Oleh Erwin FS
Setiap perubahan yang terjadi di suatu
Negara selalu mengeluarkan biaya (cost) yang cukup besar. Perubahan yang
terjadi di Indonesia pad dasawarsa 90an adalah salah satu faktanya. Krisis
moneter yang menjadi pemicu dalam perubahan besar di Indonesia telah merubah
kehidupan masyarakat. Tiga tahun terakhir sebelum krisis moneter, ekonomi
Indonesia mengalami prestasi seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
peningkatan daya saing, pengurangan jumlah penduduk miskin serta peningkatan
pendapatan perkapita. Hal ini terjadi di tengah pemerintahan orde baru yang
otoriter. Namun setelah krisis moneter, ekonomi Indonesia mengalami perubahan
drastis dan borok-borok ekonomi lambat laun muncul ke permukaan sehingga
diketahui oleh publik.
Kejatuhan Soeharto yang otoriter beralih
kepada pemerintahan yang menghargai prinsip demokrasi, namun belum diikuti
perubahan ekonomi kearah yang lebih baik. Salah satu penyebabnya adalah masalah
pemilihan pemimpin yang masih elitis sehingga manuver politik yang
terjadi sering bertolak belakang dengan keinginan dan kondisi masyarakat. Baru
pada 2004, rakyat terlibat langsung dalam pemilihan presiden dan wakil
presiden. Presiden yang terpilih melalui pilihan rakyat memiliki tanggung jawab
moral langsung kepada rakyat sehingga kebijakan yang diambilpun akan mendapat
mengawasan langsung oleh rakyat. Namun demikian, rakyat bisa saja salah memilih
presiden sehingga menyebabkan kondisi negara semakin terpuruk.
Jika diasumsikan pemilihan presiden secara
langsung memiliki pengaruh positif kepada perbaikan kondisi negara, maka yang
selanjutnya perlu diperhatikan adalah apakah terjadi transformasi ekonomi yang
lebih berpihak kepada kondisi rakyat. Transformasi ekonomi dibutuhkan mengingat
selama ini kebijakan-kebijakan ekonomi tidak sedikit yang merugikan rakyat,
meskipun terdapat landasan teoritis yang menyertai kebijakan tersebut.
Selama ini pemerintahan di negara dunia
ketiga (termasuk Indonesia) selalu dicekoki pengaruh ekonomi negara Barat yang
sudah maju terlebih dahulu. Alhasil, masih jarang negara dunia ketiga yang
mengalami transformasi ekonomi sehingga tetap pada posisinya, bahkan dihimpit
oleh beban hutang luar negeri.
Hutang luar negeri yang membesar adalah
salah satu pengaruh ekonomi Barat yang terbukti tidak mampu merubah kondisi
ekonomi negara dunia ketiga secara lebih baik. Kesalahan ini diamini WW Rostow,
penggagas teori pertumbuhan ekonomi, yang menyatakan bahwa suatu negara tidak
akan bisa tinggal landas kalau masih memiliki hutang luar negeri dalam jumlah
besar.
Pengaruh lain yang tak kalah beratnya
adalah adanya anggaran defisit dalam APBN Indonesia. Anggaran defisit
menyebabkan ketergantungan kepada hutang luar negeri untuk menutupi
pengeluaran. Sementara penerimaan seolah-olah selalu tidak cukup untuk memenuhi
pengeluaran. Hal ini sudah berjalan lama dan belum ada perubahan kebijakan
terhadap anggaran defisit ini.
Disamping itu, masalah subsidi BBM juga
kerap dipermasalahkan oleh Bank Dunia maupun IMF. Secara teoritis subsidi BBM
memang tidak tepat sasaran, namun dampak penghilangan atau pengurangan subsidi
ini dalam jumlah besar akan jauh lebih besar ketimbang jumlah yang harus
dikeluarkan untuk subsidi BBM. Padahal uang negara yang dicuri lewat kasus BLBI
maupun sektor lain jauh lebih besar dan tidak dipermasalahkan oleh lembaga
internasional, demikian juga masalah rekapitalisasi perbankan yang menimbulkan moral
hazard baru pasca krisis moneter. Masalah subsidi pada masa krisis
bukanlah kepada salah sasarannya, akan tetapi diperlukan untuk stabilitas dan
keberpihakan pemerintah kepada rakyat secara umum. Pengurangan subsidi bisa
dipertimbangkan bila kondisi ekonomi sedang normal.
Demikian pula halnya dengan penerapan
sistem nilai tukar. Sebelum krisis moneter, Indonesia menerapkan sistem
mengambang terkendali (managed floating) yang ternyata mudah digoyang
oleh spekulan asing yang menyebabkan Bank Indonesia tidak kuat menahan gempuran
ini. Akhirnya dipakai sistem mengambang bebas (free floating) yang lebih
liberal dan menyebabkan rupiah pernah berada pada kisaran Rp 15000,0 untuk US$
1. Padahal Presiden Soeharto kala itu sudah mewacanakan sistem penjangkaran
mata uang (currency board system) yang ternyata ditentang kebanyakan
ekonom. Wacana ini mirip dengan kebijakan yang diambil oleh Malaysia dimana
pada awalnya IMF dan Bank Dunia mencemooh Malaysia yang menerapkan sistem nilai
tukar tetap (fix exchange rate) namun pada akhirnya mendapat pengakuan.
Negara dunia ketiga umumnya memliki
kekhasan tersendiri untuk masing-masing negara. Di antaranya adalah dinamika
sosial ekonomi budaya yang ada di tengah masyarakat. Pemaksaan teori ekonomi
Barat terhadap dinamika ini menyebabkan terjadinya ketimpangan. Untuk itu
pemerintah harus mampu merumuskan sendiri kebijakan ekonomi yang sesuai dengan
kondisi rakyat.
Terpilihnya presiden dan wakil presiden
pada pemilum 2004 oleh rakyat adalah momentum untuk mengawali transformasi
ekonomi Indonesia. Janji-janji yang terlontar kepada rakyat adalah input bagi
pemerintah untuk merumuskan transformasi ekonomi. Ini sejalan dengan tidak adanya
Propenas (program pembangunan nasional) yang menyebabkan kebijakan
ekonomi ditentukan oleh pemerintah sepanjang 5 tahun.
Transisi demokrasi akan lebih bermakna
bagi rakyat bila terjadi transformasi ekonomi sehingga rakyat tidak hanya
terpuaskan oleh memilih presiden tetapi merasakan manfaat dari presiden
terpilih bagi kehidupan mereka.
Transformasi ekonomi di negara dunia ketiga
diperlukan mengingat selama ini arus ekonomi yang terjadi di dunia berpihak
kepada negara maju. Liberalisasi perdagangan, lalu lintas modal raksaksa dan
rekayasa sektor keuangan di negara dunia ketiga telah menyebabkan kebangkrutan
besar.
Yang diperlukan di antaranya adalah
proteksi kepada petani, tata niaga yang berpihak kepada rakyat, penguatan di
sektor riil, perluasan lapangan kerja dan usaha yang berbasis kepada UMKM
(usaha mikro kecil dan menengah), pembangunan human capital (modal
manusia) di sektor pendidikan, kesehatan dan keagamaan, serta perhatian
terhadap sistem nilai tukar dan rejim devisa.
Liberalisasi perdagangan yang telah
dimulai di Indonesia ternyata merugikan rakyat. Rekapitalisasi perbankan yang
merupakan rekayasa sektor keuangan sampai saat ini belum signifikan
menggerakkan sektor riil, bahkan cenderung ditaruh di SBI atau memang tidak
disalurkan. Modal besar yang masuk selama ini ternyata belum berdampak pada
penguatan ekonomi, bahkan cenderung terjadi pelarian modal keluar. Sementara
depresiasi nilai tukar telah menyebabkan melonjaknya nilai subsidi BBM dan
meningkatnya biaya operasional PLN yang kebanyakan menggunakan dolar AS.
Disamping itu penyelundupan BBM yang merugikan negara sebesar Rp 56 tiliun
terjadi setiap tahunnya.
Untuk itu, diperlukan kekuatan untuk
mengkoreksi berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Kekuatan ini
haruslah mampu memahami persoalan yang terjadi serta mengetahui aspek kehidupan
sosial ekonomi rakyat Indonesia yang sangat mungkin jauh berbeda dengan
teori-teori ekonomi main stream.
Transformasi ekonomi harus berangkat dari fakta yang
ada di tengah masyarakat guna mengurangi kekeliruan dalam mengambil kebijakan.
Disamping itu adopsi terhadap berbagai teori juga sangat diperlukan, serta
diiringi dengan mengambil pelajaran dari berbagai negara dalam menentukan
kebijakan ekonominya. Transisi demokrasi akan berhasil secara relatif bila
terjadi pula transformasi ekonomi yang berpihak kepada rakyat.
10 Februari 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar