Umat Islam insya Allah
akan menjalankan ibadah puasa tahun ini. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya,
tahun ini bulan Ramadhan akan dijalani oleh umat Islam dengan segala
keprihatinan, meskipun tahun-tahun sebelumnya tetap relatif prihatin juga. Hal
ini bisa dilihat dari berbagai peristiwa yang terjadi satu tahun belakangan
ini, terutama semenjak bulan Ramadhan tahun lalu.
Harga-harga yang naik
menjelang Ramadhan 1428 H sangat mempengaruhi masyarakat dalam kehidupan
keseharian mereka. Harga minyak goreng, susu, minyak tanah yang naik cukup
signifikan ramai diberitakan di media. Tarif jalan tol yang meskipun terasa
bagi mereka yang memiliki mobil, tetap akan berpengaruh bagi masyarakat luas
ketika membayar ongkos angkutan umum yang menggunakan jalur jalan tol.
Di samping itu,
kasus-kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia sudah sedemikian menyedihkan. Penyiksaan terhadap mereka
belum mendapat pembelaan yang seharusnya diberikan oleh pemerintah kepada
rakyatnya. Padahal mereka membawa devisa bagi negara. Demikian pula perlakuan
terhadap salah seorang wasit karate Indonesia yang tengah berada di Malaysia. Hal ini menggambarkan adanya perlakuan yang tidak
manusiawi terhadap orang Indonesia di Malaysia yang telah berlangsung lama,
terutama terhadap para tenaga kerja ataupun yang dicurigai sebagai pendatang
ilegal.
Menjelang Ramadhan,
dari tahun ke tahun kenaikan harga yang begitu tinggi seolah-olah menjadi suatu
kelaziman. Padahal jika pemerintah rajin turun ke pasar, harga-harga barang bisa
dinormalkan. Inflasi di Indonesia yang bepengaruh bagi masyarakat adalah
masalah sektor riil, hanya saja penanganannya lebih kepada sektor moneter
sehingga kenaikan harga barang menjelang Ramadhan mejadi suatu kelaziman.
Momentum Ramadhan dan Idul Fitri senantiasa menjadi babak awal munculnya harga
baru bagi barang-barang konsumsi. Idul Fitri menjadi antiklimaks bagi banyak
masyarakat karena setelah merayakannya dan lupa sesaat dengan himpitan hidup,
mereka dihadapkan dengan kondisi keseharian yang semakin sulit.
Bagi banyak masyarakat,
keindahan dan kekhusyukan Ramadhan masih sulit dirasakan karena pola konsumsi
yang meningkat dan cenderung eksploitatif ketika melakukan buka puasa. Tidak
sedikit yang memaksakan konsumsi di bulan Ramadhan lebih istimewa dimana pada
saat yang bersamaan banyak orang yang berbuka dengan air putih dan
kesederhanaan serta keprihatinan yang sulit dienyahkan. Bukan karena keinginan
ataupun pasrah kepada nasib, tetapi belum berjalannya distribusi pendapatan
secara baik.
Ramadhan tahun ini
adalah tahun ke sepuluh krisis ekonomi yang belum berakhir. Fakta di lapangan,
masih sangat banyak orang yang belum mampu mencukupi kebutuhan hidup
keluarganya. Kendati pembelian sepeda motor meningkat, hal ini belum bisa
menjelaskan banyaknya anak-anak yang putus sekolah maupun orang tua yang
kesulitan membiayai anaknya.
Sementara, kesenjangan
antara orang miskin dan yang mampu semakin melebar dan menciptakan kondisi yang
tidak sehat. Di media, banyak diberitakan murid sekolah dasar yang bunuh diri
karena malu tidak bisa membayar buku atau SPP. Ada juga yang tidak sekolah lagi
karena sering diejek sebagai anak tukang bakso, tukang becak dan sederet
“pekerjaan orang miskin lainnya”.
Angka putus sekolah pun
cukup tinggi. Berdasarkan data Depdiknas RI
tahun 2006, masih ada 1,9 juta anak usia 13 – 15 tahun yang tidak mendapatkan
pelayanan pendidikan SMP. Sementara ada 272 ribu anak yang putus sekolah SMP.
Dan tahun ini,
diprediksi umat Islam akan menjalani ibadah puasa layaknya kegiatan tahunan.
Bagi mereka yang mampu, hidangan berbuka dijamin selalu ada. Sementara bagi
yang sehari-harinya sulit, hidangan berbuka sudah sangat berharga bila bisa
meminum air putih dan makan nasi. Sementara penghargaan kepada orang yang
berpuasa sudah semakin luntur, jika melihat berjalannya ibadah puasa tahun
lalu. Orang bebas makan dan minum di tempat umum. Toko dan warung makan juga
banyak yang tidak melindungi tempatnya agar orang luar tidak mudah melihat ke
dalam.
Bagi ibu-ibu, belanja di bulan Ramadhan akan meningkat, meskipun makan
hanya dua kali sehari. Hal ini tidak bisa disalahkan. Hanya saja, makna
Ramadhan akan semakin menjauh. Puasa mengajarkan orang untuk berempati, berbagi
dan beraksi. Berempati, karena masih ada orang yang belum pasti makan apa di
waktu sahur dan makan apa di waktu buka. Berbagai, karena setelah berempati,
akan muncul keinginan untuk berbagi. Dan beraksi, karena sempati dan berbagi
perlu diikuti dengan aksi.
Hanya di bulan Ramadhan saja, seluruh orang yang mampu diajak merasakan
kesulitan orang yang tidak mampu. Dan hanya di bulan Ramadhan, Allah langsung
memberi penilaian kepada hamba-hambaNya. Tentunya, hal ini perlu diterjemahkan
untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dengan tepat sehingga tercipta
kebijakan yang bisa membantu orang miskin.
Para pengambil keputusan yang menjalani puasa, seharusnya bisa merasakan
masih banyak rakyat yang masih sulit untuk makan nasi ataupun makan dengan
layak, sehingga kebijakan yang mereka ambil betul-betul bisa mensejahterakan
rakyat. Para pengambil keputusan sudah seharusnya turun ke bawah, berbuka puasa
bersama orang-orang tidak mampu, agar hati mereka kembali terasah akan
kepedulian sosial.
Sepuluh tahun semenjak krisis adalah masa transisi, dan kemungkinan masa
transisi ini akan berlanjut sepuluh tahun lagi jika kondisi yang terjadi masih
seperti ini. Ramadhan pun menginjak tahun ke sepuluh setelah krisis. Dan setiap
Ramadhan, bekas jejak-jejak orang yang berpuasa belum menunjukkan perubahan yang
berarti.
Pemerintah, seharusnya bisa memunculkan inovasi ketika menjalani ibadah
puasa. Seharusnya mereka bisa lebih memiliki sensitifitas yang tinggi ketika
berpuasa, sehingga yang ada di dalam pikiran mereka adalah bagaimana menolong
rakyat yang masih banyak menjalani “puasa” ketika Ramadhan sudah berlalu.
Pemerintah seharusnya lebih peka lagi ketika menghadapi hari raya Idul
Fitri. Para pengambil keputusan biasanya melakukan open house dan silaturahim
antar sesama mereka. Itu adalah hal yang lazim terjadi. Namun, cobalah melihat
Rasulullah ketika beliau menghadapi hari Raya Idul Fitri dimana sudah tidak ada
lagi Abu Thalib dan Khadijah, dan kemudian mendapati seorang anak yang tidak
bisa menikmati hari raya ketika teman-temannya bisa bergembira. Rasulullah
akhirnya tahu bahwa sang anak sudah tidak memiliki ayah dan ibu sehingga hari
raya tidak ada tempat untuk bergembira dan kemudian anak tersebut dikabarkan
bahwa Rasulullah siap menjadi orang tua bagi sang anak. Maka, betapa gembiranya
anak tersebut.
Kondisi sebagian rakyat adalah seperti yang tergambarkan dalam cerita di
atas. Rakyat adalah anak yang selama ini kehilangan orang tua mereka. Mereka
tidak bisa bergembira dan merasa sedih. Di hari raya Idul Fitri, ketika para
pengambil keputusan bisa bersilaturahim dengan keluarga maupun kolega mereka,
rakyat hampir sebagian besar belum bisa merayakan kemenangan yang hakiki dari
keberadaan mereka sebagai warga negara yang berhak mendapat perlindungan dan
bantuan. Kondisi ini akan terus berjalan sehingga apatisme muncul dari rakyat.
Berbagai hikmah yang seharusnya bisa diambil dari pelaksanaan puasa
Ramadhan, selalu terbuang sia-sia. Ramadhan setengah bulan pertama biasanya
selalu ramai dengan aktivitas sholat jamaah dan taraweh. Setengah bulan
berikutnya shaf-shaf sholat berjamaah semakin berkurang, kesibukan
terkonsentrasi pada persiapan menghadapi hari raya. Itu pun bagi mereka yang
telah ada persiapan sebelumnya. Sementara di belahan bumi lain, hari raya
adalah hari yang sekedar dilalui karena tidak ada yang bisa dipersiapkan untuk
hari raya. Harga-harga barang yang tinggi di bulan Ramadhan akan semakin naik
hingga puncaknya pada hari raya. Sementara banyak masyarakat yang masih
kesulitan memikirkan sekolah anaknya, dan bahkan untuk kebutuhan harian pun
belum bisa terjangkau dengan baik.
Inilah prediksi dan
juga sebagian fakta yang ada saat ini. Bagi umat Islam yang beruntung mengenyam
hingga pendidikan tnggi dan mendapat kelebihan materi, mereka adalah agen
perubah untuk umat Islam secara keseluruhan yang bisa memainkan peran besar
mengubah kondisi umat, terutama memberdayakan potensi sumber daya manusia
muslim. Jangan biarkan umat menjalani Ramadhan dengan pola pikir yang
konsumtif, sampaikan kepada mereka betapa nikmatnya melakukan ibadah di bulan
Ramadhan, dan Idul Fitri adalah titik tertinggi dari ibadah selama Ramadhan dan
bukan sekedar baju baru maupun kue-kue dan minuman.Untuk mewujudkan hal ini,
perlu dipersiapkan sumber daya manusia yang handal dan tangguh agar bisa
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada pada umat
Islam.
Jakarta, 6 September
2007