Rabu, 28 Agustus 2002

Sikapi AFTA dengan Kebersamaan Kelompok

Oleh Erwin FS


PeKa Online-Jakarta, Tahun 2003 sudah di ambang mata. Ini berarti ASEAN Free Trade Area (AFTA) sudah semakin dekat dan tinggal menunggu hitungan waktu. Tetapi kesiapan Indonesia menghadapi AFTA pada saat ini, tidak sama halnya dengan ketika Presiden Soeharto menyatakan kesiapan Indonesia menghadapi AFTA kala itu.

Sebelum terjadinya krisis moneter, Indonesia konon dikabarkan telah mampu mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan. Indonesia juga dikelompokkan sebagai 10 besar negara Emerging Giant yang bakal menjadi tempat tujuan investasi maupun perdagangan.
Utang luar negeripun dengan sangat yakin dinyatakan dapat dibayar dan ada kebanggaan bisa membayar utang tepat waktu. Jikalau utang tidak dapat dibayar, BUMN dapat menjadi alat untuk membayarnya. Demikian pernyataan pemerintah pada saat itu. Kini sebagian besar BUMN telah dijual guna mewujudkan pernyataan kesanggupan membayar utang.
Memasuki AFTA dengan kondisi dalam negeri yang tengah mengalami carut marut politik adalah hal yang dapat berdampak negatif. Disamping itu, melonjaknya KKN, kemiskinan dan kenaikan harga barang dan jasa menjadi pendukung yang melengkapi kenyataan bahwa Indonesia tidak siap memasuki AFTA.
Jikapun tetap masuk ke dalam AFTA, harus ada yang dikorbankan. Hukum Pareto (dalam ilmu ekonomi) berbicara bahwa adanya kenaikan kemakmuran suatu pihak tidak bisa dicapai kecuali dengan mengorbankan kemakmuran pihak lain. Hampir sepanjang sejarah, rakyat dengan level ekonomi sosial terlemahlah yang senantiasa menjadi pihak yang paling dirugikan.
Sisi positif AFTA tentu saja ada. Namun dampak negatifnya harus diantisipasi agar kerugian bisa dikurangi, kalau memang tidak bisa dihilangkan. Dengan berlakunya AFTA, arus masuk dan keluar barang dan jasa serta manusia akan lebih meningkat. Apalagi ditengarai Indonesia sebagai pasar yang menggiurkan, meskipun dalam kondisi miskin.
Sesuai dengan namanya, maka perdagangan akan menjadi motor penggerak ekonomi dalam suatu wilayah yang akan diwarnai oleh persaingan antara pelaku lokal dengan asing. Kompetisi ini tentu akan melahirkan usaha untuk meraih pembeli sebanyak-banyaknya. Sesuai dengan ilmu ekonomi, konsumen akan membeli barang yang bagus dengan harga murah (kompetitif). Kondisi ini sangat memungkinkan tersingkirnya pemain lokal.
Namun, jika melihat kondisi saat ini (sebelum AFTA), di antara pemain lokal sendiri telah ada yang tersingkir secara sistematis (bukan alamiah) dan pihak yang tetap eksis adalah mereka yang memiliki modal besar. Melihat kondisi seperti ini saja, rasanya akan sulit bagi mayoritas rakyat yang berada pada level pendapatan rendah untuk berusaha dan bersaing dalam kondisi AFTA.
Akan tetapi hal ini bisa disiasati. Yaitu dengan jalan membuat kelompok-kelompok usaha yang anggotanya merupakan konsumen dari produk yang ditawarkan oleh kelompok tersebut. Dengan cara seperti ini, masyarakat dapat membangun imunitas terhadap serangan dari luar.
Selama ini kebersamaan kelompok belum menjadi budaya yang menyebar merata di masyarakat sehingga satu sama lain tidak dapat saling mendukung. Dan akhirnya mereka tidak dapat meningkatkan pendapatannya karena secara individu mereka bersaing dengan para pemodal besar. Jika mereka membangun kelompok dan kemudian membuat usaha bersama dimana konsumen utamanya adalah mereka sendiri, maka mereka sudah memulai kehidupan mandiri yang saling menguntungkan di antara anggota kelompok.
Membangun usaha berdasarkan kebersamaan kelompok dapat dimulai dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini akan membangun imunitas terhadap unsur luar yang dapat mematikan usaha penduduk lokal. Disamping itu, perputaran uang akan beredar di antara mereka dan sekaligus mereka akan bisa menikmati keuntungannya.
Untuk membangun kesadaran seperti ini mutlak diperlukan adanya solidaritas sosial, dan lebih bagus lagi jika memiliki kesamaan idiologi. Sebab, hal ini akan memudahkan proses komunikasi dan interaksi diantara anggota kelompok. Sayangnya idiologi yang sering didengar oleh masyarakat adalah idiologi negara (yaitu Pancasila) yang mana selama pemerintahan Orde Baru telah menjadi idiologi semu dalam kehidupan sosial masyarakat.
Sedangkan kapitalisme yang tidak pernah disebut telah menjadi idiologi negara, telah menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan menyengsarakan mayoritas rakyat. Dampak dari idiologi semu bagi masyarakat ini telah mereduksi solidaritas sosial serta proses interaksi dan komunikasi sosial sehingga sulit untuk membangun kebersamaan kelompok yang didukung oleh keinginan untuk maju. Adapun pengusaha besar, diuntungkan dari kondisi seperti ini.
Dengan demikian, salah satu jalan untuk tetap survive di era AFTA adalah membangun kembali kebersamaan kelompok yang dapat diawali dengan membangun idiologi kelompok dan kemudian diikuti membangun solidaritas sosial anggotanya.

PeKaOnline 28.09.2002 20:34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post