Oleh Erwin FS
Bangsa Indonesia telah genap 60 tahun
merdeka. Bagi manusia, usia 60 tahun adalah usia yang sudah sangat matang
mengarungi kehidupan dan mampu menjadi sosok yang bijak dalam memberi pandangan
kehidupan bagi generasi yang lebih muda.
Namun bagi sebuah bangsa, usia 60 tahun
bisa dilihat secara relatif. Hal ini bisa dibandingkan secara relatif dengan
Malaysia dan Vietnam. Kondisi ekonomi mereka relatif lebih baik dibandingkan
Indonesia pada saat ini. Dari segi usia kemerdekaan, kedua negara tersebut
lebih muda dari Indonesia.
Indikator ekonomi adalah salah satu
parameter dalam menilai seberapa jauh kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan
sejalan dengan usia kemerdekaan yang telah dilaluinya. Jika usia
kemerdekaan sudah semakin lama namun belum memberikan kesejahteraan kepada
rakyat maka ada sesuatu yang salah di dalamnya. Bangsa yang merdeka akan
berusaha untuk memajukan rakyat dan negaranya sehingga lepas dari
ketertinggalan dengan bangsa lain.
Sejalan dengan usia kemerdekaan, nasib
umat Islam juga belum menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan dalam hal
peningkatan kesejahteraan. Untuk itu perlu dilakukan terobosan agar umat Islam
mampu meningkatkan kesejahteraannya. Upaya peningkatan kesejahteraan umat Islam
pada dasarnya sejalan dengan peningkatan ekonomi Indonesia karena umat Islam
adalah mayoritas rakyat Indonesia.
Guna mewujudkan kesejahteraan umat Islam,
perlu adanya perencanaan pembangunan ekonomi Islam (PPEI). Yang dimaksud di
sini adalah perencanaan yang berbasiskan kelembagaan dalam kerangka NKRI.
PPEI pada dasarnya secara substansi sudah termaktub dalam UUD 1945
seperti masalah hak memperoleh pendidikan, keberpihakan kepada fakir miskin dan
anak terlantar serta pemanfaatan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat.
Namun sayangnya UUD 1945 dilaksanakan dengan sistem dan kebijakan ekonomi
yang belum mampu mengimplementasikan pemenuhan hak-hak rakyat. Selama ini
ekonomi masih lebih bersandar kepada pemenuhan hak para pemilik modal. Pemilik
modal memang bisa memberikan kesempatan kerja kepada rakyat dalam konteks
mikro. Namun dalam konteks makro, nasib rakyat menjadi rentan. Dari segi APBN,
angka-angka yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat berbenturan dengan
masalah pembayaran utang dan subsidi BBM. Problema ini pada akhirnya tidak bisa
membantu memecahkan masalah riil ekonomi rakyat.
Untuk itu, PPEI diperlukan dalam
memberikan solusi bagi ekonomi Indonesia. PPEI dalam konteks saat ini mengacu
kepada penguatan fungsi kelembagaan, yaitu lembaga pengelola zakat, infak,
sodaqoh dan wakaf (ziswaf) dan lembaga keuangan syariah baik bank maupun non
bank. Kedua lembaga ini telah ada di Indonesia, sehingga bisa dijadikan wadah
implementasi PPEI.
PPEI adalah kerangka kerja untuk
mengkoordinasikan lembaga-lembaga yang sudah ada untuk lebih bisa mengoptimalkan
potensi yang dimiliki dan untuk meningkatkan skala keekonomian sehingga bisa
memberikan pengaruh secara signifikan kepada masalah ekonomi umat.
Membangun dan Mengelola
Altruisme
Lembaga pengelola ziswaf (LPZ) memiliki peran untuk membangun dan mengelola altruisme masyarakat. Selama ini LPZ terkesan sebagai lembaga pengumpul dan pendistribusi ziswaf. Dengan demikian LPZ belum bisa menjadi pusat pembangunan dan pengelolaan altruisme masyarakat.
Lembaga pengelola ziswaf (LPZ) memiliki peran untuk membangun dan mengelola altruisme masyarakat. Selama ini LPZ terkesan sebagai lembaga pengumpul dan pendistribusi ziswaf. Dengan demikian LPZ belum bisa menjadi pusat pembangunan dan pengelolaan altruisme masyarakat.
Pada dasarnya masyarakat memiliki
altruisme, namun mereka terkadang tidak bisa mengelola sendiri dan
mengakibatkan sedikitnya dana ziswaf yang bisa dikumpulkan. Tingginya
altruisme masyarakat bisa dilihat dari beberapa contoh kasus. Pertama adalah
tingginya solidaritas masyarakat terhadap penderitaan masyarakat Aceh yang
diterjang bencana tsunami. Kedua, kasus seorang bapak yang tidak bisa
menguburkan anaknya di Jakarta karena harus mengeluarkan biaya sehingga ia
berencana menguburkan anaknya di Bogor. Masyarakat memberikan perhatian ketika
media mengungkapkan hal ini. Ketiga, kisah seorang
buruh yang anaknya ditolak enam rumah sakit karena tidak mampu memberikan uang
jaminan. Setelah media memberitakan ke publik, terkumpul dana yang cukup
banyak. Melihat hal demikian, masyarakat masih menyalurkan altruismenya secara
insidental. Padahal akan lebih baik bila mereka melakukan secara rutin. Di sini
terlihat bahwa masyarakat masih belum mengenal LPZ sehingga altruisme
insidental lebih mereka sukai. Tugas LPZ salah satunya adalah merubah
masyarakat agar bisa menyalurkan altruisme mereka secara rutin.
PPEI
berfungsi mengoptimalkan peran LPZ yang ada untuk meningkatkan jumlah
dana dari masyarakat sehingga diharapkan bisa membantu masalah APBN dalam
jangka panjang. Karakter ziswaf yang didistribusikan kepada umat yang
membutuhkan memperlihatkan terjadinya distribusi aset dari pihak mampu kepada
pihak yang kurang mampu. Hal ini secara tidak langsung bisa menutupi dana
pajak masyarakat yang di dalam APBN dipergunakan untuk melunasi hutang sehingga
tidak terjadi distribusi aset. Jika hal ini terjadi dalam skala ekonomi
yang besar, maka rakyat miskin akan terbantu secara riil. Berbeda dengan
penyaluran dana kompensasi subsidi BBM yang rawan dengan penyelewengan oleh
oknum aparat. Meskipun pemerintah sudah berupaya optimal, ziswaf tetap
diperlukan karena karakter dan ketentuannya lebih spesifik.
PPEI
akan menjadi kerangka penguat hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi LPZ dan
altruisme masyarakat. PPEI akan lebih efektif bila mendapat dukungan dari pihak
eksekutif, legislatif maupun yudikatif sehingga secara efektif bisa memberikan
solusi dalam melakukan aktivitas pembangunan dan pengelolaan altruisme
masyarakat melalui LPZ.
Namun
untuk mencapai hal ini tidaklah mudah, butuh kesungguhan dari para stake
holderPPEI. Saat ini adalah momen yang tepat untuk menjadikan PPEI sebagai
langkah awal kebersamaan stake holder dalam membangun ekonomi
Islam ke depan.
Selama
ini para stake holder belum bisa melakukan penyatuan maupun
koordinasi aktivitas yang berimplikasi secara makroekonomi. Mereka masih
bermain dalam tataran mikroekonomi sehingga skala keekonomian tidak tercapai
dan akhirnya tidak mampu secara signifikan membantu ummat.
Membangun
Institusi Keuangan yang Adil
Disamping membangun dan mengelola altruisme ummat melalui LPZ, PPEI juga mencakup masalah pembangunan institusi keuangan yang adil. Institusi keuangan yang adil adalah institusi keuangan yang terlepas dari riba, mampu mewujudkan kaidah ”apa yang terjadi di sektor riil akan tercermin terhadap apa yang terjadi di sektor keuangan”, dan tidak menjadikan uang sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan sehingga terlepas dari spekulasi yang bisa membahayakan perekonomian.
Disamping membangun dan mengelola altruisme ummat melalui LPZ, PPEI juga mencakup masalah pembangunan institusi keuangan yang adil. Institusi keuangan yang adil adalah institusi keuangan yang terlepas dari riba, mampu mewujudkan kaidah ”apa yang terjadi di sektor riil akan tercermin terhadap apa yang terjadi di sektor keuangan”, dan tidak menjadikan uang sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan sehingga terlepas dari spekulasi yang bisa membahayakan perekonomian.
Riba
atau bunga sudah terbukti menyengsarakan debitur baik perorangan, kelompok
maupun negara di satu sisi. Di sisi lain riba memberikan keuntungan kepada
kreditur dengan hasil yang datang dari kesengsaraan debitur. Meskipun ada
argumen bahwa riba adalah ”penghargaan” kepada kreditur karena sudah mau
meminjamkan dananya, namun tetap saja banyak debitur yang merasa diberatkan
dengan beban riba yang harus mereka bayar.
Berdirinya
lembaga keuangan syariah (LKS) harus bisa mewujudkan perekonomian yang adil. Namun
memang tidak mudah mewujudkan hal ini. Banyak dibutuhkan SDM yang memiliki
kompetensi dan semangat keislaman yang tinggi agar lembaga keuangan syariah
memiliki ’ruh’ Islam yang mampu memberi pengaruh kepada masyarakat.
LKS
harus mampu menjadi lembaga yang bersikap adil kepada penyimpan dana maupun
pengguna dana, karena hal ini akan menghindari terjadinya krisis keuangan.
Krisis keuangan yang pernah terjadi beberapa waktu lalu ternyata tidak
merontokkan bank syariah. Dengan demikian semakin banyak jumlah bank syariah,
nasabah dan dana yang dikumpulkan tentunya akan semakin memperkuat ekonomi dan
menyelamatkan dari kemungkinan krisis keuangan. Saat ini pangsa pasar perbankan
syariah masih di bawah 10 persen. Agar bisa berperan secara signifikan dan memiliki
pangsa pasar lebih tingi lagi, LKS harus menyamakan persepsi yang diatur dan
dikoordinasikan dalam PPEI.
Penutup
PPEI adalah semacam propenas dimana di dalamnya bisa dijadikan tolok ukur ukur atas pembangunan ekonomi Islam. Untuk mewujudkan adanya PPEI di Indonesia dibutuhkan kerjasama yang mengedepankan kesamaan antar kelompok, golongan dan organisasi yang ada dalam tubuh umat Islam. Tanpa adanya hal ini, PPEI sulit diimplementasikan dan pada akhirnya setiap kelompok maupun golongan dan organisasi berjalan sendiri-sendiri sehingga skala keekonomian tidak terpenuhi.
PPEI adalah semacam propenas dimana di dalamnya bisa dijadikan tolok ukur ukur atas pembangunan ekonomi Islam. Untuk mewujudkan adanya PPEI di Indonesia dibutuhkan kerjasama yang mengedepankan kesamaan antar kelompok, golongan dan organisasi yang ada dalam tubuh umat Islam. Tanpa adanya hal ini, PPEI sulit diimplementasikan dan pada akhirnya setiap kelompok maupun golongan dan organisasi berjalan sendiri-sendiri sehingga skala keekonomian tidak terpenuhi.
Faktor
pendukung implementasi PPEI adalah sudah adanya lembaga semacam FOZ, Asbisindo
serta direktorat bank syariah di BI. Kemudian beberapa UU juga sudah lahir
seperti UU Zakat, UU Wakaf dan UU/RUU yang memudahkan beroperasinya LKS.
Di
DPR saat saat tulisan ini dibuat sedang berlangsung pembahasan RUU RPJPN
(Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional). Para stake holder ekonomi
Islam bisa berkontribusi agar didalamnya juga terdapat PPEI. Namun bila PPEI
tidak dimasukkan dalam RUU RPJPN maka upaya mewujudkan PPEI masih tetap bisa.
PPEI
sebaiknya tidak dipandang sebagai sesuatu yang mengganggu tatanan ekonomi yang
selama ini telah ada. Namun PPEI sebaiknya dipandang sebagai upaya stake
holder ekonomi Islam yang akan mengoptimalkan institusi ekonomi Islam yang
telah ada namun secara terkoordinir sehingga bisa berperan secara makroekonomi.
Kesengsaraan
yang diderita sebagian besar umat Islam dan masyarakat Indonesia saat ini
mudah-mudahan bisa menjadi pendorong terjadinya kebersamaan di antara kelompok,
golongan dan organisasi Islam untuk mewujudkan PPEI yang berpengaruh secara
makroekonomi.
30
September 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar