Rabu, 12 April 2006

Menyikapi Masa Transisi yang Panjang

Oleh Erwin FS


“Adapun syarat dari pemerintahan yang baik, hendaknya orang yang memerintah membela rakyatnya dan berhati murah terhadap mereka. Pembelaan adalah sebenarnya raison d’etre pemerintahan, sedang murah hati adalah satu segi dari sifat santun dan lemah lembut orang yang memerintah terhadap rakyatnya dan suatu jalan untuk dapat menambah kesejahteraan rakyat; juga jalan utama untuk merebut kecintaan rakyat” (Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah) 

Masa transisi setidaknya berisi gambaran berbeda untuk orang terdidik dan orang tak mampu. Bagi orang terdidik, kebebasan berekspresi adalah ”kemewahan jaman orba” yang kini bisa dirasakan. Sementara bagi orang tak mampu, masa transisi tak lebih sekedar kesuraman yang panjang.  
Maka di masa transisi ini bunuh diri, penyiksaan keluarga, kekerasan terhadap anak serta kekerasan lainnya kerap identik dengan orang tak mampu. Sementara isu HAM, KKN, penegakan hukum, demokrasi, pemerintahan yang bersih identik dengan kalangan terdidik. Keduanya menghiasai kehidupan sehari-hari.  
Tumbuh-kembang Demokrasi
Semenjak kejatuhan rejim Orde Baru, perkembangan politik dan demokrasi mengalami akselerasi yang cukup signifikan. Ini ditandai dengan lahirnya banyak partai politik yang kemudian mengikuti pemilu. Pemilu tersebut telah berlangsung 2 kali yaitu pada tahun 1999 dan 2004. Khusus pada tahun 2004 telah berlangsung pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia.
Selain itu, berbagai organisasi lahir dalam memberikan partisipasi melakukan advokasi maupun kritik kepada pemerintah. Individu maupun lembaga berhak menyuarakan  pendapat mereka di depan publik tanpa takut kepada pemerintah. Media massa pun tak kalah memberitakan berbagai prestasi dan kekurangan pemerintah tanpa rasa takut.
Demokrasi dalam arti riil mulai menjejakkan langkahnya di Indonesia. Hanya saja perkembangannya baru terbatas pada kebebasan berekspresi bagi setiap warga negara. Para elit satu persatu bermunculan menghiasi demokrasi yang tengah menapak yang kemudian menimbulkan konflik kepentingan dan perang opini. Sayangnya hal ini lambat laun menjadi dominan dalam dunia perpolitikan. Kian hari dinamika politik tidak mampu menyebar cepat kepada dinamika ekonomi rakyat. Hal ini menyebabkan kita masih berada dalam masa transisi yang panjang hingga saat ini.  
Meskipun telah ada pemilihan langsung presiden dan kepala daerah, nasib rakyat belum berubah signifikan ke arah yang lebih baik. Carut marut perpolitikan menyeret ketidakpastian yang semakin panjang.  
Biaya Sosial
Biaya sosial yang didapat rakyat semakin besar jika masa transisi semakin lama. Pada saat ini saja sudah dapat disaksikan betapa besarnya penderitaan rakyat akibat berbagai kebijakan ekonomi yang dihasilkan di masa transisi. Keluarga yang mendaftarkan diri sebagai keluarga miskin bertambah menjadi 10 juta keluarga. Setelah melalui verifikasi pemerintah, hanya 2,5 juta keluarga yang berhak menerima bantuan langsung tunai (BLT). Sebelumnya sudah ada 15 juta keluarga yang menerima BLT. Dengan demikian total keluarga yang akan mendapat BLT adalah 17,5 juta. Jika yang 15 juta ditambahkan dengan 10 juta keluarga yang mengusulkan mendapat BLT maka akan ada 25 juta keluarga miskin di Indonesia. Jika diasumsikan setiap keluarga terdiri dari 4 orang maka jumlah orang miskin adalah sebesar 100 juta jiwa.  
Sementara jumlah keluarga yang berada di atas kriteria keluarga miskin jumlahnya juga tidak sedikit. Disamping itu kriteria keluarga miskin juga masih bisa diperdebatkan mengingat selama ini pengertian miskin oleh pemerintah belum sesuai dengan realitas di masyarakat. Keluarga miskin dicirikan dengan rumah kayu atau non tembok dan tidak memiliki televisi. Padahal keluarga yang rumahnya tembok dan memiliki televisi banyak juga yang tergolong miskin karena mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya dan sulit memenuhi biaya kesehatan serta sulit memnuhi kebutuhan hidup sehari-hari.  
Paradoks antara perkembangan demokrasi dan peningkatan jumlah penduduk miskin adalah hasil dari semakin panjangnya masa transisi yang harus dilalui bangsa Indonesia. Tidak pernah terpikirkan kapan bisa berakhir. Hal ini juga sangat tergantung kepada pemerintah karena konsekuensi dari pemilihan periden langsung adalah timbulnya hak presiden menjabarkan visi pemerintahannya. Jika pemerintah terjebak kepada dinamika politik yang berkembang, maka bisa diramalkan transisi akan lebih panjang. Ini mengakibatkan tumpulnya kepekaan terhadap kesulitan ekonomi rakyat.   
Menyikapi Masa Transisi
Masa transisi yang panjang perlu disikapi dengan melihat kebijakan ekonomi apa yang bisa mengeluarkan rakyat dari jebakan masa transisi. Jebakan transisi menumbuhkembangkan birokrasi yang kurang peka terhadap kesulitan ekonomi rakyat. Untuk itu perlu adanya lembaga di luar birokrasi yang mampu memberikan pencerahan ekonomi seperti halnya kemunculan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa memberikan sedikit pencerahan dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi.  
Zakat adalah potensi yang selama ini belum tergarap secara optimal. Sosialisasinya masih sangat minim. Meskipun masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim, namun kesadaran dan pengetahuan tentang kewajiban zakat relatif masih kurang. Di tengah carut marut masa transisi, sosialisasi zakat perlu diperkuat agar terjadi distribusi aset dalam skala ekonomi yang besar.  
Untuk itu perlu dibuat lembaga yang menangani zakat yang anggotanya diseleksi dan diuji kelayakan dan kepatutan di depan DPR agar didapatkan personil yang mampu mengelola masalah zakat dengan baik serta mendapatkan dukungan dari pemerintah baik berupa dana maupun lainnya.  
Pemerintah perlu diberikan masukan yang intensif untuk masalah ini agar terbuka pemikirannya untuk memperbaiki ekonomi rakyat. Kebijakan memperbaiki ekonomi rakyat tak lepas dari upaya pengurangan jumlah kemiskinan. Pada masa tansisi ini, rakyat miskin menjadi pihak yang paling merasakan akibat kebnijakan pemerintah seperti kenaikan harga BBM yang menyebabkan inflasi tinggi.  
Program pemerintah bagi orang miskin masih kurang efektif akibat birokrasi yang kurang peka terhadap beban penderitaan rakyat, namun di sisi lain diakui distribusinya sudah lebih baik dan ada niat baik dari pemerintah. Untuk itulah pembentukan Komisi Zakat Nasional diperlukan agar adanya lembaga yang memfokuskan diri serta peka terhadap masalah kemiskinan.  
Di masa transisi ini, di tengah dominannya masalah politik, perhatian kepada orang miskin masih kurang. Ini dapat dilihat dari kebijakan ekonomi yang tercermin di APBN. Maka mau tak mau perlu ada dana yang berasal dari luar APBN. Zakat adalah salah satu sumber dana yang potensial. Sumber dana lain tentunya ada juga, namun perlu ada pihak yang mengemukakan hal ini agar publik dan pemerintah mengetahuinya.   
Zakat adalah salah satu bentuk redistribusi aset yang memiliki nilai spriritual. Dengan jumlah orang Islam yang besar, potensi zakat juga besar. Penyaluran zakat yang berskala ekonomi akan membantu pemberdayaan orang miskin sehingga mereka bisa mandiri dan melepaskan ketergantungan dari bantuan zakat. Dengan demikian kelak mereka bisa menjadi pembayar zakat. Jika ini sudah terjadi, pada gilirannya akan membantu kebijakan ekonomi pemerintah.  
 Di masa transisi ini, kebijakan ekonomi pemerintah lebih mengharapkan adanya investasi dari luar yang akan mendatangkan devisa, modal serta memberi peluang kerja kepada rakyat. Sayangnya, iklim investasi di Indonesia saat ini masih kurang menarik dibanding negara Asia Tenggara lainnya. Dengan adanya kebijakan zakat, jelas akan membantu pemerintah. Pemerintah perlu juga didorong agar komisi zakat nasional bisa memberikan hasil yang signifikan bagi pengurangan angka kemisknan dan memberikan efek muliplier bagi ekonomi.  
Menyikapi masa transisi yang panjang ini, kemiskinan harus mendapat perhatian. Upaya pemerintah keluar dari krisis masih didominasi dominannya konflik kepentingan sehingga kepentingan nasional tidak berada di depan. Inilah yang menyebabkan berlarutnya masa transisi. Zakat adalah posisi yang masih belum digarap dengan baik dan dalam skala ekonomi, padahal ia tidak berbenturan dengan konflik kepentingan. Hanya saja diperlukan orang-orang yang mau menggerakkan hal ini, termasuk menyampaikannya kepada pemerintah. Dan jutaan rakyat miskinpun menanti tangan-tangan yang tulus ikhlas mengangkat mereka dari kesengsaraan yang berkepanjangan. Tangan yang di atas sangat dinantikan perannya untuk membantu tangan yang di bawah agar keberkahan turun di muka bumi.  
Sebagian orang meyakini bahwa demokrasi dapat mengurangi bahkan memberantas kemiskinan. Namun di Indonesia, demokrasi yang kian mekar belum menunjukkan ke arah tersebut, bahkan timbul berbagai paradoks. Vietnam yang komunis, perekonomiannya mampu menunjukkan kinerja yang lebih baik. Namun demikian, pilihan terhadap demokrasi yang sudah terlaksanan jangan sampai menghambat usaha-usaha pengoptimalan zakat. Bahkan sebaliknya, momentum demokratisasi harus mampu menjadi alat mengintensifkan pengurusan zakat dan permasalahannya.   
Para pemimpin umat mesti menyikapi masa transisi ini dengan memberi perhatian yang besar kepada masalah kemiskinan. Masa transisi yang panjang yang diwarnai konflik kepentingan akan menjauhkan perhatian kepada masalah kemiskinan. Para pemimpin umat dapat memanfaatkan momentum demokrasi sebagai upaya pemihakan kepada rakyat miskin yang tidak hanya bertambah jumlahnya, akan tetapi semakin sulit memenuhi kebutuhan primernya.  
Menyikapi masa transisi yang panjang hendaknya dengan mencari solusi yang bisa dimanfaatkan, disamping mengkritisi kebijakan ekonomi yang kadang jauh dari keberpihakan terhadap kesejahteraan rakyat.
12 April 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post