Senin, 31 Oktober 2005

Ramadhan Bulan Sosialisasi Zakat


Oleh Erwin FS

Bagi umat Islam, bulan Ramadhan diyakini sebagai bulan tempat penggemblengan dan penyucian jiwa. Akhir dari hal ini adalah merayakan kemenangan di hari Idul Fitri dimana jiwa setiap muslim kembali kepada fitrahnya. Namun mewujudkan hal ini secara kolektif bukan pekerjaan yang mudah. Akibatnya Ramadhan menjadi semacam seremonial, meskipun penuh makna dan manfaat bagi umat Islam.

Di bulan Ramadhan, umat Islam umumnya secara kultural mampu mengaktualisasikan altruisme (kedermawanan) mereka lebih baik dibanding bulan-bulan sebelumnya. Masjid-masjid mendapatkan infak yang relatif lebih besar jumlahnya. Acara berbuka puasa bersama dilaksanakan di berbagai tempat, pemberian santunan kepada kaum yang kurang mampu juga gencar dilakukan. Namun sayangnya setelah Ramadhan, altruisme itu menurun dan lama-kelamaan tiada.
Hal ini memperlihatkan bahwa altruisme masyarakat masih bersifat temporer dan insidental. Seharusnya altruisme masyarakat bisa dipelihara secara reguler bila terdapat institusi yang mampu mensosialisasikan contoh nyata pengelolaan altruisme masyarakat dengan baik oleh lembaga yang memiliki akuntabilitas serta kredibilitas di tengah gencarnya perang melawan korupsi dan kampanye good organization/corporate governance. Institusi ini memiliki manajemen public relation yang baik sehingga mampu menyampaikan ke publik berbagai keberhasilan yang sudah dicapai dan juga secara efektif mempengaruhi masyarakat untuk membayar zakat.  
Fenomena insidental atau temporer di atas adalah gambaran bahwa selama ini altruisme umat Islam belum digarap secara serius sehingga belum terlihat hasil nyata secara makroekonomi. Altruisme yang bisa dilakukan oleh umat Islam umumnya berupa implementasi zakat, infak, sodaqoh dan wakaf (ziswaf). Sejauh ini belum ada institusi yang secara efektif bisa menyadarkan masyarakat akan pentingnya beramal nyata melalui ziswaf.
Selama ini banyak masyarakat menganggap bahwa menunaikan zakat fitrah di bulan Ramadhan adalah kewajiban zakat yang merupakan bagian dari rukun Islam. Padahal yang dimaksud bukanlah zakat fitrah, tetapi zakat harta (mal). Akibat dari hal ini, Ramadhan berlalu tanpa meninggalkan jejak altruisme di masyarakat.
Bila kita melihat rukun Islam, urutan setelah puasa adalah zakat dan ibadah haji. Tidak sedikit masyarakat yang membiarkan kewajiban menunaikan zakat untuk kemudian meloncat kepada pelaksanaan ibadah haji. Sehingga tidak sedikit orang yang berusaha untuk mengumpulkan dana untuk menunaikan haji namun lalai untuk menunaikan zakat. Fakta di lapangan, animo masyarakat untuk menunaikan haji semakin meningkat dari tahun ke tahun, meskipun di tengah kondisi krisis.
Peran Media
Bulan Ramadhan sangat kondusif bagi pengkondisian umat. Di bulan ini media massa bisa diajak bekerjasama untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan urgensi zakat melalui acara yang dikemas dengan baik dalam berbagai bentuk dan variasinya. Di luar bulan Ramadhan, penyampaian pesan urgensi zakat relatif lebih sulit karena momentum yang tidak tepat dan bahkan mungkin oleh stasiun televisi dianggap tidak bernilai ekonomis atau tidak menarik animo masyarakat sehingga acara yang diadakan tidak memiliki kelayakan tayang.  
Media elektronik di bulan Ramadhan menganggap acara-acara keislaman layak dijual ke publik. Inilah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan urgensi zakat. Media elektronik relatif lebih efektif untuk menyampaikan pesan ke seluruh pelosok daerah dimana LPZ belum tentu bisa berbuat seperti ini.  
Sayangnya sampai saat ini upaya penyampaian urgensi zakat belum memiliki manajemen yang berskala besar. LPZ masih berjalan sendiri-sendiri. Ini bisa dilihat dari iklan LPZ di media maupun di tempat umum. Hal ini tidak bisa kita persalahkan pula mengingat LPZ sudah berusaha optimal sesuai situasi, kondisi, peraturan dan sumber daya yang ada.Disamping itu UU dan peraturan yang ada tidak memposisikan adanya institusi yang berwenang melakukan sosialisasi zakat secara massif karena membutuhkan dana yang besar. Jikapun ada lembaga seperti Baznas, itupun tidak mendapat kucuran dana yang cukup untuk sosialisasi.
Kita tentunya mengharapkan akan lahir institusi yang mampu melakukan sosialiasi zakat dengan efektif. Untuk itu perlu dilakukan berbagai langkah yang bisa mendorongnya terbentuk institut sosialisasi zakat.  
Institusi Khusus
Penulis melihat perlunya pendekatan ekonomi politik agar ada institusi yang bisa melakukan penyampaian pesan urgensi zakat yang didanai oleh negara melalui APBN. Penyampaian pesan adalah bagian penting dalam penyebaran informasi kepada publik. Tanpa hal ini tidak akan terjadi sosialisasi yang efektif tentang urgensi zakat kepada publik.
Institusi baru tersebut pembentukannya melalui prosedur kepada otoritas terkait seperti DPR RI maupun pihak eksekutif. Tanpa hal ini mustahil/relatif sulit mewujudkan institusi yang berdana besar untuk sosialisasi.
Amandemen UU Pengelolaan Zakat
UU Pengelolaan Zakat memang sudah sangat mendesak untuk diamandemen. UU yang ada selama ini masih dirasa kurang untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang terkait baik dari sosialisasi hingga distribusi zakat.
Agar amandemen UU Pengelolaan Zakat memiliki output yang komprehensif, stake holder zakat harus mampu memainkan peran sebagai mitra kerja dengan parlemen. Dengan demikian bisa terjalin komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik akan mampu menyamakan persepsi mengenai urgensi zakat untuk kemaslahatan umat dan juga menyampaikan pesan-pesan lainnya yang terkait dengan kemaslahatan umat. .
Momentum Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk melakukan sosialisasi yang efektif. Ramadhan bisa dicanangkan sebagai bulan sosialisasi zakat khususnya dan juga bulan sosialisasi ekonomi Islam umumnya. Hal ini bisa dimasukkan sebagai salah satu klausul dalam amandemen UU Pengelolaan Zakat.
Klausul lainnya yang perlu diperhatikan adalah keterkaitan antara UU Pengelolaan Zakat dengan RUU/UU lain terutama RUU/UU yang terkait langsung dengan perkembangan ekonomi Islam dan kemaslahatan umat. Dengan demikian, zakat bisa memasuki bidang-bidang lain sehingga daya serapnya lebih tinggi dan mampu menjadi indikator kesejahteraan masyarakat secara riil, terutama pengurangan rakyat miskin sekaligus melakukan pemberdayaan terhadap mereka.
Penutup
Kembali kepada momentum Ramadhan, institusi dan stake holder ekonomi Islam seharusnya bisa memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai bulan pembinaan altruisme masyarakat, khususnya sosialisasi zakat yang didukung oleh institusi berwenang yang memiliki dana khusus. Dengan adanya sosialisasi yang terus menerus dan berskala besar diharapkan akan mendapat sambutan dari masyarakat. Harapannya, ini mampu mengangkat peran zakat ke arah yang lebih berdampak secara makroekonomi dan juga membantu ekonomi Indonesia.
Zakat sebagai bagian dari pilar kebijakan keuangan publik Islam relatif bisa diaplikasikan di segala zaman bila dibandingkan dengan kebijakan keuangan publik Islam lainnya. Di zaman Khalifah Abu Bakar r.a, zakat bisa dijalankan baik melalui kebijakan politik, yang tercermin dari kebijakan memerangi mereka yang tidak membayar zakat, maupun kebijakan religius. Namun saat ini hanya kebijakan religius saja yang bisa dijalankan sehingga setiap momentum dan kesempatan harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Bulan Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk menyentuh hati umat Islam untuk menunaikan zakat mereka.
Seperti halnya para sahabat yang sangat sedih meninggalkan bulan Ramadhan, maka kesedihan ini juga akan melanda para stake holder ekonomi Islam khususnya pegiat zakat karena  momentum yang berharga untuk menyentuh hati umat Islam telah lewat begitu saja.
31 Oktober 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post