“Adapun syarat dari
pemerintahan yang baik, hendaknya orang yang memerintah membela rakyatnya dan
berhati murah terhadap mereka. Pembelaan adalah sebenarnya raison d’etre
pemerintahan, sedang murah hati adalah satu segi dari sifat santun dan lemah
lembut orang yang memerintah terhadap rakyatnya dan suatu jalan untuk dapat
menambah kesejahteraan rakyat; juga jalan utama untuk merebut kecintaan rakyat” (Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah)
Masa transisi setidaknya berisi
gambaran berbeda untuk orang terdidik dan orang tak mampu. Bagi orang terdidik,
kebebasan berekspresi adalah ”kemewahan jaman orba” yang kini bisa dirasakan. Sementara
bagi orang tak mampu, masa transisi tak lebih sekedar kesuraman yang panjang.
Maka di masa transisi ini bunuh
diri, penyiksaan keluarga, kekerasan terhadap anak serta kekerasan lainnya
kerap identik dengan orang tak mampu. Sementara isu HAM, KKN, penegakan hukum,
demokrasi, pemerintahan yang bersih identik dengan kalangan terdidik. Keduanya
menghiasai kehidupan sehari-hari.
Tumbuh-kembang Demokrasi
Semenjak kejatuhan rejim Orde
Baru, perkembangan politik dan demokrasi mengalami akselerasi yang cukup
signifikan. Ini ditandai dengan lahirnya banyak partai politik yang kemudian
mengikuti pemilu. Pemilu tersebut telah berlangsung 2 kali yaitu pada tahun
1999 dan 2004. Khusus pada tahun 2004 telah berlangsung pemilihan presiden
secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia.
Selain itu, berbagai organisasi
lahir dalam memberikan partisipasi melakukan advokasi maupun kritik kepada
pemerintah. Individu maupun lembaga berhak menyuarakan pendapat mereka di
depan publik tanpa takut kepada pemerintah. Media massa pun tak kalah memberitakan berbagai prestasi dan
kekurangan pemerintah tanpa rasa takut.
Demokrasi dalam arti riil mulai
menjejakkan langkahnya di Indonesia. Hanya saja perkembangannya baru terbatas pada kebebasan
berekspresi bagi setiap warga negara. Para elit satu persatu
bermunculan menghiasi demokrasi yang tengah menapak yang kemudian menimbulkan
konflik kepentingan dan perang opini. Sayangnya hal ini lambat laun menjadi
dominan dalam dunia perpolitikan. Kian hari dinamika politik tidak mampu
menyebar cepat kepada dinamika ekonomi rakyat. Hal ini menyebabkan kita masih berada
dalam masa transisi yang panjang hingga saat ini.
Meskipun
telah ada pemilihan langsung presiden dan kepala daerah, nasib rakyat belum
berubah signifikan ke arah yang lebih baik. Carut marut perpolitikan menyeret
ketidakpastian yang semakin panjang.
Biaya
Sosial
Biaya
sosial yang didapat rakyat semakin besar jika masa transisi semakin lama. Pada
saat ini saja sudah dapat disaksikan betapa besarnya penderitaan rakyat akibat
berbagai kebijakan ekonomi yang dihasilkan di masa transisi. Keluarga yang
mendaftarkan diri sebagai keluarga miskin bertambah menjadi 10 juta keluarga. Setelah
melalui verifikasi pemerintah, hanya 2,5 juta keluarga yang berhak menerima
bantuan langsung tunai (BLT). Sebelumnya sudah ada 15 juta keluarga yang
menerima BLT. Dengan demikian total keluarga yang akan mendapat BLT adalah 17,5
juta. Jika yang 15 juta ditambahkan dengan 10 juta keluarga yang mengusulkan
mendapat BLT maka akan ada 25 juta keluarga miskin di Indonesia. Jika
diasumsikan setiap keluarga terdiri dari 4 orang maka jumlah orang miskin
adalah sebesar 100 juta jiwa.
Sementara
jumlah keluarga yang berada di atas kriteria keluarga miskin jumlahnya juga
tidak sedikit. Disamping itu kriteria keluarga miskin juga masih bisa
diperdebatkan mengingat selama ini pengertian miskin oleh pemerintah belum
sesuai dengan realitas di masyarakat. Keluarga miskin dicirikan dengan rumah
kayu atau non tembok dan tidak memiliki televisi. Padahal keluarga yang
rumahnya tembok dan memiliki televisi banyak juga yang tergolong miskin karena
mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya dan sulit memenuhi biaya
kesehatan serta sulit memnuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Paradoks
antara perkembangan demokrasi dan peningkatan jumlah penduduk miskin adalah
hasil dari semakin panjangnya masa transisi yang harus dilalui bangsa
Indonesia. Tidak pernah terpikirkan kapan bisa berakhir. Hal ini juga sangat
tergantung kepada pemerintah karena konsekuensi dari pemilihan periden langsung
adalah timbulnya hak presiden menjabarkan visi pemerintahannya. Jika pemerintah
terjebak kepada dinamika politik yang berkembang, maka bisa diramalkan transisi
akan lebih panjang. Ini mengakibatkan tumpulnya kepekaan terhadap kesulitan
ekonomi rakyat.
Menyikapi
Masa Transisi
Masa
transisi yang panjang perlu disikapi dengan melihat kebijakan ekonomi apa yang
bisa mengeluarkan rakyat dari jebakan masa transisi. Jebakan transisi
menumbuhkembangkan birokrasi yang kurang peka terhadap kesulitan ekonomi
rakyat. Untuk itu perlu adanya lembaga di luar birokrasi yang mampu memberikan
pencerahan ekonomi seperti halnya kemunculan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang bisa memberikan sedikit pencerahan dalam penegakan hukum pemberantasan
korupsi.
Zakat
adalah potensi yang selama ini belum tergarap secara optimal. Sosialisasinya
masih sangat minim. Meskipun masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim,
namun kesadaran dan pengetahuan tentang kewajiban zakat relatif masih kurang.
Di tengah carut marut masa transisi, sosialisasi zakat perlu diperkuat agar
terjadi distribusi aset dalam skala ekonomi yang besar.
Untuk
itu perlu dibuat lembaga yang menangani zakat yang anggotanya diseleksi dan
diuji kelayakan dan kepatutan di depan DPR agar didapatkan personil yang mampu
mengelola masalah zakat dengan baik serta mendapatkan dukungan dari pemerintah
baik berupa dana maupun lainnya.
Pemerintah
perlu diberikan masukan yang intensif untuk masalah ini agar terbuka
pemikirannya untuk memperbaiki ekonomi rakyat. Kebijakan memperbaiki ekonomi
rakyat tak lepas dari upaya pengurangan jumlah kemiskinan. Pada masa tansisi
ini, rakyat miskin menjadi pihak yang paling merasakan akibat kebnijakan
pemerintah seperti kenaikan harga BBM yang menyebabkan inflasi tinggi.
Program
pemerintah bagi orang miskin masih kurang efektif akibat birokrasi yang kurang
peka terhadap beban penderitaan rakyat, namun di sisi lain diakui distribusinya
sudah lebih baik dan ada niat baik dari pemerintah. Untuk itulah pembentukan
Komisi Zakat Nasional diperlukan agar adanya lembaga yang memfokuskan diri
serta peka terhadap masalah kemiskinan.
Di
masa transisi ini, di tengah dominannya masalah politik, perhatian kepada orang
miskin masih kurang. Ini dapat dilihat dari kebijakan ekonomi yang tercermin di
APBN. Maka mau tak mau perlu ada dana yang berasal dari luar APBN. Zakat adalah
salah satu sumber dana yang potensial. Sumber dana lain tentunya ada juga,
namun perlu ada pihak yang mengemukakan hal ini agar publik dan pemerintah
mengetahuinya.
Zakat
adalah salah satu bentuk redistribusi aset yang memiliki nilai spriritual.
Dengan jumlah orang Islam yang besar, potensi zakat juga besar. Penyaluran
zakat yang berskala ekonomi akan membantu pemberdayaan orang miskin sehingga
mereka bisa mandiri dan melepaskan ketergantungan dari bantuan zakat. Dengan
demikian kelak mereka bisa menjadi pembayar zakat. Jika ini sudah terjadi, pada
gilirannya akan membantu kebijakan ekonomi pemerintah.
Di masa transisi ini, kebijakan ekonomi pemerintah lebih
mengharapkan adanya investasi dari luar yang akan mendatangkan devisa, modal
serta memberi peluang kerja kepada rakyat. Sayangnya, iklim investasi di Indonesia saat ini masih kurang menarik dibanding negara Asia
Tenggara lainnya. Dengan adanya kebijakan zakat, jelas akan membantu
pemerintah. Pemerintah perlu juga didorong agar komisi zakat nasional bisa
memberikan hasil yang signifikan bagi pengurangan angka kemisknan dan
memberikan efek muliplier bagi ekonomi.
Menyikapi
masa transisi yang panjang ini, kemiskinan harus mendapat perhatian. Upaya
pemerintah keluar dari krisis masih didominasi dominannya konflik kepentingan
sehingga kepentingan nasional tidak berada di depan. Inilah yang menyebabkan
berlarutnya masa transisi. Zakat adalah posisi yang masih belum digarap dengan
baik dan dalam skala ekonomi, padahal ia tidak berbenturan dengan konflik
kepentingan. Hanya
saja diperlukan orang-orang yang mau menggerakkan hal ini, termasuk
menyampaikannya kepada pemerintah. Dan jutaan rakyat miskinpun menanti
tangan-tangan yang tulus ikhlas mengangkat mereka dari kesengsaraan yang
berkepanjangan. Tangan yang di atas sangat dinantikan perannya untuk membantu
tangan yang di bawah agar keberkahan turun di muka bumi.
Sebagian
orang meyakini bahwa demokrasi dapat mengurangi bahkan memberantas kemiskinan.
Namun di Indonesia, demokrasi yang kian mekar belum menunjukkan ke arah
tersebut, bahkan timbul berbagai paradoks. Vietnam yang komunis,
perekonomiannya mampu menunjukkan kinerja yang lebih baik. Namun demikian,
pilihan terhadap demokrasi yang sudah terlaksanan jangan sampai menghambat
usaha-usaha pengoptimalan zakat. Bahkan sebaliknya, momentum demokratisasi
harus mampu menjadi alat mengintensifkan pengurusan zakat dan permasalahannya.
Para
pemimpin umat mesti menyikapi masa transisi ini dengan memberi perhatian yang
besar kepada masalah kemiskinan. Masa transisi yang panjang yang diwarnai
konflik kepentingan akan menjauhkan perhatian kepada masalah kemiskinan. Para
pemimpin umat dapat memanfaatkan momentum demokrasi sebagai upaya pemihakan
kepada rakyat miskin yang tidak hanya bertambah jumlahnya, akan tetapi semakin
sulit memenuhi kebutuhan primernya.
Menyikapi
masa transisi yang panjang hendaknya dengan mencari solusi yang bisa
dimanfaatkan, disamping mengkritisi kebijakan ekonomi yang kadang jauh dari
keberpihakan terhadap kesejahteraan rakyat.
12
April 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar