Oleh Erwin FS
Sewaktu kuliah,
penulis pernah mengambil mata kuliah Ekonomi Industri. Salah satu
topik yang dibahas dalam kuliah itu adalah mengenai iklan (advertising).
Masalah iklan sangat erat kaitannya dengan industri ataupun perusahaan.
Iklan adalah media memperkenalkan produk sebuah perusahaan (baik barang
maupun jasa) kepada para konsumen. Semakin baik dan menarik konsep
sebuah iklan suatu produk maka kemungkinan akan semakin banyak konsumen
yang menggunakan produk tersebut (apalagi masyarakat kita adalah
masyarakat konsumtif).
Setiap
perusahaan menyadari akan hal ini sehingga biaya iklan dapat saja
menjadi biaya yang hilang (sunk cost) dalam memperkenalkan produknya.
Biaya seperti ini umumnya akan menimbulkan dampak psikologis yang sangat
berpengaruh dalam pikiran konsumen. Ini adalah sebuah konsekuensi dari
adanya input yang besar sehingga outputnya pun diharapkan lebih besar
lagi secara proporsional. Dengan adanya iklan, konsumen dapat mengenal,
memahami dan mengerti serba-serbi sebuah produk.
Keperluan akan
adanya iklan tidak hanya dibutuhkan oleh pihak-pihak yang menjalankan
kegiatan ekonomi saja, tetapi sebenarnya iklan diperlukan untuk
mengenalkan suatu hal kepada publik perihal sebuah kebijakan baru.
Dengan melakukan hal ini publik diharapkan inheren dengan kebijakan itu.
Hal seperti ini dapat dilihat dari iklan Pemilihan Umum pada waktu lalu
(Pemilu 7 Juni 1999).
Adanya iklan
yang intensif serta mampu dipahami seluruh kalangan sedikit banyaknya
mampu memberikan pengertian kepada publik bahwa Pemilu 1999 merupakan
Pemilu yang relatif lebih baik, demokratis dan bersih dibandingkan
dengan Pemilu pada jaman Ored Baru. Iklan layanan masyarakat mengenai
Pemilu ini ternyata sedikit banyaknya berpengaruh kepada publik secara
signifikan. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat dalam
melakukan (salah satunya) pencoblosan dan mengikuti proses yang memakan
waktu beberapa lama pada saat Pemilu 7 Juni 1999. Ini adalah sebuah
contoh dimana iklan memiliki peranan yang besar untuk mempengaruhi
publik.
Berangkat dari
uraian di atas, pada tulisan ini penulis ingin memaparkan tentang
pentingnya pula sosialisasi kenaikan harga BBM dalam bentuk iklan kepada
masyarakat. Seperti diketahui, kebijakan menaikan harga BBM merupakan
kebijakan politis. Berbeda dengan sosialisasi pemilu dalam bentuk iklan,
sosialisasi kenaikan harga BBM merupakan sebuah keharusan agar dapat
dimengerti oleh rakyat keseluruhan karena kebijakan ini merupakan
kesepakatan anggota DPR -yang notabene merupakan wakil rakyat- dengan
Pemerintah. Adalah ironis bila wakil rakyat menyetujui kenaikan harga
BBM, kemudian dianggap sebagai suatu hal yang bertentangan dengan
aspirasi rakyat. Paradigma diantara rakyat dan wakilnya inilah yang
harus disamakan dengan jalan mensosialisasikan kebijakan kenaikan harga
BBM.
Selama ini
dalam kebijakan menetapkan harga BBM selalu terdapat penunggang bebas
(free rider) dan pencari rente (rent seeker). Hal seperti ini merupakan
konsekuensi logis dari sebuah kebijakan publik yang biasanya memiliki
target error. Di sisi lain kebijakan kenaikan harga BBM tidak pernah
diiringi dengan kebijakan pengendalian harga secara signifikan oleh
pemerintah.
Sebagai
akibatnya, produsen selalu menjadi penentu harga dalam merespon
kebijakan kenaikan harga BBM. Sementara konsumen tidak dapat berbuat
banyak dan bahkan posisi mereka semakin lemah dan tersudut. YLKI sendiri
yang dapat dikatakan sebagai salah satu representasi dari konsumen
selama ini terlihat belum mempermasalahkan hal tersebut secara serius.
Dalam hal ini mekanisme supply dan demand tidak berjalan dengan baik.
Disamping itu pemerintah terkesan masa bodoh dalam menyikapi kenaikan
harga barang dan jasa akibat kenaikan harga BBM selama sejarah kenaikan
harga BBM di Indonesia era Orde Baru. Tak heran sebagai akibat dari hal
di atas, masyarakat selalu meminta agar harga BBM jangan dinaikkan
karena akan menaikkan harga barang dan jasa. Sayangnya, selama ini tidak
ada peraturan yang mengatur masalah seperti ini.
Hal yang
diuraikan di atas dapat dikatakan sebagai sebuah respons dari sisi
permintaan. Maksudnya di sini adalah respon dari konsumen terhadap
kenaikan harga BBM yang akan menaikan harga barang dan jasa. Respon
negatif dari masyarakat merupakan refleksi dari tidak terjalinnya
komunikasi yang baik antara pemerintah dengan rakyat. Respon negatif itu
juga merupakan refleksi bahwa pemerintah tidak pernah mensosialisasikan
kebijakan ini ke masyarakat dengan baik. Jika pemerintah
mensosialisasikan kebijakan kenaikan harga BBM dengan baik, maka rakyat
akan mengetahui hal-hal yang selama ini tidak pernah mereka ketahui.
Adanya akses
informasi yang transparan ini juga akan memperkuat posisi konsumen di
hadapan para produsen/penjual. Dalam teori ekonomi yang menjelaskan
tentang fenomena pasar persaingan sempurna, informasi yang diketahui
oleh konsumen maupun produsen secara simetris akan membuat produsen
tidak lagi menjadi penentu harga. Lebih jauh lagi, informasi yang
lengkap yang dimiliki oleh konsumen akan membuat produsen pun
berhati-hati dalam menetapkan harga.
Kalau dilihat
secara seksama, inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM tidak
mencapai 1 persen dalam sebuah studi yang dilakukan oleh sebuah
institusi pemerintah. Adalah sangat tidak relevan bila inflasi yang
sebesar ini akan menyebabkan produsen menaikkan harga yang sangat tidak
proporsional. Sementara itu pemerintah pun patut dikritik perihal
komitmen mereka terhadap ekonomi pasar. Jika pemerintah memiliki
komitmen terhadap ekonomi pasar, seharusnya mereka mampu menjadi pihak
arbitrase yang baik dan bertanggung jawab. Di samping itu jika
pemerintah mendukung ekonomi pasar, sudah saatnya pemerintah
memberhentikan keberpihakannya kepada produsen. Meskipun pemerintah
dikatakan pro ekonomi pasar, dalam kenyataannya selama ini justru mereka
pro produsen.
Sementara itu
dalam menanggapi respon masyarakat, justru pemerintah cenderung
berkonsentrasi kepada penyaluran dana subsidi BBM sebesar Rp800 miliar.
Sedangkan konsumen sendiri yang merupakan representasi dari rakyat
banyak kurang mendapat perhatian proporsional. Perhatian terhadap
penyaluran dana subsidi sebenarnya pun tidak salah. Hanya saja hal itu
menggambarkan bahwa selama ini pemerintah selalu mengeluarkan kebijakan
yang cenderung karitatif kepada rakyat. Seharusnya pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang edukatif dan informatif serta simetris
sehingga rakyat mampu berpikir, bertindak dan mandiri. Kebijakan
karitatif ini pun cenderung hanya untuk menyembunyikan informasi yang
sebenarnya harus diketahui oleh rakyat.
Dengan
memperhatikan uraian di atas, pemerintah dalam tahap awal seharusnya
mensosialisasikan kebijakan kenaikan harga BBM kepada rakyat. Rakyat
harus diberitahu mengapa harga BBM naik dan berapa kenaikannya agar
tidak merugikan rakyat, produsen dan konsumen. Karena kebijakan menaikan
harga BBM ini merupakan kebijakan politis, mau tidak mau pemerintah
harus menjelaskan secara transparan dan gamblang agar rakyat setidaknya
mengerti dan tahu akan hal tersebut. Sedangkan bila kenaikan harga BBM
karena mekanisme pasar, pemerintah tidak perlu lagi ikut berperan dalam
hal ini. Sementara itu, adanya tenggang waktu antara April sampai
Oktober 2000 sebenarnya merupakan waktu yang relatif cukup untuk
memberitahukan kebijakan kenaikan harga BBM kepada publik.
Menjelang kenaikan
harga BBM 1 Oktober 2000, semakin banyak pihak yang meminta penundaan,
ternmasuk YLKI yang tadinya setuju. Jika pemerintah tidak juga belajar
dari hal seperti ini, sebenarnya rakyat melalui wakil-wakilnya dapat
mengganti dengan pemerintah yang lebih adil, transparan dan bertanggung
jawab?***
Mimbar Minang 28 September 2000
Langganan:
Postingan (Atom)
Recent Post
Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia
Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...
Popular Post
-
Oleh Erwin FS Jika ada manusia di dunia ini yang mengaku sebagai Tuhan, maka salah satunya adalah Firaun. “Dia (Firaun) berkata, “...
-
Oleh Erwin FS Perkembangan perbankan syariah yang begitu pesat di Indonesia patut diapresiasi. Perbankan syariah sebagai bagian ...
-
Oleh Erwin FS Abstrak Perkembangan bank syariah termasuk cukup pesat, terutama setelah tahun 1998, namun dilihat dari segi aset masih...