Kamis, 28 September 2000

Iklan Politik untuk Sosialisasi Kenaikan Harga BBM

Oleh Erwin FS 


Sewaktu kuliah, penulis pernah  mengambil mata kuliah Ekonomi  Industri. Salah satu topik yang dibahas dalam kuliah itu adalah mengenai iklan (advertising). Masalah iklan sangat erat kaitannya dengan industri ataupun perusahaan. Iklan adalah media memperkenalkan produk sebuah perusahaan (baik barang maupun jasa) kepada para konsumen. Semakin baik dan menarik konsep sebuah iklan suatu produk maka kemungkinan akan semakin banyak konsumen yang menggunakan produk tersebut (apalagi masyarakat kita adalah masyarakat konsumtif).
Setiap perusahaan menyadari akan hal ini sehingga biaya iklan dapat saja menjadi biaya yang hilang (sunk cost) dalam memperkenalkan produknya. Biaya seperti ini umumnya akan menimbulkan dampak psikologis yang sangat berpengaruh dalam pikiran konsumen. Ini adalah sebuah konsekuensi dari adanya input yang besar sehingga outputnya pun diharapkan lebih besar lagi secara proporsional. Dengan adanya iklan, konsumen dapat mengenal, memahami dan mengerti serba-serbi sebuah produk.
Keperluan akan adanya iklan tidak hanya dibutuhkan oleh pihak-pihak yang menjalankan kegiatan ekonomi saja, tetapi sebenarnya iklan diperlukan untuk mengenalkan suatu hal kepada publik perihal sebuah kebijakan baru. Dengan melakukan hal ini publik diharapkan inheren dengan kebijakan itu. Hal seperti ini dapat dilihat dari iklan Pemilihan Umum pada waktu lalu (Pemilu 7 Juni 1999).
Adanya iklan yang intensif serta mampu dipahami seluruh kalangan sedikit banyaknya mampu memberikan pengertian kepada publik bahwa Pemilu 1999 merupakan Pemilu yang relatif lebih baik, demokratis dan bersih dibandingkan dengan Pemilu pada jaman Ored Baru. Iklan layanan masyarakat mengenai Pemilu ini ternyata sedikit banyaknya berpengaruh kepada publik secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat dalam melakukan (salah satunya) pencoblosan dan mengikuti proses yang memakan waktu beberapa lama pada saat Pemilu 7 Juni 1999. Ini adalah sebuah contoh dimana iklan memiliki peranan yang besar untuk mempengaruhi publik.
Berangkat dari uraian di atas, pada tulisan ini penulis ingin memaparkan tentang pentingnya pula sosialisasi kenaikan harga BBM dalam bentuk iklan kepada masyarakat. Seperti diketahui, kebijakan menaikan harga BBM merupakan kebijakan politis. Berbeda dengan sosialisasi pemilu dalam bentuk iklan, sosialisasi kenaikan harga BBM merupakan sebuah keharusan agar dapat dimengerti oleh rakyat keseluruhan karena kebijakan ini merupakan kesepakatan anggota DPR -yang notabene merupakan wakil rakyat- dengan Pemerintah. Adalah ironis bila wakil rakyat menyetujui kenaikan harga BBM, kemudian dianggap sebagai suatu hal yang bertentangan dengan aspirasi rakyat. Paradigma diantara rakyat dan wakilnya inilah yang harus disamakan dengan jalan mensosialisasikan kebijakan kenaikan harga BBM.
Selama ini dalam kebijakan menetapkan harga BBM selalu terdapat penunggang bebas (free rider) dan pencari rente (rent seeker). Hal seperti ini merupakan konsekuensi logis dari sebuah kebijakan publik yang biasanya memiliki target error. Di sisi lain kebijakan kenaikan harga BBM tidak pernah diiringi dengan kebijakan pengendalian harga secara signifikan oleh pemerintah.
Sebagai akibatnya, produsen selalu menjadi penentu harga dalam merespon kebijakan kenaikan harga BBM. Sementara konsumen tidak dapat berbuat banyak dan bahkan posisi mereka semakin lemah dan tersudut. YLKI sendiri yang dapat dikatakan sebagai salah satu representasi dari konsumen selama ini terlihat belum mempermasalahkan hal tersebut secara serius. Dalam hal ini mekanisme supply dan demand tidak berjalan dengan baik. Disamping itu pemerintah terkesan masa bodoh dalam menyikapi kenaikan harga barang dan jasa akibat kenaikan harga BBM selama sejarah kenaikan harga BBM di Indonesia era Orde Baru. Tak heran sebagai akibat dari hal di atas, masyarakat selalu meminta agar harga BBM jangan dinaikkan karena akan menaikkan harga barang dan jasa. Sayangnya, selama ini tidak ada peraturan yang mengatur masalah seperti ini.
Hal yang diuraikan di atas dapat dikatakan sebagai sebuah respons dari sisi permintaan. Maksudnya di sini adalah respon dari konsumen terhadap kenaikan harga BBM yang akan menaikan harga barang dan jasa. Respon negatif dari masyarakat merupakan refleksi dari tidak terjalinnya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan rakyat. Respon negatif itu juga merupakan refleksi bahwa pemerintah tidak pernah mensosialisasikan kebijakan ini ke masyarakat dengan baik. Jika pemerintah mensosialisasikan kebijakan kenaikan harga BBM dengan baik, maka rakyat akan mengetahui hal-hal yang selama ini tidak pernah mereka ketahui.
Adanya akses informasi yang transparan ini juga akan memperkuat posisi konsumen di hadapan para produsen/penjual. Dalam teori ekonomi yang menjelaskan tentang fenomena pasar persaingan sempurna, informasi yang diketahui oleh konsumen maupun produsen secara simetris akan membuat produsen tidak lagi menjadi penentu harga. Lebih jauh lagi, informasi yang lengkap yang dimiliki oleh konsumen akan membuat produsen pun berhati-hati dalam menetapkan harga.
Kalau dilihat secara seksama, inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM tidak mencapai 1 persen dalam sebuah studi yang dilakukan oleh sebuah institusi pemerintah. Adalah sangat tidak relevan bila inflasi yang sebesar ini akan menyebabkan produsen menaikkan harga yang sangat tidak proporsional. Sementara itu pemerintah pun patut dikritik perihal komitmen mereka terhadap ekonomi pasar. Jika pemerintah memiliki komitmen terhadap ekonomi pasar, seharusnya mereka mampu menjadi pihak arbitrase yang baik dan bertanggung jawab. Di samping itu jika pemerintah mendukung ekonomi pasar, sudah saatnya pemerintah memberhentikan keberpihakannya kepada produsen. Meskipun pemerintah dikatakan pro ekonomi pasar, dalam kenyataannya selama ini justru mereka pro produsen.
Sementara itu dalam menanggapi respon masyarakat, justru pemerintah cenderung berkonsentrasi kepada penyaluran dana subsidi BBM sebesar Rp800 miliar. Sedangkan konsumen sendiri yang merupakan representasi dari rakyat banyak kurang mendapat perhatian proporsional. Perhatian terhadap penyaluran dana subsidi sebenarnya pun tidak salah. Hanya saja hal itu menggambarkan bahwa selama ini pemerintah selalu mengeluarkan kebijakan yang cenderung karitatif kepada rakyat. Seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang edukatif dan informatif serta simetris sehingga rakyat mampu berpikir, bertindak dan mandiri. Kebijakan karitatif ini pun cenderung hanya untuk menyembunyikan informasi yang sebenarnya harus diketahui oleh rakyat.
Dengan memperhatikan uraian di atas, pemerintah dalam tahap awal seharusnya mensosialisasikan kebijakan kenaikan harga BBM kepada rakyat. Rakyat harus diberitahu mengapa harga BBM naik dan berapa kenaikannya agar tidak merugikan rakyat, produsen dan konsumen. Karena kebijakan menaikan harga BBM ini merupakan kebijakan politis, mau tidak mau pemerintah harus menjelaskan secara transparan dan gamblang agar rakyat setidaknya mengerti dan tahu akan hal tersebut. Sedangkan bila kenaikan harga BBM karena mekanisme pasar, pemerintah tidak perlu lagi ikut berperan dalam hal ini. Sementara itu, adanya tenggang waktu antara April sampai Oktober 2000 sebenarnya merupakan waktu yang relatif cukup untuk memberitahukan kebijakan kenaikan harga BBM kepada publik.
Menjelang kenaikan harga BBM 1 Oktober 2000, semakin banyak pihak yang meminta penundaan, ternmasuk YLKI yang tadinya setuju. Jika pemerintah tidak juga belajar dari hal seperti ini, sebenarnya rakyat melalui wakil-wakilnya dapat mengganti dengan pemerintah yang lebih adil, transparan dan bertanggung jawab?***

Mimbar Minang 28 September 2000

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post