Oleh Erwin FS
Bagi umat Islam, bulan Ramadhan diyakini sebagai bulan
tempat penggemblengan dan penyucian jiwa. Akhir dari hal ini adalah merayakan
kemenangan di hari Idul Fitri dimana jiwa setiap muslim kembali kepada
fitrahnya. Namun mewujudkan hal ini secara kolektif bukan pekerjaan yang mudah.
Akibatnya Ramadhan menjadi semacam seremonial, meskipun penuh makna dan manfaat
bagi umat Islam.
Di bulan Ramadhan, umat Islam umumnya secara kultural
mampu mengaktualisasikan altruisme (kedermawanan) mereka lebih baik dibanding
bulan-bulan sebelumnya. Masjid-masjid mendapatkan infak yang relatif lebih
besar jumlahnya. Acara berbuka puasa bersama dilaksanakan di berbagai tempat,
pemberian santunan kepada kaum yang kurang mampu juga gencar dilakukan. Namun
sayangnya setelah Ramadhan, altruisme itu menurun dan lama-kelamaan tiada.
Hal ini
memperlihatkan bahwa altruisme masyarakat masih bersifat temporer dan
insidental. Seharusnya altruisme masyarakat bisa dipelihara secara reguler bila
terdapat institusi yang mampu mensosialisasikan contoh nyata pengelolaan
altruisme masyarakat dengan baik oleh lembaga yang memiliki akuntabilitas serta
kredibilitas di tengah gencarnya perang melawan korupsi dan kampanye good
organization/corporate governance. Institusi ini memiliki manajemen public
relation yang baik sehingga mampu menyampaikan ke publik berbagai
keberhasilan yang sudah dicapai dan juga secara efektif mempengaruhi masyarakat
untuk membayar zakat.
Fenomena insidental
atau temporer di atas adalah gambaran bahwa selama ini altruisme umat Islam
belum digarap secara serius sehingga belum terlihat hasil nyata secara
makroekonomi. Altruisme yang bisa dilakukan oleh umat Islam umumnya berupa
implementasi zakat, infak, sodaqoh dan wakaf (ziswaf). Sejauh ini belum ada
institusi yang secara efektif bisa menyadarkan masyarakat akan pentingnya
beramal nyata melalui ziswaf.
Selama ini banyak
masyarakat menganggap bahwa menunaikan zakat fitrah di bulan Ramadhan adalah
kewajiban zakat yang merupakan bagian dari rukun Islam. Padahal yang dimaksud
bukanlah zakat fitrah, tetapi zakat harta (mal). Akibat dari hal ini, Ramadhan
berlalu tanpa meninggalkan jejak altruisme di masyarakat.
Bila kita melihat
rukun Islam, urutan setelah puasa adalah zakat dan ibadah haji. Tidak sedikit
masyarakat yang membiarkan kewajiban menunaikan zakat untuk kemudian meloncat
kepada pelaksanaan ibadah haji. Sehingga tidak sedikit orang yang berusaha
untuk mengumpulkan dana untuk menunaikan haji namun lalai untuk menunaikan
zakat. Fakta di lapangan, animo masyarakat untuk menunaikan
haji semakin meningkat dari tahun ke tahun, meskipun di tengah kondisi krisis.
Peran Media
Bulan Ramadhan sangat kondusif bagi pengkondisian umat. Di bulan ini media massa bisa diajak bekerjasama untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan urgensi zakat melalui acara yang dikemas dengan baik dalam berbagai bentuk dan variasinya. Di luar bulan Ramadhan, penyampaian pesan urgensi zakat relatif lebih sulit karena momentum yang tidak tepat dan bahkan mungkin oleh stasiun televisi dianggap tidak bernilai ekonomis atau tidak menarik animo masyarakat sehingga acara yang diadakan tidak memiliki kelayakan tayang.
Bulan Ramadhan sangat kondusif bagi pengkondisian umat. Di bulan ini media massa bisa diajak bekerjasama untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan urgensi zakat melalui acara yang dikemas dengan baik dalam berbagai bentuk dan variasinya. Di luar bulan Ramadhan, penyampaian pesan urgensi zakat relatif lebih sulit karena momentum yang tidak tepat dan bahkan mungkin oleh stasiun televisi dianggap tidak bernilai ekonomis atau tidak menarik animo masyarakat sehingga acara yang diadakan tidak memiliki kelayakan tayang.
Media elektronik di
bulan Ramadhan menganggap acara-acara keislaman layak dijual ke publik. Inilah
kesempatan emas yang harus dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan yang
berkaitan dengan urgensi zakat. Media elektronik relatif lebih efektif untuk
menyampaikan pesan ke seluruh pelosok daerah dimana LPZ belum tentu bisa
berbuat seperti ini.
Sayangnya sampai saat
ini upaya penyampaian urgensi zakat belum memiliki manajemen yang berskala
besar. LPZ masih berjalan sendiri-sendiri. Ini
bisa dilihat dari iklan LPZ di media maupun di tempat umum. Hal ini tidak bisa
kita persalahkan pula mengingat LPZ sudah berusaha optimal sesuai situasi,
kondisi, peraturan dan sumber daya yang ada.Disamping
itu UU dan peraturan yang ada tidak memposisikan adanya institusi yang
berwenang melakukan sosialisasi zakat secara massif karena membutuhkan dana
yang besar. Jikapun ada lembaga seperti Baznas, itupun tidak mendapat kucuran
dana yang cukup untuk sosialisasi.
