Selasa, 12 November 2002

Transisi untuk Transisi

Oleh Erwin FS

Kejatuhan Orde Baru telah kita lihat dan alami bersama-sama. Seiring dengan itu ada berbagai harapan yang timbul akibat kejatuhan Orde Baru tersebut. Satu di antaranya adalah peran sipil dalam mengelola negara.
Namun sayangnya, sampai saat ini, mereka yang diberi amanah untuk mengelola pemerintahan dengan baik tidak mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan. Bahkan ada kesan yang timbul bahwa maraknya korupsi akibat pemerintahan dikelola oleh sipil. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah.


Di samping itu, pengelolaan pemerintahan oleh sipil seharusnya lebih memiliki empati terhadap nasib masyarakat dan bangsa. Namun ternyata dugaan itu sepertinya salah. Sebagian realita yang ada justru memperlihatkan bahwa sipil sepertinya tidak memiliki empati terhadap nasib masyarakat dan bangsa. Namun demikian, hal ini di satu sisi mungkin masih lebih baik ketimbang pihak non sipil. Salah satu hal penyeimbang dari kekurangan sipil itu adalah adanya pengawasan yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat dimana pada masa Orde Baru hal ini dapat dikatakan tidak ada. 

Satu hal yang sangat disayangkan dari sipil ini adalah mereka masih tertarik dengan dunia politik sehingga hak masyarakat akan kondisi ekonomi yang lebih baik terkesan dilupakan. Hal ini dapat dilihat dari pola pikir para elit yang sudah bersiap-siap untuk 2004, sementara kelaparan yang diderita oleh masyarakat hampir tidak pernah menjadi bahasan serius. 

Pada masa pemerintahan Habibie, kerap dilontarkan bahwa masa pemerintahannya adalah masa transisi yang akan mengadakan pemilihan umum baru guna memilih wakil rakyat dan presiden secara demokratis. Namun setelah masa berganti, masa transisi masih berlanjut. Di tangan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati, masa transisi makin bertambah panjang yang diikuti ketidakpedulian terhadap kondisi masyarakat yang sudah sangat memprihatinkan. 

Para elit masih sibuk dengan pertarungan politik, yang ironisnya pertarungan itu hampir-hampir tidak menyentuh masalah kebutuhan rakyat yang paling utama. Inilah yang membedakan Indonesia dengan negara Asia lain dalam menghadapi krisis ekonomi. Di negara lain, masa krisis digunakan untuk memperbaiki dan menjaga ketahanan ekonomi masyarakat. Sementara Indonesia, masa krisis adalah juga masa transisi, dan ironisnya hampir tidak terlihat usaha untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat. 

Sektor ekonomi masyarakat adalah hal yang sangat vital karena hal itu erat kaitannya dengan kebutuhan perut yang harus tetap ada. Jika terjadi masalah yang sangat memprihatinkan terhadap masalah yang satu ini, maka bagaimana masyarakat dapat berpikir secara normal, sementara mereka terus merintih demi memenuhi kebutuhan primernya. 

Pertarungan politik yang merupakan warna dari demokrasi akan menjadi hal yang tidak indah bila masalah ekonomi masyarakat tidak dipenuhi oleh pemerintah. Pertarungan politik akan sangat menentukan berapa lama definisi masa transisi. Ketidakpastian waktu ini jika ditambah dengan ketidakpedulian terhadap ekonomi masyarakat bisa menjadi bumerang bagi demokrasi. 

Jika masalah ekonomi masyarakat saja tidak diperhatikan, apalagi dengan kebutuhan vital masyarakat lainnya seperti pendidikan dan kesehatan. Boleh jadi kesulitan ekonomi masyarakat akan menjadi faktor bagi kemenangan parpol tertentu dalam Pemilu mendatang. Yaitu dengan melancarkan politik uang. Masyarakat yang kesulitan ekonomi sangat mungkin menjual suara dan pilihan mereka kepada pemberi uang, apalagi tingkat pendidikan masyarakat Indonesia umumnya masih rendah. 

Tingkat pendidikan masyarakat yang umumnya rendah ini sebenarnya juga mencerminkan bagaimana setting politik kita yang sebenarnya. Tentunya kita masih ingat bagaimana Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1955 mampu mendapat suara yang besar, padahal tujuh tahun sebelumnya mereka menusuk bangsa ini dari belakang. Lalu, bagaimana mereka mampu bangkit kembali hanya dalam waktu tujuh tahun? Salah satu faktor yang memungkinkan hal ini adalah masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya.
Sekarang ini, tidak hanya tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, tetapi sistem yang ada telah menyebabkan banyak orang yang tidak mampu meneruskan pendidikan. Pendidikan telah menjadi barang mahal melebihi kebutuhan akan mobil mewah bagi orang-orang kaya. Semakin banyak orang yang tidak mampu meneruskan pendidikan maka tingkat kriminalitas yang bersifat fisik kemungkinan akan semakin meningkat. 

Sementara, semakin banyak orang yang tidak mampu meneruskan pendidikan akan berpengaruh terhadap kemajuan ekonomi. Malaysia adalah negara yang sangat memperhatikan masalah pendidikan, sehingga wajar bila ekonominya berkembang melebihi Indonesia. Adapun juga, Malaysia sangat memperhatikan kebutuhan pokok masyarakatnya. Sementara Indonesia, pendidikan belum menjadi perhatian yang utama, bahkan pemerintah terkesan lupa untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dengan harga yang terjangkau pada masa krisis ini secara terus menerus. 

Gambaran yang demikian memperlihatkan bahwa masa transisi tidak disikapi secara proporsional oleh pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengatur. Masalah politik dan kekuasaan terlalu ditonjolkan, sementara masalah ekonomi tidak mendapat tempat yang layak. Maka tak heran masyarakat melakukan berbagai tindak kejahatan yang umumnya bermotifkan masalah ekonomi. 

Jika kebutuhan masalah perut masyarakat tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah, akan sangat sulit untuk menata demokrasi dan masa transisi. Seluruh aktivitas yang disertai dengan perut yang lapar akan sia-sia. Seorang Presiden dengan perut yang lapar tidak akan mampu menjalankan pemerintahan dengan rasional. Demikian pula halnya dengan rakyat yang kelaparan, mereka yang umumnya berpendidikan rendah akan lebih tidak rasional lagi dalam menjalankan kehidupannya. 

Nasionalisme, kenegarawanan dan empati para pemimpin tengah diuji pada saat ini. Pada sisi lain, sebagian masyarakat yang kebanyakan berpendapatan rendah adalah penguji mereka yang paling sensitif. Kita tentunya masih ingat bahwa pada beberapa waktu lalu beberapa anggota parlemen (baik tingkat daerah maupun pusat) dari suatu parpol sudah mengkritik parpolnya sendiri, dan bahkan ada yang mengundurkan diri dari jabatannya di parlemen. Sementara, sebagian elemen masyarakat yang merasa ditipu oleh parpol yang dipilihnya menyatakan ketidakpercayaan mereka dan ada yang mencabut dukungannya kepada parpol tersebut. 

Pertarungan politik tingkat tinggi mungkin akan bisa dinikmati oleh masyarakat bila kondisi ekonomi mereka dalam keadaan baik. Namun yang terjadi pada saat ini, semakin banyak masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi. Pertarungan politik yang hanya berorientasikan kekuasaan boleh jadi buta akan masalah penting lainnya. Bila itu yang terjadi, maka masa transisi ini memang cuma untuk transisi, tidak ada usaha untuk kembali ke kondisi normal. Jika dalam sektor ekonomi sedang berjalan kebijakan pemulihan (recovery), maka pemulihan itu terkesan merupakan bagian dari pertarungan politik dan kekuasaan, bukan untuk memulihkan ekonomi masyarakat. 

Artikel ini dimuat di Peka Online (www.peka.or.id) 12 Nopember 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post