PeKa Online-Jakarta, Kondisi ekonomi
masyarakat semenjak awal krisis moneter hingga kini tidak memperlihatkan gejala
pemulihan. Bahkan sebaliknya, daya beli masyarakat mengalami penurunan yang
semakin memprihatinkan. Sementara itu di sisi lain, kebijakan pemerintah yang
benar-benar memperhatikan masalah pemulihan ekonomi masyarakat dapat dibilang
hampir tidak ada.
Kebijakan yang dijalankan pemerintah menyangkut masalah ekonomi
lebih cenderung menjalankan agenda IMF. Salah satu di antaranya adalah
divestasi beberapa bank. Pada Letter of Intent (LoI) sebelumnya, IMF
menyarankan likuidasi bank-bank dan rekapitalisasi perbankan. Namun setelah
adanya rekapitalisasi perbankan yang mengorbankan "periuk nasi"
rakyat Indonesia , IMF menghendaki adanya
divestasi.
Hal tersebut menggambarkan bahwa tujuan rekapitalisasi yang
disarankan IMF sebenarnya bukan untuk mengembalikan fungsi intermediasi bank.
Dengan alasan memenuhi penerimaan APBN, divestasi tetap dijalankan yang tujuan
akhirnya untuk membayar hutang. Rentetan saran IMF ini dapat dikatakan sebagai
salah satu kebijakan culas kapitalisme yang jelas-jelas mengorbankan banyak orang.
Saran IMF tersebut pada sisi lain tidak mengasumsikan terjadinya
moral hazard sehingga hal ini telah menjadi ajang perebutan pribumi pencari
rente. Maka tak heran bila kebijakan yang disarankan IMF bukan untuk
mengepulkan "periuk nasi" masyarakat. Dengan demikian tidak ada
pemulihan yang berarti dalam sektor riil. Bahkan jika ada komitmen pinjaman
baru dari kreditur sekalipun, dana tersebut kemungkinan besar tak akan dipakai
untuk "mengganjal perut" rakyat yang kian hari kian sengsara.
Sementara itu di sisi lain, perbankan juga masih enggan
menjalankan fungsi intermediasinya. Mereka cenderung lebih memilih menikmati
dana dari bunga obligasi rekap maupun investasi SBI. Kondisi seperti ini juga
semakin menambah ketiadaan gerakan pada sektor riil.
Jepang memiliki kebijakan tersendiri untuk menggerakkan sektor
riil. Mereka melakukan kebijakan bunga 0% untuk
menggerakkan sektor riil, disamping alasan untuk meningkatkan persaudaraan. Sebuah
alasan yang sangat menyentuh di tengah derasnya liberalisasi kapitalisme yang
super individualistis.
Kebijakan Jepang tersebut di satu sisi
tidak hanya mengerakkan sektor riil yang akan berakibat terhadap daya beli
masyarakat, tetapi telah menggerakkan solidaritas sosial dalam masyarakat. Lebih
dari itu, kebijakan yang dilakukan Jepang adalah kebijakan yang diambil oleh
mereka yang mampu berpikir rasional dan dilandasi jiwa kemanusiaan.
Indonesia seharusnya bisa mencontoh
kebijakan Jepang. Masalah ekonomi adalah masalah keberlangsungan hidup
masyarakat. Semakin lapar masyarakat, maka akan sulit untuk menjalankan
berbagai aktivitas, dan mereka akan bertindak secara irasional demi memenuhi
kebutuhan perutnya. Dengan demikian, sudahlah ekonomi tidak membaik, juga
terjadi gejolak sosial yang hebat.
Untuk meningkatkan daya beli masyarakat,
maka beberapa kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah di antaranya adalah:
menurunkan inflasi, menurunkan suku bunga, menjamin pasokan kebutuhan pokok
dengan harga yang terjangkau, mendukung sepenuhnya sektor ekonomi informal,
tidak menaikan pajak (bahkan kalau bisa diturunkan), membantu petani secara
kongkrit, melaksanakan secara rutin program social security dan menghentikan
liberalisasi sektor pertanian.
Semua hal tersebut juga harus didukung
dengan pemberantasan korupsi serta penegakan hukum.
Menurunnya daya beli adalah efek berantai dari kesulitan keuangan
yang dialami masyarakat. Jika daya beli menurun, maka penjualan juga menurun
yang berarti menurunkan tingkat pendapatan dari produsen dan penjual. Produsen
dan penjual pada akhirnya juga akan mengalami penurunan daya beli karena
menurunnya tingkat pendapatan mereka.
Efek berantai tersebut lama kelamaan akan menjadi lingkaran dan
gelombang yang semakin membesar hingga jika sudah semakin besar dan tak
tertahankan, akan ada gejolak sosial yang mungkin belum pernah ada. Kasus Argentina beberapa waktu lalu
adalah contoh nyata dari pendapat ini.
Meskipun beberapa pendapat menyatakan bahwa sektor usaha kecil dan
menengah (UKM) menjadi penopang utama perekonomian masyarakat saat ini,
kekhawatiran akan gejolak sosial tetaplah besar. Di sini butuh campur tangan
pemerintah yang signifikan. Namun sayangnya, penentu kebijakan ekonomi pada
saat ini adalah mereka yang lebih percaya terhadap indikator-indikator pada
sektor moneter dan makro, sedangkan masalah pemenuhan kebutuhan rakyat tidak
menjadi indikator, sehingga wajar jika dana rekap yang sudah menggelembung
tidak pernah terpikirkan untuk dipakai membantu kesulitan rakyat.
Menutup tulisan singkat ini, saya mengutip pendapat Ibnu Khaldun
tentang pemerintahan dalam Muqadimahnya, "Sebab si pemerintah yang cerdas
condong membebani rakyatnya lebih daripada yang dapat mereka pikul, dan berkat
kecerdasannya ia bisa melihat ke depan akibat perbuatan atau keadaan; semua itu
membawa kerusakan kepada rakyat".
PeKaOnline 22.10.2002 08:28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar