Oleh Erwin FS
Pencanangan tahun 2005 oleh pemerintah sebagai tahun
keuangan mikro Indonesia (TKMI) merupakan kelanjutan pencanangan Tahun Mikro
Kredit Internasional 2005 oleh PBB. Implementasi dari hal ini adalah penerbitan
SK Menko Perekonomian No. 4 Tahun 2005 tentang pembentukan panitia pencanangan
program pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah dan tahun keuangan mikro
Indonesia 2005.
Pada masa menjelang kampanye pemilihan presiden tahun
2004, pemerintah mengeluarkan kebijakan penyaluran kredit tanpa agunan sebesar
Rp 1 juta untuk usaha mikro. Sayangnya, keberlanjutan program ini tidak
terdengar lagi pada saat ini. Padahal mendapat sambutan yang cukup baik.
Pembiayaan bagi usaha mikro memang meruapakan masalah
utama. Adanya upaya pemerintah untuk menetapkan kredit perbankan sampai jumlah
Rp 50 juta sebagai kredit yang tidak perlu agunan tambahan adalah kebijakan
yang menggembirakan. Mudah-mudahan hal ini akan terealisasi dan berkelanjutan.
Pemerintah diharapkan pada tahun ini mengeluarkan berbagai insentif dan
kebijakan yang mendorong usaha mikro untuk tampil lebihnmandiri dan
kompetitif.
Saat ini sekitar 41 juta unit usaha mikro menyerap
lebih kurang 60 juta tenaga kerja. Dari 68 juta tenaga kerja, 88 persen tenaga
kerja berada di Indonesia Dengan persentase sekitar 99 persen jumlah unit usaha
di Indonesia, dorongan dari pemerintah akan sangat berarti membantu sektor
riil di usaha mikro untuk tumbuh. Meskipun memberikan kontribusi
untuk PDB sekitar 39 persen, keberadaan usaha mikro sangat membantu tegaknya
eknomi Indonesia.
Pelaku usaha mikro diasumsikan mayoritas berpendidikan
SD, SMP dan SMU. Dengan memperhatikan data BPS jumlah angkatan kerja tahun 2003
berdasarkan tingkat pendidikan adalah 54,82; 20,57 dan 14,16 juta jiwa.
Artinya, usaha mikro sangat membantu mereka yang berpendidikan rendah untuk
mencari nafkah. Pada saat ini jumlah angkatan kerja adalah 106 juta jiwa dimana
pengangguran terbuka sekitar 10,52 juta jiwa.
Dorongan terhadap usaha mikro sangat signifikan bila
kita melihat bahwa terjadinya penurunan lapangan kerja formal saat ini, baik di
perkotaan maupun pedesaan. Kebijakan yang mendukung usaha mikro merupakan salah
satu upaya mengurangi pengangguran. Fenomena TKI ilegal yang bertahan di
Malaysia meskipun mendapatkan ancaman hukuman berat adalah bukti betapa
sulitnya mencari pekerjaan di negeri sendiri.
Meskipun pemerintah memberikan berbagai upaya untuk
membantu usaha mikro, msalah makro ekonomi tetap perlu mendapat perhatian
karena mengingat usaha mikro rentan terhadap kenaikan inflasi. Pada tahun 2004
inflasi berada pada kisaran 5-6 persen, masih di bawah satu digit. Inflasi
akibat kenaikan harga BBM selama ini tidak pernah diatasi secara signifikan
sehingga kenaikan harga melebihi besarnya kenaikan harga BBM yang berkaibat
penurunan daya beli masyarakat serta pendapatan riil.
Bank sebagai lembaga intermediasi hingga saat ini
masih enggan mengucurkan kreditnya. Pengucuran cana dari APBN tentunya sangat
terbatas. Oleh akrena itu perbankan perlu diberikan insentif agar menyalurkan
dananya kepada usaha mikro. Untuk mengatasi masalah skala ekonomi dan biaya
overhead perlu dibentuk lembaga antara untuk menjembatani perbankan dengan
usaha mikro.
Lembaga antara tidak hanya bertugas menjembatani bank
dengan usaha mikro, akan tetapi memberdayakan pelaku usaha mikro, baik wawasan
maupun keterampilan. Selama ini usaha mikro kurang mendapatkan wawasan maupun
keterampilan yang berkaitan dengan masalah keuangan maupun hal yang terkait
dengan usaha mereka semisal masalah teknologi maupun teknologi informasi.
Keberpihakan pemerintah kepada usaha mikro sebaiknya
tidak hilang selepas tahun 2005 seperti halnya pencanangan program tertentu untuk
tiap tahunnya. Hal inimembutuhkan pendekatan politis yang diiringi pendekatan
prosedural birokrasi.
Selain itu usaha mikro juga membutuhkan tempat untuk
berkembang. Pasar tradisonal adalah salah satu tempat bagi usaha mikro untuk
berkembang. Sayangnya perhatian terhadap pembangunan maupun penambahan pasar
tradisional oleh pemerintah masih kurang.
Usaha kecil dan menengah bisa menempati pusat
perdagangan seperti trade center, mall, plaza maupun ruko. Pembangunan trade
center, mall dan plaza sangat pesat, berbeda dengan pembangunan pasar
tradisional. Disamping terhimpit dengan hal di atas, maraknya mini market juga
menambah ketatnya persaingan.
Tampaknya pemerintah perlu memperhatikan penataan
lokasi usaha, baik dari mini market hingga trade center agar keberadaan usaha
ikro tetap berjalan. Emskipun usaha mikro secara alami melakukan penyesuaian,
tetap saja membutuhkan peran pemerintah untuk membantunya. Namun demikian pasar
tradisional bukan satu-satunya tempat bagi usaha mikro menjalankan usahanya.
Dukungan kepada usaha mikro akan berhasil lebih baik
jika mereka mendapatkan pelayanan kesehatan maupun pendidikan bagi anak-anak
mereka. Mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan akan menyebabkan pelaku usaha
mikro berada pada posisi subsistence lebvel (hidup hanya cukup untuk makan
saja).
Fasilitas kesehatan dan pendidikan ini sejalan dengan
target daeri tahun mikro kredit internasional yaitu mengurangi julah penduduk
miskin. Jika menggunakan standar bank dunia, pendapatan US$ 2 per hari, maka
47% orang Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Dan ini akan lebih
memprihatinkan bila terjadi kenaikan harga BBM karena BPS memperikrakan 20 %
orang miskin memiliki potensi kedalam kemiskinan absolut.
Indonesia adalah satu dari delapan negara yang menjadi
contoh pengembangan kredit mikro di dunia. Untuk itu, kepercayaan ini
seharusnya digunakan sebaik-baiknya oleh pemerintah untuk melakukan perubahan
yang nyata bagi usaha mikro. Kondisi makro ekonomi yang kondusif dan
pemerintahan yang kredibel (dipilih langsung oleh rakyat) adalah modal bagi
pemerintah mendukung usaha mikro.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) menyatakan
bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan”. Kebijakan pemerintah kepada usaha mikro sangat sesuai dengan
semangat yang terkandung dalam ayat di atas.
1 Maret 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar