Jumat, 30 September 2005

Perencanaan Pembangunan Ekonomi Islam di Indonesia


Oleh Erwin FS

Bangsa Indonesia telah genap 60 tahun merdeka. Bagi manusia, usia 60 tahun adalah usia yang sudah sangat matang mengarungi kehidupan dan mampu menjadi sosok yang bijak dalam memberi pandangan kehidupan bagi generasi yang lebih muda.

Namun bagi sebuah bangsa, usia 60 tahun bisa dilihat secara relatif. Hal ini bisa dibandingkan secara relatif dengan Malaysia dan Vietnam. Kondisi ekonomi mereka relatif lebih baik dibandingkan Indonesia pada saat ini. Dari segi usia kemerdekaan, kedua negara tersebut lebih muda dari Indonesia.
Indikator ekonomi adalah salah satu parameter dalam menilai seberapa jauh kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan sejalan dengan usia kemerdekaan yang telah dilaluinya.  Jika usia kemerdekaan sudah semakin lama namun belum memberikan kesejahteraan kepada rakyat maka ada sesuatu yang salah di dalamnya. Bangsa yang merdeka akan berusaha untuk memajukan rakyat dan negaranya sehingga lepas dari ketertinggalan dengan bangsa lain.   
Sejalan dengan usia kemerdekaan, nasib umat Islam juga belum menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan dalam hal peningkatan kesejahteraan. Untuk itu perlu dilakukan terobosan agar umat Islam mampu meningkatkan kesejahteraannya. Upaya peningkatan kesejahteraan umat Islam pada dasarnya sejalan dengan peningkatan ekonomi Indonesia karena umat Islam adalah mayoritas rakyat Indonesia.   
Guna mewujudkan kesejahteraan umat Islam, perlu adanya perencanaan pembangunan ekonomi Islam (PPEI). Yang dimaksud di sini adalah perencanaan yang berbasiskan kelembagaan dalam kerangka NKRI. PPEI  pada dasarnya secara substansi sudah termaktub dalam UUD 1945 seperti masalah hak memperoleh pendidikan, keberpihakan kepada fakir miskin dan anak terlantar serta pemanfaatan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat.  Namun sayangnya UUD 1945 dilaksanakan dengan sistem dan kebijakan ekonomi yang belum mampu mengimplementasikan pemenuhan hak-hak rakyat. Selama ini ekonomi masih lebih bersandar kepada pemenuhan hak para pemilik modal. Pemilik modal memang bisa  memberikan kesempatan kerja kepada rakyat dalam konteks mikro. Namun dalam konteks makro, nasib rakyat menjadi rentan. Dari segi APBN, angka-angka yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat berbenturan dengan masalah pembayaran utang dan subsidi BBM. Problema ini pada akhirnya tidak bisa membantu memecahkan masalah riil ekonomi rakyat.   
Untuk itu, PPEI diperlukan dalam memberikan solusi bagi ekonomi Indonesia. PPEI dalam konteks saat ini mengacu kepada penguatan fungsi kelembagaan, yaitu lembaga pengelola zakat, infak, sodaqoh dan wakaf (ziswaf) dan lembaga keuangan syariah baik bank maupun non bank. Kedua lembaga ini telah ada di Indonesia, sehingga bisa dijadikan wadah implementasi PPEI.   
PPEI adalah kerangka kerja untuk mengkoordinasikan lembaga-lembaga yang sudah ada untuk lebih bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki dan untuk meningkatkan skala keekonomian sehingga bisa memberikan pengaruh secara signifikan kepada masalah ekonomi umat.  
Membangun dan Mengelola Altruisme
Lembaga pengelola ziswaf (LPZ) memiliki peran untuk membangun dan mengelola altruisme  masyarakat. Selama ini LPZ terkesan sebagai lembaga pengumpul dan pendistribusi ziswaf. Dengan demikian LPZ belum bisa menjadi pusat pembangunan dan pengelolaan altruisme masyarakat.  
Pada dasarnya masyarakat memiliki altruisme, namun mereka terkadang tidak bisa mengelola sendiri dan mengakibatkan sedikitnya dana ziswaf yang bisa dikumpulkan.  Tingginya altruisme masyarakat bisa dilihat dari beberapa contoh kasus. Pertama adalah tingginya solidaritas masyarakat terhadap penderitaan masyarakat Aceh yang diterjang bencana tsunami. Kedua, kasus seorang bapak yang tidak bisa menguburkan anaknya di Jakarta karena harus mengeluarkan biaya sehingga ia berencana menguburkan anaknya di Bogor. Masyarakat memberikan perhatian ketika media mengungkapkan hal ini. Ketiga, kisah seorang buruh yang anaknya ditolak enam rumah sakit karena tidak mampu memberikan uang jaminan. Setelah media memberitakan ke publik, terkumpul dana yang cukup banyak. Melihat hal demikian, masyarakat masih menyalurkan altruismenya secara insidental. Padahal akan lebih baik bila mereka melakukan secara rutin. Di sini terlihat bahwa masyarakat masih belum mengenal LPZ sehingga altruisme insidental lebih mereka sukai. Tugas LPZ salah satunya adalah merubah masyarakat agar bisa menyalurkan altruisme mereka secara rutin.  
PPEI  berfungsi mengoptimalkan peran LPZ yang ada untuk meningkatkan jumlah dana dari masyarakat sehingga diharapkan bisa membantu masalah APBN dalam jangka panjang. Karakter ziswaf yang didistribusikan kepada umat yang membutuhkan memperlihatkan terjadinya distribusi aset dari pihak mampu kepada pihak yang kurang mampu.  Hal ini secara tidak langsung bisa menutupi dana pajak masyarakat yang di dalam APBN dipergunakan untuk melunasi hutang sehingga tidak terjadi distribusi aset.  Jika hal ini terjadi dalam skala ekonomi yang besar, maka rakyat miskin akan terbantu secara riil. Berbeda dengan penyaluran dana kompensasi subsidi BBM yang rawan dengan penyelewengan oleh oknum aparat. Meskipun pemerintah sudah berupaya optimal, ziswaf tetap diperlukan karena karakter dan ketentuannya lebih spesifik.  
PPEI akan menjadi kerangka penguat hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi LPZ dan altruisme masyarakat. PPEI akan lebih efektif bila mendapat dukungan dari pihak eksekutif, legislatif maupun yudikatif sehingga secara efektif bisa memberikan solusi dalam melakukan aktivitas pembangunan dan pengelolaan altruisme masyarakat melalui LPZ.  
Namun untuk mencapai hal ini tidaklah mudah, butuh kesungguhan dari para stake holderPPEI. Saat ini adalah momen yang tepat untuk menjadikan PPEI sebagai langkah awal kebersamaan stake holder dalam membangun ekonomi Islam ke depan.  
Selama ini para stake holder belum bisa melakukan penyatuan maupun koordinasi aktivitas yang berimplikasi secara makroekonomi. Mereka masih bermain dalam tataran mikroekonomi sehingga skala keekonomian tidak tercapai dan akhirnya tidak mampu secara signifikan membantu ummat.   
Membangun Institusi Keuangan yang Adil
Disamping membangun dan mengelola altruisme ummat melalui LPZ, PPEI juga mencakup masalah pembangunan institusi keuangan yang adil. Institusi keuangan yang adil adalah institusi keuangan yang terlepas dari riba, mampu mewujudkan kaidah ”apa yang terjadi di sektor riil akan tercermin terhadap apa yang terjadi di sektor keuangan”, dan tidak menjadikan uang sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan sehingga terlepas dari  spekulasi yang bisa membahayakan perekonomian.  
Riba atau bunga sudah terbukti menyengsarakan debitur baik perorangan, kelompok maupun negara di satu sisi. Di sisi lain riba memberikan keuntungan kepada kreditur dengan hasil yang datang dari kesengsaraan debitur. Meskipun ada argumen bahwa riba adalah ”penghargaan” kepada kreditur karena sudah mau meminjamkan dananya, namun tetap saja banyak debitur yang merasa diberatkan dengan beban riba yang harus mereka bayar.  
Berdirinya lembaga keuangan syariah (LKS) harus bisa mewujudkan perekonomian yang adil. Namun memang tidak mudah mewujudkan hal ini. Banyak dibutuhkan SDM yang memiliki kompetensi dan semangat keislaman yang tinggi agar lembaga keuangan syariah memiliki ’ruh’ Islam yang mampu memberi pengaruh kepada masyarakat.  
LKS harus mampu menjadi lembaga yang bersikap adil kepada penyimpan dana maupun pengguna dana, karena hal ini akan menghindari terjadinya krisis keuangan.  Krisis keuangan yang pernah terjadi beberapa waktu lalu ternyata tidak merontokkan bank syariah. Dengan demikian semakin banyak jumlah bank syariah, nasabah dan dana yang dikumpulkan tentunya akan semakin memperkuat ekonomi dan menyelamatkan dari kemungkinan krisis keuangan. Saat ini pangsa pasar perbankan syariah masih di bawah 10 persen. Agar bisa berperan secara signifikan dan memiliki pangsa pasar lebih tingi lagi, LKS harus menyamakan persepsi yang diatur dan dikoordinasikan dalam PPEI.  
Penutup 
PPEI adalah semacam propenas dimana di dalamnya bisa dijadikan tolok ukur ukur atas pembangunan ekonomi Islam. Untuk mewujudkan adanya PPEI di Indonesia dibutuhkan kerjasama yang mengedepankan kesamaan antar kelompok, golongan dan organisasi yang ada dalam tubuh umat Islam. Tanpa adanya hal ini, PPEI sulit diimplementasikan dan pada akhirnya setiap kelompok maupun golongan dan organisasi berjalan sendiri-sendiri sehingga skala keekonomian tidak terpenuhi.  
Faktor pendukung implementasi PPEI adalah sudah adanya lembaga semacam FOZ, Asbisindo serta direktorat bank syariah di BI. Kemudian beberapa UU juga sudah lahir seperti UU Zakat, UU Wakaf dan UU/RUU yang memudahkan beroperasinya LKS.  
Di DPR saat saat tulisan ini dibuat sedang berlangsung pembahasan RUU RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional). Para stake holder ekonomi Islam bisa berkontribusi agar didalamnya juga terdapat PPEI. Namun bila PPEI tidak dimasukkan dalam RUU RPJPN maka upaya mewujudkan PPEI masih tetap bisa.  
PPEI sebaiknya tidak dipandang sebagai sesuatu yang mengganggu tatanan ekonomi yang selama ini telah ada.  Namun PPEI sebaiknya dipandang sebagai upaya stake holder ekonomi Islam yang akan mengoptimalkan institusi ekonomi Islam yang telah ada namun secara terkoordinir sehingga bisa berperan secara makroekonomi.  
Kesengsaraan yang diderita sebagian besar umat Islam dan masyarakat Indonesia saat ini mudah-mudahan bisa menjadi pendorong terjadinya kebersamaan di antara kelompok, golongan dan organisasi Islam untuk mewujudkan PPEI yang berpengaruh secara makroekonomi.
30 September 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post