Kamis, 10 Februari 2005

Transformasi Ekonomi dalam Transisi Demokrasi Indonesia


Oleh Erwin FS

Setiap perubahan yang terjadi di suatu Negara selalu mengeluarkan biaya (cost) yang cukup besar. Perubahan yang terjadi di Indonesia pad dasawarsa 90an adalah salah satu faktanya. Krisis moneter yang menjadi pemicu dalam perubahan besar di Indonesia telah merubah kehidupan masyarakat. Tiga tahun terakhir sebelum krisis moneter, ekonomi Indonesia mengalami prestasi seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi, peningkatan daya saing, pengurangan jumlah penduduk miskin serta peningkatan pendapatan perkapita. Hal ini terjadi di tengah pemerintahan orde baru yang otoriter. Namun setelah krisis moneter, ekonomi Indonesia mengalami perubahan drastis dan borok-borok ekonomi lambat laun muncul ke permukaan sehingga diketahui oleh publik.

Kejatuhan Soeharto yang otoriter beralih kepada pemerintahan yang menghargai prinsip demokrasi, namun belum diikuti perubahan ekonomi kearah yang lebih baik. Salah satu penyebabnya adalah masalah pemilihan pemimpin yang masih elitis sehingga  manuver politik yang terjadi sering bertolak belakang dengan keinginan dan kondisi masyarakat. Baru pada 2004, rakyat terlibat langsung dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Presiden yang terpilih melalui pilihan rakyat memiliki tanggung jawab moral langsung kepada rakyat sehingga kebijakan yang diambilpun akan mendapat mengawasan langsung oleh rakyat. Namun demikian, rakyat bisa saja salah memilih presiden sehingga menyebabkan kondisi negara semakin terpuruk.
Jika diasumsikan pemilihan presiden secara langsung memiliki pengaruh positif kepada perbaikan kondisi negara, maka yang selanjutnya perlu diperhatikan adalah apakah terjadi transformasi ekonomi yang lebih berpihak kepada kondisi rakyat. Transformasi ekonomi dibutuhkan mengingat selama ini kebijakan-kebijakan ekonomi tidak sedikit yang merugikan rakyat, meskipun terdapat landasan teoritis yang menyertai kebijakan tersebut.  
Selama ini pemerintahan di negara dunia ketiga (termasuk Indonesia) selalu dicekoki pengaruh ekonomi negara Barat yang sudah maju terlebih dahulu. Alhasil, masih jarang negara dunia ketiga yang mengalami transformasi ekonomi sehingga tetap pada posisinya, bahkan dihimpit oleh beban hutang luar negeri.
Hutang luar negeri yang membesar adalah salah satu pengaruh ekonomi Barat yang terbukti tidak mampu merubah kondisi ekonomi negara dunia ketiga secara lebih baik. Kesalahan ini diamini WW Rostow, penggagas teori pertumbuhan ekonomi, yang menyatakan bahwa suatu negara tidak akan bisa tinggal landas kalau masih memiliki hutang luar negeri dalam jumlah besar.
Pengaruh lain yang tak kalah beratnya adalah adanya anggaran defisit dalam APBN Indonesia. Anggaran defisit menyebabkan ketergantungan kepada hutang luar negeri untuk menutupi pengeluaran. Sementara penerimaan seolah-olah selalu tidak cukup untuk memenuhi pengeluaran. Hal ini sudah berjalan lama dan belum ada perubahan kebijakan terhadap anggaran defisit ini.  
Disamping itu, masalah subsidi BBM juga kerap dipermasalahkan oleh Bank Dunia maupun IMF. Secara teoritis subsidi BBM memang tidak tepat sasaran, namun dampak penghilangan atau pengurangan subsidi ini dalam jumlah besar akan jauh lebih besar ketimbang jumlah yang harus dikeluarkan untuk subsidi BBM. Padahal uang negara yang dicuri lewat kasus BLBI maupun sektor lain jauh lebih besar dan tidak dipermasalahkan oleh lembaga internasional, demikian juga masalah rekapitalisasi perbankan yang menimbulkan moral hazard baru pasca krisis moneter. Masalah subsidi pada masa krisis bukanlah kepada salah sasarannya, akan tetapi diperlukan untuk stabilitas dan keberpihakan pemerintah kepada rakyat secara umum. Pengurangan subsidi bisa dipertimbangkan bila kondisi ekonomi sedang normal.
Demikian pula halnya dengan penerapan sistem nilai tukar. Sebelum krisis moneter, Indonesia menerapkan sistem mengambang terkendali (managed floating) yang ternyata mudah digoyang oleh spekulan asing yang menyebabkan Bank Indonesia tidak kuat menahan gempuran ini. Akhirnya dipakai sistem mengambang bebas (free floating) yang lebih liberal dan menyebabkan rupiah pernah berada pada kisaran Rp 15000,0 untuk US$ 1. Padahal Presiden Soeharto kala itu sudah mewacanakan sistem penjangkaran mata uang (currency board system) yang ternyata ditentang kebanyakan ekonom. Wacana ini mirip dengan kebijakan yang diambil oleh Malaysia dimana pada awalnya IMF dan Bank Dunia mencemooh Malaysia yang menerapkan sistem nilai tukar tetap (fix exchange rate) namun pada akhirnya mendapat pengakuan.
Negara dunia ketiga umumnya memliki kekhasan tersendiri untuk masing-masing negara. Di antaranya adalah dinamika sosial ekonomi budaya yang ada di tengah masyarakat. Pemaksaan teori ekonomi Barat terhadap dinamika ini menyebabkan terjadinya ketimpangan. Untuk itu pemerintah harus mampu merumuskan sendiri kebijakan ekonomi yang sesuai dengan kondisi rakyat.
Terpilihnya presiden dan wakil presiden pada pemilum 2004 oleh rakyat adalah momentum untuk mengawali transformasi ekonomi Indonesia. Janji-janji yang terlontar kepada rakyat adalah input bagi pemerintah untuk merumuskan transformasi ekonomi. Ini sejalan dengan tidak adanya Propenas (program pembangunan nasional) yang menyebabkan kebijakan ekonomi ditentukan oleh pemerintah sepanjang 5 tahun.
Transisi demokrasi akan lebih bermakna bagi rakyat bila terjadi transformasi ekonomi sehingga rakyat tidak hanya terpuaskan oleh memilih presiden tetapi merasakan manfaat dari presiden terpilih bagi kehidupan mereka.
Transformasi ekonomi di negara dunia ketiga diperlukan mengingat selama ini arus ekonomi yang terjadi di dunia berpihak kepada negara maju. Liberalisasi perdagangan, lalu lintas modal raksaksa dan rekayasa sektor keuangan di negara dunia ketiga telah menyebabkan kebangkrutan besar.
Yang diperlukan di antaranya adalah proteksi kepada petani, tata niaga yang berpihak kepada rakyat, penguatan di sektor riil, perluasan lapangan kerja dan usaha yang berbasis kepada UMKM (usaha mikro kecil dan menengah), pembangunan human capital (modal manusia) di sektor pendidikan, kesehatan dan keagamaan, serta perhatian terhadap sistem nilai tukar dan rejim devisa.
Liberalisasi perdagangan yang telah dimulai di Indonesia ternyata merugikan rakyat. Rekapitalisasi perbankan yang merupakan rekayasa sektor keuangan sampai saat ini belum signifikan menggerakkan sektor riil, bahkan cenderung ditaruh di SBI atau memang tidak disalurkan. Modal besar yang masuk selama ini ternyata belum berdampak pada penguatan ekonomi, bahkan cenderung terjadi pelarian modal keluar. Sementara depresiasi nilai tukar telah menyebabkan melonjaknya nilai subsidi BBM dan meningkatnya biaya operasional PLN yang kebanyakan menggunakan dolar AS. Disamping itu penyelundupan BBM yang merugikan negara sebesar Rp 56 tiliun terjadi setiap tahunnya.  
Untuk itu, diperlukan kekuatan untuk mengkoreksi berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Kekuatan ini haruslah mampu memahami persoalan yang terjadi serta mengetahui aspek kehidupan sosial ekonomi rakyat Indonesia yang sangat mungkin jauh berbeda dengan teori-teori ekonomi main stream.
Transformasi ekonomi harus berangkat dari fakta yang ada di tengah masyarakat guna mengurangi kekeliruan dalam mengambil kebijakan. Disamping itu adopsi terhadap berbagai teori juga sangat diperlukan, serta diiringi dengan mengambil pelajaran dari berbagai negara dalam menentukan kebijakan ekonominya. Transisi demokrasi akan berhasil secara relatif bila terjadi pula transformasi ekonomi yang berpihak kepada rakyat.
10 Februari 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post