Pemikiran mengenai
manusia sebagai pelaku utama perubahan ekonomi di suatu negara didukung oleh
teori human capital. Teori human capital menunjukkan bahwa hasil dari investasi
pendidikan memiliki tingkat pengembalian sosial yang jauh lebih tinggi dibandingkan
investasi berupa pembangunan fisik.
Teori human capital
memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin sehingga seolah-olah manusia
sama dengan mesin. Namun setelah teori ini semakin meluas, maka human capital
justru bisa membantu pengambil keputusan di negara-negara yang masih berkembang
untuk memfokuskan pembangunan manusia yaitu menitikberatkan pada investasi
pendidikan.
Namun sayangnya, negara
berkembang memiliki berbagai problem dalam memfokuskan anggaran untuk
pendidikan. Di Indonesia sendiri, perhatian besar yang memiliki landasan hukum
yang lebih jelas terjadi setelah adanya perubahan keempat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu pada pasal 31 ayat (4) yang isinya:
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Semenjak munculnya
angka dua puluh persen untuk anggaran pendidikan dalam UUD NRI 1945, maka
perhatian terhadap pendidikan telah diimplementasikan dalam anggaran pendapatan
dan belanja negara dengan mulai mempertinggi persentase anggaran, dan hingga
saat ini persentase terbesar dalam anggaran pendapatan dan belanja negara
adalah untuk sektor pendidikan. Kendati ada keterbatasan anggaran, kesadaran kolektif
untuk menuju angka dua puluh persen telah ada. Berbagai desakan dari stake
holder pendidikan agar parlemen dan pemerintah segera mewujudkan angka dua
puluh persen membuktikan adanya kesadaran tersebut.
Setelah enam puluh dua tahun proklamasi kemerdekaan, kondisi Indonesia
belum menggembirakan. Jika pada awal 1990an hingga 1996 Indonesia banyak
mendapat berbagai pujian seperti Macan Asia, Keajaiban Asia, New Emerging
Market, Negara Tujuan Investasi, dan juga angka kemiskinan yang menurun menjadi
sekitar 22 juta jiwa versi pemerintah, maka semenjak 1997 hingga saat ini
berbagai julukan dan predikat tersebut lenyap dan digantikan dengan berbagai
status yang tidak menggembirakan.
Di samping itu, keruntuhan rejim orde baru yang memunculkan makna demokrasi
yang lebih baik belum bisa memberikan dorongan yang lebih cepat untuk merubah
kondisi Indonesia. Era transisi berjalan begitu lama, dan belum diimbangi
dengan peran sumber daya manusia yang handal untuk mengangkat kembali harkat
dan martabat ratusan juta rakyat Indonesia. Meskipun telah banyak sumber daya
manusia yang menjalani pendidikan hingga tingkat pascasarjana, kontribusi yang
tergambarkan secara makro masih dirasa belum signifikan.
Dalam teori human capital, individu yang menjalani pendidikan akan
memberikan tingkat pengembalian sosial. Berdasarkan kerangka pemikiran ini,
maka seharusnya individu yang berada pada jajaran pengambil keputusan (di
berbagai level) dan termasuk dalam memberikan layanan publik mampu membuktikan
tingkat pengembalian sosial mereka dalam bentuk munculnya berbagai kebijakan
yang mengangkat derajat hidup rakyat dan memberikan layanan yang baik kepada
publik.
Human Capital Muslim
Tingkat pengembalian individu diaosiasikan dengan pendapatan yang diterima
setelah individu melakukan investasi pendidikan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan maka akan semakin tinggi pula individu menerima pendapatan. Sedangkan
tingkat pengembalian sosial diasosiasikan dengan peran individu dalam
lingkungan sosialnya setelah ia melakukan investasi pendidikan. Semakin tinggi
tingkat pendidikan individu, maka peluang individu untuk merubah lingkungannya
akan semakin besar.
Pada kesempatan ini penulis ingin menambah istilah human capital menjadi
human capital muslim. Human capital muslim secara definisi bisa merujuk kepada
sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Meskipun pada masa
kehidupan Nabi tidak ada sahabat yang melakukan investasi pendidikan pada
bangku sekolah resmi, namun hasil pendidikan yang dilakukan Nabi memiliki
multiplier effect yang bisa dilihat kemudian hasilnya.
Human capital muslim adalah individu muslim yang melakukan investasi
pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan informal dimana keIslaman
yang ia miliki mampu dipahami dengan baik dan diaplikasikan ke dalam kehidupan
dia dan masyarakatnya dengan mengacu kepada nilai-nilai universal yang berlaku
untuk seluruh manusia seperti kejujuran, amanah, tanggung jawab, peduli, kerja
keras, adil, cerdas, simpati dan lainnya. Nilai-nilai ini dengan baik
dilaksanakan oleh Nabi ketika menjadi pemimpin umat dan pemimpin negara. Penggantinya
pun melaksanakan nilai-nilai ini dengan baik, yaitu Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Usman bin Afan, Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali, bentuk pemerintahan
berubah menjadi dinasti dimana pelaksanaan nilai-nilai universal tersebut tetap
ada meskipun terjadi pasang surut.
Di era kemerdekaan, peran human capital muslim telah memberikan kontribusi
yang besar dalam pembentukan negara dan pemerintahan. Meskipun banyak terjadi
gejolak politik, namun tingkat pengembalian sosial mereka bisa dirasakan baik
berupa pemikiran, perjuangan fisik maupun peran politik.
Di era orde baru, hampir segala hal yang memungkinkan human capital muslim
berperan besar dan siginifkan dalam masyarakat dimandulkan potensinya, bahkan
muncul tekanan yang cukup kuat kepada umat Islam.
Di era sekarang, sesungguhnya human capital muslim banyak terdapat di
berbagai tempat, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif dan juga di tengah
masyarakat. Namun sistem yang telah berurat akar menyulitkan mereka untuk
mengaktualisasikan tingkat pengembalian sosial mereka.
Masalah Umat
Masalah yang dihadapi oleh umat maupun rakyat secara keseluruhan pada saat
ini adalah kemiskinan. Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang belum
pulih dari krisis sejak sepuluh tahun yang lalu. Kendati demikian, sebagian
kebijakan pemerintah telah memberikan sumbangsih yang nyata untuk rakyat miskin
seperti bantuan langsung tunai, asuransi kesehatan untuk keluarga miskin,
pembagian kompor gas gratis, dan biaya sekolah gratis.
Namun berbagai
kebijakan ini, akibat keterbatasan anggaran, masih dirasa kurang. Hal ini
akibat angka indikator orang disebut miskin masih belum sesuai realitas di
lapangan. Keluarga dengan dua orang anak dimana penghasilan sebulannya di bawah
640.000 rupiah digolongkan sebagai orang miskin. Sementara buruh yang upahnya
700.000 atau 800.000 rupiah perbulan yang memiliki dua orang anak bisa
digolongkan tidak miskin, meskipun pada kenyataannya tidak demikian.
Dengan memperhatikan
hal tersebut, maka potensi human capital muslim pada berbagai level pengambil
keputusan perlu direkondisi kembali agar tercipta kesadaran kolektif sehingga
kebijakan yang ada akan efektif diserap oleh masyarakat. Demikian pula
pelayanan publik, potensi human capital muslim perlu disegarkan kembali agar
masyarakat benar-benar dilayani dengan baik.
Sementara bagi human
capital muslim yang berada di luar kelompok pengambil keputusan, perlu adanya
kesatuan dalam menangani masalah umat (seperti kemiskinan) agar berdampak
secara makro. Potensi human capital muslim perlu disatukan agar dampak makronya
bisa terlihat. Bulan Agustus ini bisa menjadi momen yang tepat bagi human
capital muslim untuk merubah nasib umat dan rakyat agar terjadi perubahan
positif dari tahun ke tahun seiring semakin bertambahnya usia kemerdekaan.
Jakarta, 15 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar