Senin, 03 November 2008

Upah Pekerja

Oleh Erwin FS

Dewan Pengupahan DKI Jakarta telah menetapkan upah minimum propinsi (UMP) yang baru sebesar Rp 1.069.865,- per bulan pada akhir Oktober 2008 dan akan berlaku mulai Januari 2009. Upah baru ini mengalami kenaikan dari upah sebelumnya sebesar Rp 972.604,- per bulan. Namun demikian, serikat pekerja memandang kenaikan ini masih belum memenuhi kebutuhan hidup layak di DKI sebesar Rp 1.314.059,- per bulan.
Kenaikan upah ini senantiasa berpatokan kepada inflasi (sekitar 10-11 persen). Padahal jika dikaitkan dengan kenaikan harga barang dan jasa, persentasenya bisa melebihi 20 persen. Dengan demikian, kenaikan upah minimum yang berdasarkan inflasi tidak bisa meningkatkan daya beli. Di sini perlu dibedakan antara inflasi dengan kenaikan harga barang dan jasa. Inflasi adalah kenaikan harga secara umum. Sedangkan kenaikan harga barang dan jasa bisa dirincikan dengan kenaikan harga gas elpiji dan minyak tanah, kenaikan ongkos angkutan umum, kenaikan harga beras, kenaikan tarif air minum, kenaikan harga obat, kenaikan biaya rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit dan lain-lain.

Dibandingkan dengan standar kemiskinan bank dunia sebesar 2 dolar AS perhari per orang, maka bisa dikatakan bahwa besaran upah minimum propinsi memposisikan pekerja masih berada pada garis kemiskinan. Dan jika dibandingkan lagi dengan nasab zakat profesi yang setara dengan 653 kilogram beras (dengan harga Rp 5000,- untuk tahun 2006) atau Rp 3.265.000,- per bulan akan terlihat bahwa masih sangat banyak masyarakat (terutama umat Islam) yang berada di bawah garis kemiskinan.

Pihak pengusaha umumnya khawatir bila kenaikan UMP tersebut menyebabkan mereka tidak mampu membayar upah pekerja dengan alasan ada kemungkinan penjualan pada periode mendatang akan semakin menurun yang berujung pada menurunya pendapatan perusahaan, sedangkan upah yang dibayarkan mengalami peningkatan.

Namun pihak pekerja juga merasakan kenaikan harga yang cukup drastis sehingga mereka memerlukan kenaikan pendapatan. Kenaikan itu juga dalam realitanya hanya untuk mempertahankan daya beli mereka yang masih kalah dengan kenaikan harga barang dan jasa.

Alasan pihak pengusaha tidak ingin menaikkan upah adalah imbas krisis di Amerika yang ternyata berpengaruh terhadap stabilitas perusahaan. Momentum krisis di Amerika berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah dimana ada aksi memborong dolar AS yang menyebabkan nilai Rupiah melemah hingga menembus angka Rp 10.000,-/1 dolar AS. Melemahnya rupiah juga bisa menambah mahal bahan yang akan diolah menjadi barang jadi atau untuk meningkatkan nilai tambahnya.

Selain itu, sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa pihak pengusaha juga mengeluarkan biaya-biaya lain yang cukup tinggi untuk kelancaran bisnis mereka. Hal ini turut menyebabkan perhatian terhadap upah pekerja menjadi nomor sekian.

Sementara itu besaran pendapatan yang tidak kena pajak juga sedikit mengancam upah buruh. Penghasilan tidak kena pajak besarnya adalah Rp 13,2 juta setahun (jika memiliki istri dan 2 anak menjadi 16,8 juta setahun). Ini berarti pekerja yang berpenghasilan Rp 1,1 juta per bulan (jika lajang) atau 1,4 juta per bulan (beristri dan memiliki 2 orang anak) sudah bisa dikenakan pajak. Sementara ukuran kebutuhan untuk hidup layak adalah Rp 1.314.059,-.

Dengan demikian, pemerintah seharusnya turut memperhatikan nasib pekerja yang masih berpendapatan rendah. Pemerintah perlu melihat dengan jelas kehidupan di lapangan para pekerja yang upahnya masih di bawah kehidupan layak agar ada empati yang berujung kepada kebijakan yang lebih adil yaitu penerapan pajak dengan menaikkan penghasilan tidak kena pajak menjadi lebih tinggi lagi.

Jika melihat dari nasab zakat profesi sebesar Rp 3.265.000,- maka bisa disimpulkan bahwa upah pekerja yang dinaikkan oleh Dewan Pengupahan DKI masih berada pada kondisi kemiskinan. Secara realistis, sulit menaikkan upah pekerja mendekati nasab zakat profesi. Namun ada beberapa solusi yang bisa dilakukan pemerintah.

Pertama, jika memang pemerintah ingin serius memperhatikan nasib para pekerja maka harus diatur perdagangan valuta asing agar tidak menyebabkan inflasi. Dalam Islam perdagangan valuta asing untuk tujuan selain pertukaran dilarang (dalam arti diperdagangkan untuk memperoleh keuntungan). Kedua, kenaikan harga barang dan jasa yang selama ini seolah-olah berdasarkan mekanisme pasar perlu diatur atau diawasi pemerintah karena kenyataannya pihak produsen atau penjual menaikkan harga seenaknya sehingga merugikan konsumen.

Ketiga, pemerintah perlu mempertimbangkan sistem nilai tukar yang tidak menyengsarakan rakyat. Selama ini inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa selalu menurunkan daya beli masyarakat. Dan jikapun ada kenaikan upah, hal itu tidak bisa meningkatkan daya beli karena besarannya cenderung lebih rendah dari kenaikan harga barang dan jasa.

Pemerintah perlu mempertimbangkan sistem nilai tukar yang tidak menyebabkan inflasi terus menerus yang cenderung menghasilkan orang miskin baru. Salah satu sistem nilai tukar tersebut adalah sistem nilai tukar yang didukung oleh emas. Sistem nilai tukar yang dipakai saat ini menyebabkan kita tergantung dengan dolar AS. Dolar AS sendiri dengan mudah dicetak oleh Pemerintah AS tanpa adanya dukungan cadangan emas sehingga membuat ekonomi menggelembung dalam besaran angka tetapi dari segi barang dan jasa adalah nihil.

Dalam persepsi penulis, upah pekerja yang baru sebesar Rp 1.069.865,- hanya bisa untuk pekerja yang belum memiliki keluarga. Sedangkan jika sudah memiliki keluarga dengan asumsi memiliki 2 anak dan istri tidak bekerja akan berat menghadapi kondisi ekonomi saat ini. Belum lagi jika menghadapi pemenuhan biaya kesehatan yang saat ini semakin mahal.

Perhatian kepala daerah atau bahkan presiden terhadap upah minimum propinsi yang lebih adil adalah implementasi kongkrit dari janji kampanye pada waktu pilkada atau pilpres yang diwarnai janji mensejahterakan rakyatnya. Semestinya ini bisa dikerjakan jika ada kemauan politik yang kuat.

Jakarta, 3 Nopember 2008


Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post