Senin, 28 Mei 2001

Kelumpuhan Akut Sektor Riil

Oleh Erwin FS

PeKa Online-Jakarta, Rencana Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), tarip dasar listrik (TDL) dan pajak pertambahan nilai (PPN) pada 15 Juni (BBM dan TDL) dan 1 Juli 2001 (PPN) dipastikan akan semakin melumpuhkan sektor riil. Niat pemerintah ini berkaitan dengan keinginan mempertahankan defisit APBN sebesar 3,7 persen terhadap PDB. Sebelumnya telah terjadi kenaikan harga-harga bahan pokok menjelang 30 April mencapai 50 persen. Kenaikan ini merupakan reaksi terhadap kenaikan harga BBM untuk industri sebesar 50%
BBM dan listrik merupakan input utama dalam aktivitas produksi dan penggunaannya merupakan indikator produktivitas suatu negara. Sewaktu penulis kuliah, dosen pengajar mata kuliah Seminar Ekonomi Internasional menyatakan bahwa kesepakatan antara Indonesia dengan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) mengenai penghapusan subsidi secara bertahap terhadap BBM dan listrik dilandasi semangat penghematan. Selama ini IMF menilai masyarakat tidak mampu melakukan penghematan terhadap BBM dan listrik sehingga menyebabkan pemborosan
Pernyataan ini logis dan rasional. Namun apakah dengan kenaikan harga BBM dan TDL ini ekonomi akan efisien? Belum tentu
Pada saat sekarang kebijakan menaikkan harga BBM dan TDL justru akan menyulitkan rakyat. Ujung dari kebijakan kenaikan harga BBM dan TDL ini adalah meningkatnya inflasi dan penurunan produktivitas masyarakat, baik ekonomi maupun non ekonomi. Sementara itu inflasi di sektor riil berbeda dampaknya dengan inflasi di sektor moneter.Inflasi di sektor riil sangat dirasakan langsung oleh masyarakat. Sedangkan inflasi di sektor moneter tidak secara langsung dirasakan oleh masyarakat
Kelumpuhan sektor riil tak lepas dari kebijakan sektor moneter. Bank-bank yang seharusnya menjadi akselerator pemulihan sektor riil justeru terjebak dalam kondisi negative spread. Kondisi negative spread ini tak lepas dari upaya otoritas moneter untuk mengendalikan rupiah. Namun sejauh ini rupiah masih sulit dikendalikan meskipun suku bunga SBI sudah relatif tinggi
Pada saat ini pemfokusan kepada penguatan rupiah merupakan salah satu hal terpenting. Hal ini dikarenakan jika rupiah melemah akan berdampak pada membengkaknya defisit APBN. Beberapa pos yang terpengaruh diantaranya adalah pembayaran bunga utang luar negeri, subsidi BBM dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri
Sementara itu, jika kembali kepada kebijakan fiskal yang konservatif, ada satu hal yang sangat disayangkan yaitu penanganan terhadap penyelewengan anggaran. Sangat disayangkan jika penyelewengan anggaran ini harus ditebus dengan kenaikan harga BBM dan TDL. Padahal pernah disebutkan oleh mendiang Prof. Sumitro bahwa kebocoran anggaran sudah mencapai 30%. Jika saja penyelewengan ini dapat ditangani, niscaya harga BBM, TDL dan PPN tidak perlu dinaikkan. Disini IMF terlihat membiarkan hal tersebut
Pada saat ini sektor yang mampu memperbaiki kehidupan rakyat adalah sektor riil, bukan sektor moneter. Sebagai sektor yang diharapkan berkontribusi positif terhadap perbaikan ekonomi rakyat, segala pos yang ada didalam APBN seharusnya memberi pengaruh "sesuatu" kepada sektor riil. Namun sayangnya beberapa pos justeru tidak memberi pengaruh nyata pada sektor riil. Sekitar 100 triliun rupiah dikeluarkan hanya untuk membayar utang, itupun dengan menggunakan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 7800,-
Secara teoritis, jika terjadi krisis, pengeluaran pemerintah untuk sektor riil seharusnya diperbesar agar masyarakat terbantu. Namun justru pemerintah melaksanakan kebijakan anggaran konservatif terhadap sektor riil. Jika hal itu merupakan pilihan terbaik pemerintah, masih ada jalan lain untuk membantu sektor riil yaitu berupa penerbitan peraturan yang mempermudah masyarakat untuk berusaha
Semenjak pertengahan 1997, jumlah orang yang terkena PHK dan pengangguran semakin meningkat. Kelompok ini biasanya melakukan terobosan dengan melakukan kegiatan perdagangan. Jika pemerintah jeli, seharusnya dibuat peraturan sebagai payung untuk melindungi dan membantu mereka berusaha. Selain itu pengawasan yang ketat terhadap distribusi harus dilakukan agar tidak terjadi kenaikan harga yang disebabkan oleh tindakan penimbunan dan penyelundupan
Sekali lagi, untuk memulihkan sektor riil Pemerintah harus mampu merivisi APBN agar menjadi "sehat". Agar kesehatan APBN ini terjaga, enam kaidah fikih berikut dapat menjadi parameter bagi penyehatan APBN (lihat Umer Chapra dalam Islam dan Pembangunan Ekonomi, 2000, h.117):
  1. 1. Kriteria dasar bagi semua alokasi pengeluaran harus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat
  2. 2. Menghilangkan kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada menyediakan kenyamanan
  3. 3. Kepentingan yang lebih besar dari mayoritas harus didahulukan dari kepentingan yang lebih sempit dan minoritas
  4. 4. Pengorbanan atau kerugian individu dapat dibenarkan dalam rangka menyelamatkan pengorbanan/kerugian masyarakat. Suatu pengorbanan atau kerugian yang lebih besar boleh dihindari dengan melakukan pengorbanan atau kerugian yang lebih kecil
  5. 5. Siapa saja yang menerima keuntungan, wajib membayar harganya
  6. 6. Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak dapat dipenuhi maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib
Jika kaidah ini diperhatikan oleh para pengambil keputusan di negeri ini, insya Allah semangat keadilan akan mewarnai setiap kebijakan yang sangat berpengaruh bagi kehidupan ekonomi rakyat. Dan tentu saja akan ada keputusan yang sifatnya strategis dan populis dilandasi oleh empati yang tinggi serta timbangan yang sifatnya universal

pekaonline 28 Mei 2001

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post