Kita tentunya
mengharapkan akan lahir institusi yang mampu melakukan sosialiasi zakat dengan
efektif. Untuk itu perlu dilakukan berbagai langkah yang bisa mendorongnya
terbentuk institut sosialisasi zakat.
Institusi Khusus
Penulis melihat perlunya pendekatan ekonomi politik agar ada institusi yang bisa melakukan penyampaian pesan urgensi zakat yang didanai oleh negara melalui APBN. Penyampaian pesan adalah bagian penting dalam penyebaran informasi kepada publik. Tanpa hal ini tidak akan terjadi sosialisasi yang efektif tentang urgensi zakat kepada publik.
Penulis melihat perlunya pendekatan ekonomi politik agar ada institusi yang bisa melakukan penyampaian pesan urgensi zakat yang didanai oleh negara melalui APBN. Penyampaian pesan adalah bagian penting dalam penyebaran informasi kepada publik. Tanpa hal ini tidak akan terjadi sosialisasi yang efektif tentang urgensi zakat kepada publik.
Institusi baru
tersebut pembentukannya melalui prosedur kepada otoritas terkait seperti DPR RI
maupun pihak eksekutif. Tanpa hal ini mustahil/relatif sulit mewujudkan institusi
yang berdana besar untuk sosialisasi.
Amandemen UU
Pengelolaan Zakat
UU Pengelolaan Zakat memang sudah sangat mendesak untuk diamandemen. UU yang ada selama ini masih dirasa kurang untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang terkait baik dari sosialisasi hingga distribusi zakat.
UU Pengelolaan Zakat memang sudah sangat mendesak untuk diamandemen. UU yang ada selama ini masih dirasa kurang untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang terkait baik dari sosialisasi hingga distribusi zakat.
Agar amandemen UU
Pengelolaan Zakat memiliki output yang komprehensif, stake holder zakat harus
mampu memainkan peran sebagai mitra kerja dengan parlemen. Dengan demikian bisa
terjalin komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik akan mampu menyamakan
persepsi mengenai urgensi zakat untuk kemaslahatan umat dan juga menyampaikan
pesan-pesan lainnya yang terkait dengan kemaslahatan umat. .
Momentum Ramadhan
adalah waktu yang tepat untuk melakukan sosialisasi yang efektif. Ramadhan bisa
dicanangkan sebagai bulan sosialisasi zakat khususnya dan juga bulan
sosialisasi ekonomi Islam umumnya. Hal ini bisa dimasukkan sebagai salah satu
klausul dalam amandemen UU Pengelolaan Zakat.
Klausul lainnya yang
perlu diperhatikan adalah keterkaitan antara UU Pengelolaan Zakat dengan RUU/UU
lain terutama RUU/UU yang terkait langsung dengan perkembangan ekonomi Islam
dan kemaslahatan umat. Dengan demikian, zakat bisa memasuki bidang-bidang lain
sehingga daya serapnya lebih tinggi dan mampu menjadi indikator kesejahteraan
masyarakat secara riil, terutama pengurangan rakyat miskin sekaligus melakukan
pemberdayaan terhadap mereka.
Penutup
Kembali kepada momentum Ramadhan, institusi dan stake holder ekonomi Islam seharusnya bisa memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai bulan pembinaan altruisme masyarakat, khususnya sosialisasi zakat yang didukung oleh institusi berwenang yang memiliki dana khusus. Dengan adanya sosialisasi yang terus menerus dan berskala besar diharapkan akan mendapat sambutan dari masyarakat. Harapannya, ini mampu mengangkat peran zakat ke arah yang lebih berdampak secara makroekonomi dan juga membantu ekonomi Indonesia.
Kembali kepada momentum Ramadhan, institusi dan stake holder ekonomi Islam seharusnya bisa memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai bulan pembinaan altruisme masyarakat, khususnya sosialisasi zakat yang didukung oleh institusi berwenang yang memiliki dana khusus. Dengan adanya sosialisasi yang terus menerus dan berskala besar diharapkan akan mendapat sambutan dari masyarakat. Harapannya, ini mampu mengangkat peran zakat ke arah yang lebih berdampak secara makroekonomi dan juga membantu ekonomi Indonesia.
Zakat sebagai bagian
dari pilar kebijakan keuangan publik Islam relatif bisa diaplikasikan di segala
zaman bila dibandingkan dengan kebijakan keuangan publik Islam lainnya. Di
zaman Khalifah Abu Bakar r.a, zakat bisa dijalankan baik melalui kebijakan
politik, yang tercermin dari kebijakan memerangi mereka yang tidak membayar
zakat, maupun kebijakan religius. Namun saat ini hanya kebijakan religius saja
yang bisa dijalankan sehingga setiap momentum dan kesempatan harus dimanfaatkan
sebaik mungkin. Bulan Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk menyentuh hati
umat Islam untuk menunaikan zakat mereka.
Seperti halnya para
sahabat yang sangat sedih meninggalkan bulan Ramadhan, maka kesedihan ini juga
akan melanda para stake holder ekonomi Islam khususnya pegiat
zakat karena momentum yang berharga untuk menyentuh hati umat Islam telah
lewat begitu saja.
31 Oktober 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar