Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia menjadi pemilik baru rekening bank atau lembaga keuangan formal lainnya. Menurut Bank Dunia, tinggal 2 miliar penduduk yang belum memiliki rekening bank atau turun 20 persen. Masih menurut Bank Dunia, di Indonesia kepemilikan rekening bank dalam 40 persen masyarakat termiskin sebanyak 22 persen.
Menurut
Elvin G Masasya, baru 57 persen penduduk Indonesia yang sudah
menggunakan jasa perbankan. (Kompas, 20/9/2015). Berbeda dengan Elvin,
dalam Kompas edisi 11/9/2015 yang melansir data Bank Indonesia (BI),
baru 20 persen penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki rekening bank
pada tahun 2011. Dan pada 2014 meningkat menjadi 36 persen. Data ini
belum memasukkan nasabah bank nirkantor.
Di
tengah kehidupan ekonomi modern yang sudah dinikmati oleh hampir
seluruh masyarakat Indonesia, memiliki rekening bank sudah menjadi
kebutuhan. Bahkan bisa dimasukkan sebagai kebutuhan primer. Banyak orang
yang belum memiliki rumah, tetapi sudah memiliki rekening bank. Oleh
karena itu, adanya program inklusi keuangan yang digagas pemerintah
Indonesia adalah upaya untuk menambah jumlah nasabah sehingga terkoneksi
dengan bank.
Akan tetapi, di tengah
upaya inklusi keuangan tersebut, pihak bank justru melakukan upaya yang
membuat orang kurang/tidak tertarik menjadi nasabah bank. Misalnya saja,
adanya usaha untuk memasarkan produk-produk tertentu ketika nasabah
sedang menunggu/mengantri. Nasabah setengah dipaksa untuk mendengarkan
pemaparan pihak bank dengan tujuan di akhir pemaparan tersebut nasabah
membeli produk yang ditawarkan. Selain ketika menunggu, ada pula ketika
nasabah berhadapan dengan teller dan customer service. Petugas teller
atau customer service menawarkan produk mereka.
Melihat
hal seperti ini, maka timbul pertanyaan, apakah bank saat ini sudah
mengubah positioning mereka? Bank yang merupakan tempat orang menyimpan,
menarik, transfer uang, dan juga mengajukan pinjaman/kredit, berubah
menjadi layaknya orang berjualan yang dilakukan setengah memaksa.
Hal
ini juga bisa dilihat dari mudahnya telemarketing kartu tanpa agunan,
kartu kredit, dan asuransi menghubungi nomor telepon pribadi nasabah
bank. Ada yang terjerat, dan banyak pula yang memberikan perlawanan.
Lebih sial lagi, data nomor telepon nasabah bank dimiliki oleh kawanan
penipu. Biasanya kawanan penipu ini memegang nomor telepon nasabah bank
yang memiliki kartu kredit.
Nasabah
yang tiap hari ditelpon dan di-sms oleh telemarketing sebagian besar
tidak berdaya menghadapi kiriman pesan “sampah” ini. Bank Indonesia atau
Otoritas Jasa Keuangan pun terlihat tidak memiliki kekuasaan untuk
menghentikan aksi moral hazard yang terjadi.
Budaya
bank terhadap nasabahnya mengalami dualisme. Di satu sisi ingin
memperbanyak nasabah dengan berbagai produk. Namun di sisi lain justru
membuat nasabah yang sudah ada merasa tidak nyaman dengan perlakukan
“moral hazard” seperti yang tersebut di paragraf sebelumnya.
Penulis
juga tidak ingin menyamakan semua bank. Setiap bank punya kebijakan
sendiri. Namun demikian, beberapa hal yang penulis sampaikan ini juga
telah menjadi keluhan umum yang dibicarakan secara terbuka.
Jika kita melihat sebuah bank atau budaya
organisasi sebuah bank, maka bisa dilihat dari slogan atau tagline yang
dipakai di bank tersebut. Dan bisa dilihat apakah tagline dan budaya
organisasi bank lebih memperhatikan nasabah atau sebaliknya, pelan-pelan
menjerat nasabah.
Dengan banyaknya
bank, terutama di perkotaan, masyarakat bisa memilih bank yang ia
inginkan. Jika tidak nyaman dengan sebuah bank, tinggal pindah ke bank
lain. Berbeda dengan masyarakat yang lebih sulit dijangkau layanan bank,
tidak banyak pilihan. Penulis belum melakukan pengamatan untuk
bank-bank yang ada di wilayah seperti ini, sehingga tidak bisa
memberikan ulasan. Biasanya yang ada di wilayah seperti ini adalah bank
milik pemerintah yang lebih memungkinkan untuk memberi pelayanan kepada
masyarakat sekaligus meningkatkan inklusi keuangan dibanding melakukan
penawaran produk-produk tertentu.
Yang
juga menjadi pertanyaan untuk masalah keuangan inklusif ini, apakah
nasabah bank tanpa melihat dari kaum kuat maupun lemah akan dilindungi
oleh bank terkait data dan kerahasiaan mereka? Sejauh mana bank berpihak
kepada nasabahnya dalam memberi kenyamanan dan perlindungan? Sebagai
sebuah lembaga jasa, bank seharusnya melayani nasabah, bukan nasabah
melayani pihak-pihak yang mengaku dari bank atau mendapatkan data bank.
Untuk memperjelas apakah keuangan inklusif itu, penulis salinkan pengantar yang ada di situs Bank Indonesia sebagai berikut:
“Istilah financial inclusion atau keuangan inklusif menjadi tren paska krisis 2008 terutama didasari dampak krisis kepada kelompok in the bottom of the pyramid
(pendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah terpencil,
orang cacat, buruh yang tidak mempunyai dokumen identitas legal, dan
masyarakat pinggiran) yang umumnya unbanked yang tercatat sangat tinggi
di luar negara maju.
Pada G20 Pittsbugh Summit 2009, anggota G20 sepakat perlunya peningkatan akses keuangan bagi kelompok ini yang dipertegas pada Toronto Summit tahun 2010, dengan dikeluarkannya 9 Principles for Innovative Financial Inclusion sebagai pedoman pengembangan keuangan inklusif. Prinsip tersebut adalah leadership, diversity, innovation, protection, empowerment, cooperation, knowledge, proportionality, dan framework.
Sejak
itu banyak fora-fora internasional yang memfokuskan kegiatannya pada
keuangan inklusif seperti CGAP, World Bank, APEC, Asian Development Bank
(ADB), Alliance for Financial Inclusion (AFI), termasuk standard body
seperti BIS dan Financial Action Task Force (FATF), termasuk negara
berkembang dan Indonesia.”
Penulis
berharap para pemimpin bank mengevaluasi lagi kebijakan-kebijakan
stafnya yang membuat nasabah tidak nyaman sehingga tidak ada lagi
telepon dan sms yang mengganggu kenyamanan nasabah. Dan penulis juga
berharap bahwa inklusi keuangan ini nyata berpihak kepada kelompok
lemah. ***
Referensi
- Kompas, 17 April 2015, Pertumbuhan Ekonomi untuk Semua
- Kompas, 20 September 2015, Akses Keuangan
- Kompas, 11 September 2015, Inovasi Tingkatkan Jumlah Nasabah
- http://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif/Indonesia/Contents/Default.aspx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar