinya hanya merupakan gerakan dan ikatan kesukuan
berubah menjadi ikatan batin, moral dan persaudaraan. Pada saat ini,
Indonesia khususnya umat Islam membutuhkan ikatan semacam itu, ikatan
moral, persaudaraan yang dibingkai oleh nilai-nilai universal sehingga
tercipta konsensus jalannya kehidupan.
Di
akhir tulisan ini saya mengutip perkataan Umar bin Khaththab r.a, salah
seorang dari Khulafaur Rasyidin, ”Tidak ada Islam melainkan dengan
jamaah, tidak ada jamaah kecuali dengan imamah (kepemimpinan) dan tidak
ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan”. Semoga momentum kebangkitan
nasional bisa memberikan hikmah bagi kita untuk menjadikan Indonesia
lebih baik lagi meskipun hanya berupa titik kecil dalam sebuah lukisan.
Jakarta, 20 Mei 2010