Rabu, 15 Agustus 2007

Human Capital Muslim

Oleh Erwin FS



Pemikiran mengenai manusia sebagai pelaku utama perubahan ekonomi di suatu negara didukung oleh teori human capital. Teori human capital menunjukkan bahwa hasil dari investasi pendidikan memiliki tingkat pengembalian sosial yang jauh lebih tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.


Teori human capital memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin. Namun setelah teori ini semakin meluas, maka human capital justru bisa membantu pengambil keputusan di negara-negara yang masih berkembang untuk memfokuskan pembangunan manusia yaitu menitikberatkan pada investasi pendidikan.

Namun sayangnya, negara berkembang memiliki berbagai problem dalam memfokuskan anggaran untuk pendidikan. Di Indonesia sendiri, perhatian besar yang memiliki landasan hukum yang lebih jelas terjadi setelah adanya perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu pada pasal 31 ayat (4) yang isinya: Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Semenjak munculnya angka dua puluh persen untuk anggaran pendidikan dalam UUD NRI 1945, maka perhatian terhadap pendidikan telah diimplementasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dengan mulai mempertinggi persentase anggaran, dan hingga saat ini persentase terbesar dalam anggaran pendapatan dan belanja negara adalah untuk sektor pendidikan. Kendati ada keterbatasan anggaran, kesadaran kolektif untuk menuju angka dua puluh persen telah ada. Berbagai desakan dari stake holder pendidikan agar parlemen dan pemerintah segera mewujudkan angka dua puluh persen membuktikan adanya kesadaran tersebut.

Setelah enam puluh dua tahun proklamasi kemerdekaan, kondisi Indonesia belum menggembirakan. Jika pada awal 1990an hingga 1996 Indonesia banyak mendapat berbagai pujian seperti Macan Asia, Keajaiban Asia, New Emerging Market, Negara Tujuan Investasi, dan juga angka kemiskinan yang menurun menjadi sekitar 22 juta jiwa versi pemerintah, maka semenjak 1997 hingga saat ini berbagai julukan dan predikat tersebut lenyap dan digantikan dengan berbagai status yang tidak menggembirakan.

Di samping itu, keruntuhan rejim orde baru yang memunculkan makna demokrasi yang lebih baik belum bisa memberikan dorongan yang lebih cepat untuk merubah kondisi Indonesia. Era transisi berjalan begitu lama, dan belum diimbangi dengan peran sumber daya manusia yang handal untuk mengangkat kembali harkat dan martabat ratusan juta rakyat Indonesia. Meskipun telah banyak sumber daya manusia yang menjalani pendidikan hingga tingkat pascasarjana, kontribusi yang tergambarkan secara makro masih dirasa belum signifikan.

Dalam teori human capital, individu yang menjalani pendidikan akan memberikan tingkat pengembalian sosial. Berdasarkan kerangka pemikiran ini, maka seharusnya individu yang berada pada jajaran pengambil keputusan (di berbagai level) dan termasuk dalam memberikan layanan publik mampu membuktikan tingkat pengembalian sosial mereka dalam bentuk munculnya berbagai kebijakan yang mengangkat derajat hidup rakyat dan memberikan layanan yang baik kepada publik.

Human Capital Muslim
Tingkat pengembalian individu diaosiasikan dengan pendapatan yang diterima setelah individu melakukan investasi pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi pula individu menerima pendapatan. Sedangkan tingkat pengembalian sosial diasosiasikan dengan peran individu dalam lingkungan sosialnya setelah ia melakukan investasi pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan individu, maka peluang individu untuk merubah lingkungannya akan semakin besar.

Pada kesempatan ini penulis ingin menambah istilah human capital menjadi human capital muslim. Human capital muslim secara definisi bisa merujuk kepada sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Meskipun pada masa kehidupan Nabi tidak ada sahabat yang melakukan investasi pendidikan pada bangku sekolah resmi, namun hasil pendidikan yang dilakukan Nabi memiliki multiplier effect yang bisa dilihat kemudian hasilnya.

Human capital muslim adalah individu muslim yang melakukan investasi pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan informal dimana keIslaman yang ia miliki mampu dipahami dengan baik dan diaplikasikan ke dalam kehidupan dia dan masyarakatnya dengan mengacu kepada nilai-nilai universal yang berlaku untuk seluruh manusia seperti kejujuran, amanah, tanggung jawab, peduli, kerja keras, adil, cerdas, simpati dan lainnya. Nilai-nilai ini dengan baik dilaksanakan oleh Nabi ketika menjadi pemimpin umat dan pemimpin negara. Penggantinya pun  melaksanakan nilai-nilai ini dengan baik, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Afan, Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali, bentuk pemerintahan berubah menjadi dinasti dimana pelaksanaan nilai-nilai universal tersebut tetap ada meskipun terjadi pasang surut.  

Di era kemerdekaan, peran human capital muslim telah memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan negara dan pemerintahan. Meskipun banyak terjadi gejolak politik, namun tingkat pengembalian sosial mereka bisa dirasakan baik berupa pemikiran, perjuangan fisik maupun peran politik.

Di era orde baru, hampir segala hal yang memungkinkan human capital muslim berperan besar dan siginifkan dalam masyarakat dimandulkan potensinya, bahkan muncul tekanan yang cukup kuat kepada umat Islam. 

Di era sekarang, sesungguhnya human capital muslim banyak terdapat di berbagai tempat, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif dan juga di tengah masyarakat. Namun sistem yang telah berurat akar menyulitkan mereka untuk mengaktualisasikan tingkat pengembalian sosial mereka.

Masalah Umat
Masalah yang dihadapi oleh umat maupun rakyat secara keseluruhan pada saat ini adalah kemiskinan. Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang belum pulih dari krisis sejak sepuluh tahun yang lalu. Kendati demikian, sebagian kebijakan pemerintah telah memberikan sumbangsih yang nyata untuk rakyat miskin seperti bantuan langsung tunai, asuransi kesehatan untuk keluarga miskin, pembagian kompor gas gratis, dan biaya sekolah gratis.

Namun berbagai kebijakan ini, akibat keterbatasan anggaran, masih dirasa kurang. Hal ini akibat angka indikator orang disebut miskin masih belum sesuai realitas di lapangan. Keluarga dengan dua orang anak dimana penghasilan sebulannya di bawah 640.000 rupiah digolongkan sebagai orang miskin. Sementara buruh yang upahnya 700.000 atau 800.000 rupiah perbulan yang memiliki dua orang anak bisa digolongkan tidak miskin, meskipun pada kenyataannya tidak demikian.

Dengan memperhatikan hal tersebut, maka potensi human capital muslim pada berbagai level pengambil keputusan perlu direkondisi kembali agar tercipta kesadaran kolektif sehingga kebijakan yang ada akan efektif diserap oleh masyarakat. Demikian pula pelayanan publik, potensi human capital muslim perlu disegarkan kembali agar masyarakat benar-benar dilayani dengan baik.

Sementara bagi human capital muslim yang berada di luar kelompok pengambil keputusan, perlu adanya kesatuan dalam menangani masalah umat (seperti kemiskinan) agar berdampak secara makro. Potensi human capital muslim perlu disatukan agar dampak makronya bisa terlihat. Bulan Agustus ini bisa menjadi momen yang tepat bagi human capital muslim untuk merubah nasib umat dan rakyat agar terjadi perubahan positif dari tahun ke tahun seiring semakin bertambahnya usia kemerdekaan.

Jakarta, 15 Agustus 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post