Perkembangan implementasi ekonomi syariah
mengalami akselerasi semenjak terjadinya krisis moneter. Sampai saat ini
tercatat terdapat dua bank umum syariah dengan 36 kantor cabang dan
52 kantor di bawah cabang. Disamping itu masih ada enam bank umum konvensional
yang memiliki kantor cabang syariah yang tersebar di 26 kota di Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi. Belum lagi masih ada 81 BPR Syariah. Sementara pengimpulan
dana masyarakat oleh Bank Syariah per 21 Mei 2002 mencapai Rp 2 triliun, dan
penyaluran pembiayaan sebesar Rp 2,5 triliun. Ini berarti financing to deposit
ratio (FDR) melampaui 100 persen, padahal FDR perbankan nasional hanya 39
persen per April 2002. Sementara total aset perbankan syariah pada periode yang
sama adalah Rp 3,2 triliun. (modalonline.com)
Kemajuan lainnya yang dapat dilihat adalah
lahirnya UU No.10/1998 yang memungkinkan bank umum konvensional berubah menjadi
bank umum syariah ataupun terjadinya dual banking system yang
memungkinkan sebuah bank konvensional memiliki cabang syariah. Disamping itu
telah terbit pula Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.59 yang
merupakan instrumen penunjang operasional perbankan syariah. Sementara,
sedang diusahakan pula RUU bank syariah dan RUU lembaga keuangan mikro dan
syariah. Kesemuanya ini memperlihatkan akselerasi implementasi ekonomi syariah
dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
Sewaktu terjadi krisis moneter, perbankan
syariah mampu tetap eksis di tengah likuidasi perbankan. Pada tahun 1998 Bank
Muamalat Indonesia (BMI) bahkan mampu mencapai rasio kecukupan modal (CAR)
sebesar 12 persen dari yang disyaratkan BI sebesar minimum empat persen. Hal
ini terkait erat dengan sistem yang dipakai oleh masing-masing bank.
Disamping itu bank syariah memiliki dewan
pengawas syariah yang anggotanya telah melalui seleksi Dewan Syariah Nasional,
sehingga kemungkinan adanya penyalahgunaan dalam bank dapat ditekan seminimal
mungkin. Sedangkan untuk bank konvensional, pengawas semacam ini tidak ada
sehingga terjadi moral hazard yang luar biasa.
Selama lebih kurang 30 tahun kebijakan
ekonomi Indonesia yang kental dengan semangat kapitalisme, telah terjadi
akumulasi praktik-praktik tidak terpuji dalam kegiatan politik dan ekonomi.
Dampaknya sangat luar biasa dan sedang dirasakan mayoritas rakyat Indonesia
pada saat ini. Ketika dalam kondisi krisis, dimana rakyat sangat membutuhkan
berbagai kebutuhan pokok, pemerintah justru mengeluarkan dana yang sangat besar
bagi sektor keuangan yang mengalami kebangkrutan akibat moral hazard (sebuah
ciri khas kapitalisme). Padahal dana yang demikian besarnya lebih bernilai guna
diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan rakyat.
Kini masyarakat sudah semakin tahu
kebobrokan sebagian besar elit politik maupun pemerintahan, dan lebih jauh lagi
sudah mampu menilai bagaimana bobroknya sistem kapitalis yang saling
berhubungan antara ekonomi dengan sosial politik. Maka bisa dilihat jika mereka
yang diduga korup dan tidak peduli pada nasib rakyat sangat mendukung
kapitalisme karena memang sangat menguntungkan mereka.
Di tengah tanda kejatuhan sistem kapitalis
di Indonesia itu, ekonomi syariah mengalami akselerasi signifikan, tidak hanya
dari pihak lembaga keuangan tetapi juga dari pertambahan nasabah yang pesat dan
bahkan institusi yang mendukungnya. Dan masih di tengah kejatuhan sistem
kapitalis, kesadaran masyarakat akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam juga
juga mengalami akselerasi signifikan. Hal ini merupakan modal politik yang
potensial bagi gerakan Islam di Indonesia. Implementasi ekonomi syariah yang
tidak terpengaruh volatilitas ekonomi global adalah modal membangun
kemandirian. Kemandirian adalah modal politik yang sangat berharga bagi umat
dan gerakan Islam di Indonesia.
Artikel ini dimuat di
Saksi Edisi No.3 Tahun V 29 Oktober 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar