Kamis, 06 September 2007

Menghadapi Ramadhan Tahun Ini

Oleh Erwin FS

Umat Islam insya Allah akan menjalankan ibadah puasa tahun ini. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini bulan Ramadhan akan dijalani oleh umat Islam dengan segala keprihatinan, meskipun tahun-tahun sebelumnya tetap relatif prihatin juga. Hal ini bisa dilihat dari berbagai peristiwa yang terjadi satu tahun belakangan ini, terutama semenjak bulan Ramadhan tahun lalu.
Harga-harga yang naik menjelang Ramadhan 1428 H sangat mempengaruhi masyarakat dalam kehidupan keseharian mereka. Harga minyak goreng, susu, minyak tanah yang naik cukup signifikan ramai diberitakan di media. Tarif jalan tol yang meskipun terasa bagi mereka yang memiliki mobil, tetap akan berpengaruh bagi masyarakat luas ketika membayar ongkos angkutan umum yang menggunakan jalur jalan tol.

Di samping itu, kasus-kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia sudah sedemikian menyedihkan. Penyiksaan terhadap mereka belum mendapat pembelaan yang seharusnya diberikan oleh pemerintah kepada rakyatnya. Padahal mereka membawa devisa bagi negara. Demikian pula perlakuan terhadap salah seorang wasit karate Indonesia yang tengah berada di Malaysia. Hal ini menggambarkan adanya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap orang Indonesia di Malaysia yang telah berlangsung lama, terutama terhadap para tenaga kerja ataupun yang dicurigai sebagai pendatang ilegal.

Menjelang Ramadhan, dari tahun ke tahun kenaikan harga yang begitu tinggi seolah-olah menjadi suatu kelaziman. Padahal jika pemerintah rajin turun ke pasar, harga-harga barang bisa dinormalkan. Inflasi di Indonesia yang bepengaruh bagi masyarakat adalah masalah sektor riil, hanya saja penanganannya lebih kepada sektor moneter sehingga kenaikan harga barang menjelang Ramadhan mejadi suatu kelaziman. Momentum Ramadhan dan Idul Fitri senantiasa menjadi babak awal munculnya harga baru bagi barang-barang konsumsi. Idul Fitri menjadi antiklimaks bagi banyak masyarakat karena setelah merayakannya dan lupa sesaat dengan himpitan hidup, mereka dihadapkan dengan kondisi keseharian yang semakin sulit.

Bagi banyak masyarakat, keindahan dan kekhusyukan Ramadhan masih sulit dirasakan karena pola konsumsi yang meningkat dan cenderung eksploitatif ketika melakukan buka puasa. Tidak sedikit yang memaksakan konsumsi di bulan Ramadhan lebih istimewa dimana pada saat yang bersamaan banyak orang yang berbuka dengan air putih dan kesederhanaan serta keprihatinan yang sulit dienyahkan. Bukan karena keinginan ataupun pasrah kepada nasib, tetapi belum berjalannya distribusi pendapatan secara baik.

Ramadhan tahun ini adalah tahun ke sepuluh krisis ekonomi yang belum berakhir. Fakta di lapangan, masih sangat banyak orang yang belum mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Kendati pembelian sepeda motor meningkat, hal ini belum bisa menjelaskan banyaknya anak-anak yang putus sekolah maupun orang tua yang kesulitan membiayai anaknya.

Sementara, kesenjangan antara orang miskin dan yang mampu semakin melebar dan menciptakan kondisi yang tidak sehat. Di media, banyak diberitakan murid sekolah dasar yang bunuh diri karena malu tidak bisa membayar buku atau SPP. Ada juga yang tidak sekolah lagi karena sering diejek sebagai anak tukang bakso, tukang becak dan sederet “pekerjaan orang miskin lainnya”.

Angka putus sekolah pun cukup tinggi. Berdasarkan data Depdiknas RI tahun 2006, masih ada 1,9 juta anak usia 13 – 15 tahun yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan SMP. Sementara ada 272 ribu anak yang putus sekolah SMP.

Dan tahun ini, diprediksi umat Islam akan menjalani ibadah puasa layaknya kegiatan tahunan. Bagi mereka yang mampu, hidangan berbuka dijamin selalu ada. Sementara bagi yang sehari-harinya sulit, hidangan berbuka sudah sangat berharga bila bisa meminum air putih dan makan nasi. Sementara penghargaan kepada orang yang berpuasa sudah semakin luntur, jika melihat berjalannya ibadah puasa tahun lalu. Orang bebas makan dan minum di tempat umum. Toko dan warung makan juga banyak yang tidak melindungi tempatnya agar orang luar tidak mudah melihat ke dalam.

Bagi ibu-ibu, belanja di bulan Ramadhan akan meningkat, meskipun makan hanya dua kali sehari. Hal ini tidak bisa disalahkan. Hanya saja, makna Ramadhan akan semakin menjauh. Puasa mengajarkan orang untuk berempati, berbagi dan beraksi. Berempati, karena masih ada orang yang belum pasti makan apa di waktu sahur dan makan apa di waktu buka. Berbagai, karena setelah berempati, akan muncul keinginan untuk berbagi. Dan beraksi, karena sempati dan berbagi perlu diikuti dengan aksi.

Hanya di bulan Ramadhan saja, seluruh orang yang mampu diajak merasakan kesulitan orang yang tidak mampu. Dan hanya di bulan Ramadhan, Allah langsung memberi penilaian kepada hamba-hambaNya. Tentunya, hal ini perlu diterjemahkan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dengan tepat sehingga tercipta kebijakan yang bisa membantu orang miskin.

Para pengambil keputusan yang menjalani puasa, seharusnya bisa merasakan masih banyak rakyat yang masih sulit untuk makan nasi ataupun makan dengan layak, sehingga kebijakan yang mereka ambil betul-betul bisa mensejahterakan rakyat. Para pengambil keputusan sudah seharusnya turun ke bawah, berbuka puasa bersama orang-orang tidak mampu, agar hati mereka kembali terasah akan kepedulian sosial.

Sepuluh tahun semenjak krisis adalah masa transisi, dan kemungkinan masa transisi ini akan berlanjut sepuluh tahun lagi jika kondisi yang terjadi masih seperti ini. Ramadhan pun menginjak tahun ke sepuluh setelah krisis. Dan setiap Ramadhan, bekas jejak-jejak orang yang berpuasa belum menunjukkan perubahan yang berarti.

Pemerintah, seharusnya bisa memunculkan inovasi ketika menjalani ibadah puasa. Seharusnya mereka bisa lebih memiliki sensitifitas yang tinggi ketika berpuasa, sehingga yang ada di dalam pikiran mereka adalah bagaimana menolong rakyat yang masih banyak menjalani “puasa” ketika Ramadhan sudah berlalu.

Pemerintah seharusnya lebih peka lagi ketika menghadapi hari raya Idul Fitri. Para pengambil keputusan biasanya melakukan open house dan silaturahim antar sesama mereka. Itu adalah hal yang lazim terjadi. Namun, cobalah melihat Rasulullah ketika beliau menghadapi hari Raya Idul Fitri dimana sudah tidak ada lagi Abu Thalib dan Khadijah, dan kemudian mendapati seorang anak yang tidak bisa menikmati hari raya ketika teman-temannya bisa bergembira. Rasulullah akhirnya tahu bahwa sang anak sudah tidak memiliki ayah dan ibu sehingga hari raya tidak ada tempat untuk bergembira dan kemudian anak tersebut dikabarkan bahwa Rasulullah siap menjadi orang tua bagi sang anak. Maka, betapa gembiranya anak tersebut.  

Kondisi sebagian rakyat adalah seperti yang tergambarkan dalam cerita di atas. Rakyat adalah anak yang selama ini kehilangan orang tua mereka. Mereka tidak bisa bergembira dan merasa sedih. Di hari raya Idul Fitri, ketika para pengambil keputusan bisa bersilaturahim dengan keluarga maupun kolega mereka, rakyat hampir sebagian besar belum bisa merayakan kemenangan yang hakiki dari keberadaan mereka sebagai warga negara yang berhak mendapat perlindungan dan bantuan. Kondisi ini akan terus berjalan sehingga apatisme muncul dari rakyat.

Berbagai hikmah yang seharusnya bisa diambil dari pelaksanaan puasa Ramadhan, selalu terbuang sia-sia. Ramadhan setengah bulan pertama biasanya selalu ramai dengan aktivitas sholat jamaah dan taraweh. Setengah bulan berikutnya shaf-shaf sholat berjamaah semakin berkurang, kesibukan terkonsentrasi pada persiapan menghadapi hari raya. Itu pun bagi mereka yang telah ada persiapan sebelumnya. Sementara di belahan bumi lain, hari raya adalah hari yang sekedar dilalui karena tidak ada yang bisa dipersiapkan untuk hari raya. Harga-harga barang yang tinggi di bulan Ramadhan akan semakin naik hingga puncaknya pada hari raya. Sementara banyak masyarakat yang masih kesulitan memikirkan sekolah anaknya, dan bahkan untuk kebutuhan harian pun belum bisa terjangkau dengan baik.

Inilah prediksi dan juga sebagian fakta yang ada saat ini. Bagi umat Islam yang beruntung mengenyam hingga pendidikan tnggi dan mendapat kelebihan materi, mereka adalah agen perubah untuk umat Islam secara keseluruhan yang bisa memainkan peran besar mengubah kondisi umat, terutama memberdayakan potensi sumber daya manusia muslim. Jangan biarkan umat menjalani Ramadhan dengan pola pikir yang konsumtif, sampaikan kepada mereka betapa nikmatnya melakukan ibadah di bulan Ramadhan, dan Idul Fitri adalah titik tertinggi dari ibadah selama Ramadhan dan bukan sekedar baju baru maupun kue-kue dan minuman.Untuk mewujudkan hal ini, perlu dipersiapkan sumber daya manusia yang handal dan tangguh agar bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada pada umat Islam.    

Jakarta, 6 September 2007

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post