Selasa, 29 April 2008

Menghadapi Krisis SDM

Oleh Erwin FS


Inti dari permasalahan sumber daya manusia (SDM) adalah masalah produktivitas. Semakin memiliki keahlian dan pendidikan yang lebih tinggi/banyak maka individu akan semakin produktif. Pendidikan memegang peran penting dalam meningkatkan produktivitas individu dan masyarakat. Masyarakat negara maju yang umumnya bependidikan lebih tinggi dari masyarakat negara berkembang menghasilkan produktivitas lebih tinggi, dan tidak terfokus kepada hal yang berkaitan dengan pekerjaan saja tetapi untuk semua aspek kehidupan.
Dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), salah satu tujuan berdirinya negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah melalui pendidikan. Dalam perbaikan UUD 1945, anggaran untuk pendidikan dipatok sebesar 20 persen dari APBN dan APBD. 
 
Tadinya anggaran 20 persen dikhususkan untuk pendidikan saja, sementara gaji guru tidak termasuk di dalamnya. Namun keputusan Mahkamah Konstitusi menjadikan gaji guru termasuk di dalam anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Sebelum keputusan ini muncul, banyak pihak yang melakukan aksi demonstrasi menuntut agar pemerintah merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen, dan muncul isu impeachment jika angka 20 persen tidak bisa tercapai. Permintaan tersebut tidak bisa terpenuhi dengan alasan pemerintah juga memperhatikan sektor lain yang tidak kalah penting dengan pendidikan. Meskipun tidak sampai 20 persen realisasi anggaran pendidikan, peningkatan telah terjadi. Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama mendapatkan bantuan dari pemerintah sehingga biaya SPP bisa digratiskan untuk masyarakat. Masyarakatpun menikmati pendidikan gratis untuk SD dan SMP, meskipun baru terbatas pada SPP dan buku. 
Dengan adanya penggabungan gaji guru ke dalam anggaran pendidikan, peluang untuk peningkatan kualitas pendidikan sedikit demi sedikit pudar. Harapan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa juga tidak tersampaikan. Pendidikan gratis untuk SD dan SMP cukup membantu masyarakat yang saat ini tengah menghadapi kenaikan harga barang dan jasa. Jika pemda bisa menggratiskan untuk SMA (Sekolah Menengah Atas) atau SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), maka harapan masyarakat agar anaknya bisa mendapatkan pendidikan lebih baik akan terpenuhi. Namun sayangnya tidak semua pemda yang mampu menggratiskan biaya pendidikan SMA/SMK. Padahal, jika anggaran dari pusat bisa terpenuhi 20 persen ditambah dengan dana dari daerah kemungkinan akan mampu menggratiskan biaya pendidikan hingga tingkat SMA. 
Bantuan pemerintah pusat untuk pendidikan SD dan SMP adalah sebuah kebijakan yang bisa meningkatkan kualitas SDM rakyat Indonesia. Di era Orde Baru, banyak masyarakat yang hanya tamat SD. Dengan kebijakan pendidikan gratis untuk SD dan SMP, berarti akan menghilangkan masyarakat yang tamat SD, dan menjadikan setidaknya masyarakat bisa tamat SMP. Namun, jika rata-rata masyarakat Indonesia tamat SMP tetap tidak akan mampu bersaing dengan negara lain. Apa yang bisa dibanggakan jika rata-rata masyarakat Indonesia adalah tamatan SMP, sementara negara-negara lain penduduknya rata-rata tamatan SMA ataupun tamatan universitas. Indonesia akan menjadi pasar tenaga kerja murah jika rata-rata masyarakatnya tamatan SMP.

Pada saat ini saja, tamatan SMA sudah kalah bersaing dengan lulusan universitas dalam pasar tenaga kerja Indonesia. Tamatan SMA yang mujur, bisa menjadi pegawai negeri sipil. Sementara yang kurang beruntung akan bekerja di sektor swasta atau non formal dengan penghasilan yang kurang memadai. Lingkaran kemiskinan sudah mulai memasuki mereka. Anak-anak mereka akan kurang terperhatikan untuk menikmati pendidikan karena penghasilan orang tuanya yang tidak mencukupi. Jika orang yang tamat SMA sudah tidak bisa bersaing, tentunya orang yang tamat SMP akan bernasib lebih buruk lagi. 
 
Hal ini menggambarkan akan terjadi krisis SDM di Indonesia. Krisis ini jauh lebih berbahaya jika dibandingkan dengan krisis moneter yang menimpa Indonesia dekade 90an. Krisis SDM akan memperburuk kualitas masyarakat Indonesia. Dan saat ini tanda-tanda tersebut sudah nampak. Misalnya, gizi buruk yang melanda sebagian masyarakat Indonesia. Sebagian mereka adalah orang miskin yang berpenghasilan rendah. Disamping itu, kematian seorang ibu hamil dan anaknya yang dikabarkan tidak makan beberapa hari juga menjadi pertanda telah terjadi krisis SDM. 
 
Orang-orang miskin umumnya berpendidikan rendah dan berpenghasilan rendah. Anak-anak mereka ada yang bekerja membantu orang tuanya, ada yang sekolah namun tidak sampai tamat akibat kesulitan biaya, ada juga yang akhirnya menjadi peminta-minta. Sebagian orang miskin tersebut tidak terdaftar sebagai penduduk resmi di RT, RW atau Kelurahan. Mereka yang tidak terdaftar ini tidak terpantau oleh pemerintah dan akhirnya hak-hak mereka tidak bisa diberikan oleh pemerintah. Namun, orang miskin yang memiliki bukti-bukti administratif di RT, RW dan Kelurahan juga banyak yang tidak mendapatkan haknya. 

SMK dan Kewirausahaan
Jika seluruh masyarakat Indonesia setidaknya tamatan SMP adalah sebuah prestasi yang cukup baik untuk saat ini. Namun jika kita melihat masih banyak anak usia sekolah (SD-SMP) yang berkeliaran pada jam sekolah menunjukkan bahwa masih sulit untuk menjadikan seluruh anak usia sekolah itu mendapatkan haknya yang minimal yaitu menamatkan SMP. Akan tetapi usaha untuk menggratiskan pendidikan dasar tetap perlu didukung dan diawasi masyarakat agar pemerintah memberikan komitmennya meskipun kondisi ekonomi kurang menggembirakan. 
 
Masyarakat yang hanya bisa menamatkan SMP saja perlu mendapat perhatian dari pemerintah agar mereka bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah kejuruan (SMK) supaya mereka memiliki keterampilan untuk mencari nafkah. Pemerintah perlu mensosialisasikan kepada masyarakat tentang perbedaan SMA dan SMK agar masyarakat bisa mengantisipasi biaya pendidikan. Mereka yang meneruskan ke SMA berarti akan melanjutkan ke Pendidikan Tinggi. Dengan demikian mereka harus menyiapkan dana pendidikan. Sementara mereka yang memiliki keterbatasan dana pendidikan, dianjurkan untuk memilih SMK agar memiliki keterampilan setelah menamatkan sekolah dan langsung bisa mencari kerja tanpa harus melanjutkan ke pendidikan tinggi. Beberapa daerah sudah terlihat memfokuskan diri pada pendirian SMK di daerahnya. Ini adalah sebuah usaha yang patut dihargai. 
 
Disamping usaha untuk menggratiskan biaya pendidikan di SMK, pemerintah juga perlu memperbaharui kurikulum SD dan SMP sehingga siswa SD dan SMP telah mengenal kewirausahaan tidak hanya teoritis tetapi juga dalam prakteknya. Ini perlu dilakukan agar para siswa juga memiliki jiwa kewirausahaan sejak awal dan juga untuk mengantisipasi jika mereka tidak mampu melanjutkan ke SMK/SMA. Beberapa sekolah alam (namun sayang biaya sekolahnya termasuk mahal) telah memasukkan kewirausahaan dalam kurikulum mereka dan siswa diminta mempraktekkannya. Sambutan orang tua juga antusias melihat anak-anak mereka sudah melakukan wirausaha semenjak pendidikan dasar. 

Kewirausahaan urgen untuk diperkenalkan sejak pendidikan dasar. Hal ini berdasarkan fakta bahwa tidak semua penduduk bekerja di sektor formal dan juga tingginya angka pengangguran. Pengenalan kewirausahaan di pendidikan dasar adalah sebuah antisipasi terhadap ketidakmampuan masyarakat mengikuti jenjang pendidikan SMA/SMK ataupun pendidikan tinggi dan untuk menghadapi krisis ekonomi. Sektor informal adalah sektor yang telah terbukti mampu menghadapi krisis ekonomi, sehingga semangat kewirausahaan diharapkan mampu menjadi bekal masyarakat menghadapi krisis ekonomi yang sampai saat ini masih terjadi.
 
Pengenalan terhadap kewirausahaan adalah langkah antisipatif terhadap krisis SDM. Di masa mendatang harga barang dan jasa diramalkan akan semakin tinggi sehingga kemampuan masyarakat kebanyakan membiayai pendidikan akan semakin turun. Dengan asumsi kebanyakan masyarakat hanya bisa menamatkan bangku SMP, maka akan muncul angkatan kerja tamatan SMP yang akan bersaing dengan tamatan SMA dan Perguruan Tinggi. Jika tidak mendapatkan pemberdayaan, maka tamatan SMP ini umumnya akan bekerja di sektor informal. Di sektor informal yang mungkin mereka lakukan adalah berdagang. Jika di bangku pendidikan dasar mereka sudah mengenal dunia kewirausahaan, akan menjadi bekal yang sangat berharga ketika mereka terjun ke dunia tersebut. Mereka bisa meningkatkan nilai yang ada pada diri mereka dan diharapkan akan bisa meningkatkan penghasilan baru. Dan diharapkan mereka bisa terlepas dari lingkaran kemiskinan yang selalu menghantui bangsa ini.
 
Jakarta, 29 April 2008



 

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post