Selasa, 22 Oktober 2002

Kebijakan Ekonomi Tidak Berpihak kepada Masyarakat

Oleh Erwin FS


PeKa Online-Jakarta, Kondisi ekonomi masyarakat semenjak awal krisis moneter hingga kini tidak memperlihatkan gejala pemulihan. Bahkan sebaliknya, daya beli masyarakat mengalami penurunan yang semakin memprihatinkan. Sementara itu di sisi lain, kebijakan pemerintah yang benar-benar memperhatikan masalah pemulihan ekonomi masyarakat dapat dibilang hampir tidak ada.

Kebijakan yang dijalankan pemerintah menyangkut masalah ekonomi lebih cenderung menjalankan agenda IMF. Salah satu di antaranya adalah divestasi beberapa bank. Pada Letter of Intent (LoI) sebelumnya, IMF menyarankan likuidasi bank-bank dan rekapitalisasi perbankan. Namun setelah adanya rekapitalisasi perbankan yang mengorbankan "periuk nasi" rakyat Indonesia, IMF menghendaki adanya divestasi.
Hal tersebut menggambarkan bahwa tujuan rekapitalisasi yang disarankan IMF sebenarnya bukan untuk mengembalikan fungsi intermediasi bank. Dengan alasan memenuhi penerimaan APBN, divestasi tetap dijalankan yang tujuan akhirnya untuk membayar hutang. Rentetan saran IMF ini dapat dikatakan sebagai salah satu kebijakan culas kapitalisme yang jelas-jelas mengorbankan banyak orang.
Saran IMF tersebut pada sisi lain tidak mengasumsikan terjadinya moral hazard sehingga hal ini telah menjadi ajang perebutan pribumi pencari rente. Maka tak heran bila kebijakan yang disarankan IMF bukan untuk mengepulkan "periuk nasi" masyarakat. Dengan demikian tidak ada pemulihan yang berarti dalam sektor riil. Bahkan jika ada komitmen pinjaman baru dari kreditur sekalipun, dana tersebut kemungkinan besar tak akan dipakai untuk "mengganjal perut" rakyat yang kian hari kian sengsara.
Sementara itu di sisi lain, perbankan juga masih enggan menjalankan fungsi intermediasinya. Mereka cenderung lebih memilih menikmati dana dari bunga obligasi rekap maupun investasi SBI. Kondisi seperti ini juga semakin menambah ketiadaan gerakan pada sektor riil.
Jepang memiliki kebijakan tersendiri untuk menggerakkan sektor riil. Mereka melakukan kebijakan bunga 0% untuk menggerakkan sektor riil, disamping alasan untuk meningkatkan persaudaraan. Sebuah alasan yang sangat menyentuh di tengah derasnya liberalisasi kapitalisme yang super individualistis.
Kebijakan Jepang tersebut di satu sisi tidak hanya mengerakkan sektor riil yang akan berakibat terhadap daya beli masyarakat, tetapi telah menggerakkan solidaritas sosial dalam masyarakat. Lebih dari itu, kebijakan yang dilakukan Jepang adalah kebijakan yang diambil oleh mereka yang mampu berpikir rasional dan dilandasi jiwa kemanusiaan.
Indonesia seharusnya bisa mencontoh kebijakan Jepang. Masalah ekonomi adalah masalah keberlangsungan hidup masyarakat. Semakin lapar masyarakat, maka akan sulit untuk menjalankan berbagai aktivitas, dan mereka akan bertindak secara irasional demi memenuhi kebutuhan perutnya. Dengan demikian, sudahlah ekonomi tidak membaik, juga terjadi gejolak sosial yang hebat.
Untuk meningkatkan daya beli masyarakat, maka beberapa kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah di antaranya adalah: menurunkan inflasi, menurunkan suku bunga, menjamin pasokan kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau, mendukung sepenuhnya sektor ekonomi informal, tidak menaikan pajak (bahkan kalau bisa diturunkan), membantu petani secara kongkrit, melaksanakan secara rutin program social security dan menghentikan liberalisasi sektor pertanian.
Semua hal tersebut juga harus didukung dengan pemberantasan korupsi serta penegakan hukum.
Menurunnya daya beli adalah efek berantai dari kesulitan keuangan yang dialami masyarakat. Jika daya beli menurun, maka penjualan juga menurun yang berarti menurunkan tingkat pendapatan dari produsen dan penjual. Produsen dan penjual pada akhirnya juga akan mengalami penurunan daya beli karena menurunnya tingkat pendapatan mereka.
Efek berantai tersebut lama kelamaan akan menjadi lingkaran dan gelombang yang semakin membesar hingga jika sudah semakin besar dan tak tertahankan, akan ada gejolak sosial yang mungkin belum pernah ada. Kasus Argentina beberapa waktu lalu adalah contoh nyata dari pendapat ini.
Meskipun beberapa pendapat menyatakan bahwa sektor usaha kecil dan menengah (UKM) menjadi penopang utama perekonomian masyarakat saat ini, kekhawatiran akan gejolak sosial tetaplah besar. Di sini butuh campur tangan pemerintah yang signifikan. Namun sayangnya, penentu kebijakan ekonomi pada saat ini adalah mereka yang lebih percaya terhadap indikator-indikator pada sektor moneter dan makro, sedangkan masalah pemenuhan kebutuhan rakyat tidak menjadi indikator, sehingga wajar jika dana rekap yang sudah menggelembung tidak pernah terpikirkan untuk dipakai membantu kesulitan rakyat.
Menutup tulisan singkat ini, saya mengutip pendapat Ibnu Khaldun tentang pemerintahan dalam Muqadimahnya, "Sebab si pemerintah yang cerdas condong membebani rakyatnya lebih daripada yang dapat mereka pikul, dan berkat kecerdasannya ia bisa melihat ke depan akibat perbuatan atau keadaan; semua itu membawa kerusakan kepada rakyat".

PeKaOnline 22.10.2002 08:28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post