Kamis, 20 Januari 2005

Kebijakan Fiskal 100 Hari Pertama


Oleh Erwin FS

Terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilu presiden yang memakan waktu cukup lama telah melahirkan begitu banyak harapan dari berbagai lapisan masyarakat. Masyarakat lapisan bawah umumnya mengharapkan adanya perbaikan kondisi sehingga masalah ekonomi mereka bisa lebih baik dari sebelumnya. Sementara bagi masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi, mereka mengharapkan adanya penegakan hukum yang akan berimplikasi ke berbagai sektor sehingga kondisi negara akan lebih baik. 
  
Harapan masyarakat yang begitu besar pada dasarnya akibat interaksi mereka yang melakukan pemilihan langsung dalam pemilu presiden yang lalu. Berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang terbentuk dari hasil pemilihan anggota MPR RI. 
Pemerintahan baru “diberi” waktu 100 hari untuk membuktikan bahwa mereka akan membawa perubahan bagi kondisi bangsa. Waktu 100 hari sesungguhnya tidaklah lama namun sekaligus bukan waktu yang sedikit untuk melahirkan kebijakan yang positif bagi rakyat. 
Masalah yang dihadapi pemerintah saat ini di antaranya adalah penanganan kebijakan fiskal.Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang berpengaruh langsung kepada nasib rakyat, seperti pajak, anggaran untuk pendidikan dan kesehatan, subsidi (termasuk BBM) dan penciptaan lapangan kerja serta penanganan masalah kemiskinan.  
Salah satu permasalahan yang ada di hadapan mata adalah permasalahan TKI, baik yang legal maupun ilegal. Banyaknya TKI ilegal menandakan sudah begitu buruknya penanganan TKI yang terjadi selama ini. Sementara masalah yang dihadapi oleh TKI legal pun cukup rumit dan membutuhkan penanganan serius pemerintah.  
Pengangguran adalah masalah besar yang dihadapi oleh pemerintah. Pengangguran yang semakin besar semenjak terjadinya krisis moneter membutuhkan kerja keras pemerintah untuk menguranginya. Penanganan masalah TKI adalah salah satu solusi kongkrit untuk bisa mengurangi pengangguran.   
Selama ini masalah pengangguran dihadapi dengan klaim tingkat investasi asing maupun domestik yang masih rendah. Padahal, kalau pemerintah mau serius, penanganan TKI bisa menjawab masalah pengangguran.  
Teori ekonomi konvensional mengungkapkan adanya hubungan negatif antara inflasi dengan pengangguran. Pemerintahan yang lalu memang berhasil mengerem laju inflasi hingga berada pada kisaran 5 persen atau dibawah dua digit. Namun inflasi yang rendah ini diikuti oleh tingkat pengangguran yang tinggi. Pengangguran yang tinggi tidak akan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang notabene meningkatkan pendapatan nasional. Untuk itu masalah TKI yang bisa mengurangi tingkat pengangguran harus mendapat perhatian serius dari pemerintah.  
Hanya saja, pengangguran terdidik masih menjadi masalah dimana untuk menyerapnya memang dibutuhkan investasi. Namun masalah ini bisa diatasi bila pemerintah memberi perhatian serius kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) karena sektor ini bisa menyerap tenaga kerja terdidik.  
Selain masalah pengangguran, masalah kemiskinan juga menjadi beban berat pemerintah. Untuk mengurangi kemiskinan pemerintah mengandalkan kepada APBN (kebijakan fiskal). Namun APBN selama ini lebih banyak digunakan untuk membayar bunga obligasi dan utang pemerintah. Untuk mengatasi kebuntuan fiskal dalam memberi bantuan kepada masalah kemiskinan, diperlukan solusi alternatif yaitu zakat dan wakaf. Zakat dan wakaf telah memiliki payung hukum berupa Undang-Undang (UU). Tinggal implementasinya yang membutuhkan peranan besar para stake holder ekonomi syariah.
Zakat dan wakaf adalah instrumen yang saling melengkapi. Peruntukkan zakat sudah jelas disebutkan dalam Al Quran, yaitu untuk 8 golongan. Sementara peruntukkan wakaf bisa diluar 8 golongan tersebut.   
Peran zakat dalam mengurangi kemsikinan sudah bisa dilihat dan dirasakan oleh sebagian masyarakat. Peran lembaga pengelola zakat tidak bisa dilepaskan dari hal ini karena mereka telah berhasil mengelola zakat yang terkumpul untuk disalurkan kepada golongan yang berhak, meskipun jumlahnya masih terbatas.  
Sementara peran wakaf baru sebatas pada wakaf tanah dan bangunan yang mana manfaatnya tidak bisa sefleksibel wakaf tunai. Peran wakaf tunai yang lebih fleksibel akan memberi pengaruh lebih luas kepada masyarakat. Namun untuk memberi pengaruh yang luas tersebut diperlukan sosialisasi yang berkelanjutan. Sosialisasi wakaf dan zakat pada dasarnya sama dengan kegiatan dakwah yang berjalan terus menerus. Meskipun kaum muslimin dalam KTP-nya beragama Islam, tetap perlu mendapatkan dakwah yang terus menerus. Disinilah kekurangan yang dirasakan dalam melakukan sosialisasi terhadap berbagai instrumen sistem ekonomi syariah. Instrumen atau produk dari sistem ekonomi syariah tidak hanya menjadi tanggung jawab bagian pemasaran lembaga yang bersangkutan, tetapi tanggung jawab seluruh karyawan dan bahkan stake holder.   
Jika melihat sistem ekonomi konvensional, pendapatan nasonal dapat dirumuskan dengan persamaan Y=C+I+G+(X-M) dimana Y=pendapatan nasional, C=konsumsi, I=investasi, G=pengeluaran pemerintah (government expenditure) dan (X-M) adalah jumlah ekspor bersih atau ekspor (X) dikurangi impor (M). Dari persamaan ini para pengamat ekonomi mensinyalir akan adanya kebuntuan fiskal karena diluar pengeluaran pemerintah, sektor konsumsi, investasi dan ekspor bersih pada saat ini tidak dapat diandalkan dalam meningkatkan pendapatan nasional. Sementara pengeluaran pemerintah melalui APBN pun masih sulit untuk memperbaiki krisis ekonomi, meskipun bisa dilakukan upaya perbesaran defisit anggaran. Melihat hal ini, zakat dan wakaf memiliki peluang dalam membantu sektor fiskal memulihkan ekonomi. Untuk berperan signifikan mempengaruhi sektor fiskal maka jumlah zakat dan wakaf harus bernilai besar. Di sini dibutuhkan peran pemerintah dalam political will-nya, disamping kesiapan para stake holder dan institusi pelaksananya.  
Menurut Aris Mufti (2004), jika terdapat 10 juta masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebanyak Rp 100.000,- perbulan, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 1 trilyun setiap bulan atau Rp 12 trilyun setiap tahun.  
Sumber dana zakat dan wakaf adalah dari dana masyarakat di dalam negeri yang berarti terjadinya distribusi harta (asset) di dalam negeri. Jika melihat dana masyarakat yang ada di perbankan sebesar Rp 700-800 triliun dimana bank belum berhasil menyalurkan secara signifikan kepada sektor riil, maka jika sebagian dana tersebut beralih ke zakat dan wakaf akan membantu masyarakat yang tidak mampu. 
Pemerintahan baru memang dihadapkan kepada masalah fiskal yang pelik, seperti dilema subsidi BBM (karena harga minyak dunia melonjak tajam). Jika pemerintah memiliki political will mendorong berkembangnya zakat dan wakaf sebagai bagian dari instrumen fiskal (yang berada di luar APBN), maka tinggal umat Islam yang harus mengimplementasikan dengan serius.   
Instrumen ekonomi syariah pada dasarnya bisa membantu masalah-masalah ekonomi yang dihadapi pemerintah. Disamping itu, resistensi terhadap instrumen ini relatif hampir tidak ada karena menguntungkan berbagai pihak.    
Namun demikian, harus ada pendekatan yang dilakukan kepada pemerintah untuk meyakinkan bahwa instrumen ekonomi syariah bisa membantu mengatasi persoalan yang dihadapi pemerintah. Hal ini bisa disampaikan melalui parpol, institusi ekonomi maupun institusi keislaman. Selagi dalam 100 hari pertama, pengusulan instrumen ekonomi syariah sangat available sebagai pelengkap dari kebijakan yang sudah ada.
20 Januari 2005


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post