Kamis, 18 Desember 2014

Prospek Ekonomi Indonesia di 2015

Oleh Erwin FS 
Ketua Center for Human Analysis and Resource Management (CHARM)

Tahun 2014 Indonesia mengalami pergantian presiden. Sedikit banyaknya telah mempengaruhi konstelasi ekonomi politik. Apalagi sejak pengangkatan presiden baru, muncul kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan alasan untuk melonggarkan ruang fiskal. Kebijakan ini mempengaruhi daya beli masyarakat lapisan bawah karena harga barang dan jasa mengalami kenaikan. Dengan kebijakan awal seperti ini, apakah di tahun 2015 ekonomi Indonesia bisa membaik, terutama bagi masyarakat banyak? 

Kebijakan menaikkan harga BBM telah dilakukan oleh banyak presiden, yang memiliki alasan tersendiri. Namun untuk kenaikan harga BBM di tahun 2014 memang sedikit paradoks, karena harga minyak dunia mengalami penurunan. Kebijakan menaikkan harga BBM sangat mempengaruhi sektor riil. Apalagi jika di sektor riil ini keseimbangan harga barang dan jasa mengikuti mekanisme pasar. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada saat ini, mekanisme pasar lebih menguntungkan pemodal atau pedagang. 

Sementara itu di sektor moneter, rupiah mengalami pelemahan. Jika mengacu kepada sistem nilai tukar yang dipakai Indonesia saat ini, sistem mengambang bebas, seharusnya nilai rupiah bisa menguat karena pemerintahan baru didukung oleh media. Dalam sistem mengambang bebas, pengaruh berita maupun rumor bisa menguatkan atau melemahkan rupiah. Dengan dukungan media, seharusnya rupiah bisa lebih menguat dan terkendali.

Namun demikian, faktor faktor lain yang membuat rupiah melemah pun tak sepenuhnya mampu dikendalikan pemerintah maupun diminimalkan media karena sebenarnya penerapan sistem mengambang bebas ini diterapkan di negara yang sudah sejahtera penduduknya. Sedangkan penduduk Indonesia masih banyak yang berada di wilayah kemiskinan.

Permintaan yang massif akan mata uang asing, pelarian modal ke luar negeri, dan juga spekulasi maupun rekayasa keuangan adalah contoh faktor yang bisa mempengaruhi pelemahan rupiah.

Di tahun 2015, rencana pemerintahan lama kemungkinan masih dominan digunakan. Sehingga pemerintahan baru belum bisa mewujudkan rencana-rencananya. Maka baru di tahun 2016 lah pemerintahan baru ini bisa menjalankan program-program maupun janji-janji kampanyenya.

Melihat hal ini, maka perekonomian Indonesia di 2015 tidak akan jauh beda dengan 2014, dan akan mengalami penyesuaian akibat kenaikan harga BBM serta kenaikan tarif listrik rumah tangga. Keseimbangan baru dalam perekonomian baru akan dicapai ketika masalah distribusi sudah bisa distabilkan kembali akibat kenaikan harga barang dan jasa.

Selain itu, masalah kemiskinan akan menjadi salah satu pehatian pemerintahan baru. Setiap kenaikan harga BBM umumnya memunculkan orang miskin baru yang sebelumnya mereka berada sedikit di atas garis kemiskinan. Dan yang sudah ada di wilayah kemiskinan bertambah miskin karena daya beli makin berkurang. Sebelum kenaikan harga BBM, harga barang dan jasa sudah naik selepas hari raya Idul Fitri 2014 lalu. Dan sebelumnya, di 2013 harga BBM juga dinaikkan. Dengan demikian, rentetan kenaikan harga ini telah menambah jumlah orang miskin. Kendati belum ada data statistiknya, namun dalam kehidupan keseharian ini bisa dilihat dan dirasakan.

Ada fenomena baru yang mungkin belum banyak dirasakan masyarakat. Yaitu, perseteruan antara KMP dan KIH selama ini tidak mempengaruhi jalannya perekonomian. Dan justru hal ini sudah dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan yang sudah dijeluarkan pemerintah. Maka, jika media mencoba mengaitkan kegaduhan parlemen dengan perekonomian, pada saat ini masih sulit dikaitkan. Opini bisa saja terbangun, tetapi kekuasaan eksekutif sulit dipungkiri jauh lebih mempengaruhi perekonomian.

Tugas berat pemerintah adalah menjaga agar semaksimal mungkin mengurangi jumlah orang miskin yang bertambah akibat rentetan kenaikan harga. Karena di situ juga ada potensi meningkatnya angka kriminalitas. Jika kriminalitas sulit di atasi, ini akan berdampak kepada jalannya aktivitas ekonomi masyarakat.

Berkaca pada krisis ekonomi 1998, ekonomi Indonesia ditopang oleh usaha mikro kecil dan menengah. Sektor informal yang relatif mandiri saat itu mampu bertahan. Sedangkan sektor formal mengalami penurunan karena beratnya penyesuaian yang harus dilakukan, sehingga menimbulkan PHK besar-besaran.

Untuk itu, penguatan sektor informal juga tetap harus terus menerus dilakukan, karena mereka umumnya masih banyak yang belum mampu mendapatkan bantuan dari bank.

Dan tak kalah pentingnya adalah komunikasi pemerintah kepada masyarakat mengenai perkembangan kondisi ekonomi mesti dilakukan dengan terbuka. Masyarakat mesti diberikan informasi yang benar agar mereka juga bisa melakukan berbagai antisipasi dalam menghadapi dinamika ekonomi.
         
           Meskipun ruang fiskal telah longgar menurut pemerintah, penyesuaian masyarakat secara umum masih membutuhkan waktu yang lebih lama. Di sektor formal, pendapatan belum tentu naik secara proporsional sesuai kondisi terkini. Sementara di sektor informal, penyesuaian terhadap pembelian dan penjualan barang dan jasa belum tentu menjadikan kondisi mereka lebih baik maupun sama dengan kondisi sebelum kenaikan harga BBM.
           
            Pertumbuhan ekonomi yang didorong konsumsi kemungkinan akan melambat karena melemahnya daya beli dan adanya penyesuaian dengan waktu yang cukup lama. Di sini dituntut upaya pemerintah agar pencapaian pertumbuhan ekonomi  mengedepankan pertimbangan keadilan kepada masyarakat yang lebih banyak akibat kebijakan kenaikan harga BBM. Sistem nilai tukar yang telah mengikuti mekanisme pasar, harga BBM bersubsidi yang sudah mendekati mekanisme pasar, jangan sampai melemahkan perhatian kepada masyarakat berpendapatan menengah bawah yang jumlahnya mayoritas ini. ۞

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post