PeKa Online-Jakarta, Tahun 2003 sudah di ambang mata. Ini berarti ASEAN Free
Trade Area (AFTA) sudah semakin dekat dan tinggal menunggu hitungan waktu. Tetapi
kesiapan Indonesia menghadapi AFTA pada saat ini, tidak sama halnya dengan
ketika Presiden Soeharto menyatakan kesiapan Indonesia menghadapi AFTA kala itu.
Sebelum terjadinya krisis moneter,
Indonesia konon dikabarkan telah mampu mengurangi jumlah penduduk miskin secara
signifikan. Indonesia juga dikelompokkan sebagai 10 besar negara Emerging Giant
yang bakal menjadi tempat tujuan investasi maupun perdagangan.
Utang luar negeripun dengan sangat yakin dinyatakan dapat
dibayar dan ada kebanggaan bisa membayar utang tepat waktu. Jikalau utang tidak
dapat dibayar, BUMN dapat menjadi alat untuk membayarnya. Demikian pernyataan
pemerintah pada saat itu. Kini sebagian besar BUMN telah dijual guna mewujudkan
pernyataan kesanggupan membayar utang.
Memasuki AFTA dengan kondisi dalam negeri yang tengah
mengalami carut marut politik adalah hal yang dapat berdampak negatif. Disamping
itu, melonjaknya KKN, kemiskinan dan kenaikan harga barang dan jasa menjadi
pendukung yang melengkapi kenyataan bahwa Indonesia tidak siap memasuki AFTA.
Jikapun tetap masuk ke dalam AFTA, harus ada yang
dikorbankan. Hukum Pareto (dalam ilmu ekonomi) berbicara bahwa adanya kenaikan
kemakmuran suatu pihak tidak bisa dicapai kecuali dengan mengorbankan
kemakmuran pihak lain. Hampir sepanjang sejarah, rakyat dengan level ekonomi
sosial terlemahlah yang senantiasa menjadi pihak yang paling dirugikan.
Sisi positif AFTA tentu saja ada. Namun dampak negatifnya
harus diantisipasi agar kerugian bisa dikurangi, kalau memang tidak bisa
dihilangkan. Dengan berlakunya AFTA, arus masuk dan keluar barang dan jasa
serta manusia akan lebih meningkat. Apalagi ditengarai Indonesia sebagai pasar
yang menggiurkan, meskipun dalam kondisi miskin.
Sesuai dengan namanya, maka perdagangan akan menjadi
motor penggerak ekonomi dalam suatu wilayah yang akan diwarnai oleh persaingan
antara pelaku lokal dengan asing. Kompetisi ini tentu akan melahirkan usaha
untuk meraih pembeli sebanyak-banyaknya. Sesuai dengan ilmu ekonomi, konsumen
akan membeli barang yang bagus dengan harga murah (kompetitif). Kondisi ini
sangat memungkinkan tersingkirnya pemain lokal.
Namun, jika melihat kondisi saat ini (sebelum AFTA), di
antara pemain lokal sendiri telah ada yang tersingkir secara sistematis (bukan
alamiah) dan pihak yang tetap eksis adalah mereka yang memiliki modal besar. Melihat
kondisi seperti ini saja, rasanya akan sulit bagi mayoritas rakyat yang berada
pada level pendapatan rendah untuk berusaha dan bersaing dalam kondisi AFTA.
Akan tetapi hal ini bisa disiasati. Yaitu dengan jalan
membuat kelompok-kelompok usaha yang anggotanya merupakan konsumen dari produk
yang ditawarkan oleh kelompok tersebut. Dengan cara seperti ini, masyarakat
dapat membangun imunitas terhadap serangan dari luar.
Selama ini kebersamaan kelompok belum menjadi budaya yang
menyebar merata di masyarakat sehingga satu sama lain tidak dapat saling
mendukung. Dan akhirnya mereka tidak dapat meningkatkan pendapatannya karena
secara individu mereka bersaing dengan para pemodal besar. Jika mereka
membangun kelompok dan kemudian membuat usaha bersama dimana konsumen utamanya
adalah mereka sendiri, maka mereka sudah memulai kehidupan mandiri yang saling
menguntungkan di antara anggota kelompok.
Membangun
usaha berdasarkan kebersamaan kelompok dapat dimulai dengan usaha untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini akan membangun imunitas terhadap unsur
luar yang dapat mematikan usaha penduduk lokal. Disamping itu, perputaran uang
akan beredar di antara mereka dan sekaligus mereka akan bisa menikmati
keuntungannya.
Untuk
membangun kesadaran seperti ini mutlak diperlukan adanya solidaritas sosial,
dan lebih bagus lagi jika memiliki kesamaan idiologi. Sebab, hal ini akan
memudahkan proses komunikasi dan interaksi diantara anggota kelompok. Sayangnya
idiologi yang sering didengar oleh masyarakat adalah idiologi negara (yaitu
Pancasila) yang mana selama pemerintahan Orde Baru telah menjadi idiologi semu
dalam kehidupan sosial masyarakat.
Sedangkan
kapitalisme yang tidak pernah disebut telah menjadi idiologi negara, telah
menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan menyengsarakan mayoritas rakyat.
Dampak dari idiologi semu bagi masyarakat ini telah mereduksi solidaritas
sosial serta proses interaksi dan komunikasi sosial sehingga sulit untuk
membangun kebersamaan kelompok yang didukung oleh keinginan untuk maju. Adapun
pengusaha besar, diuntungkan dari kondisi seperti ini.
Dengan
demikian, salah satu jalan untuk tetap survive di era AFTA adalah membangun kembali
kebersamaan kelompok yang dapat diawali dengan membangun idiologi kelompok dan
kemudian diikuti membangun solidaritas sosial anggotanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar