Indonesia
akhirnya memiliki UU Wakaf. Sebuah UU baru yang memungkinkan meluasnya
instrumen wakaf untuk menarik dana masyarakat. Jika selama ini wakaf
identik dengan tanah dan bangunan, maka pada UU ini dimungkinkan adanya
wakaf tunai. Bagi masyarakat kebanyakan, mungkin hal ini kabar yang
biasa saja karena mereka tidak merasakan adanya pengaruh terhadap
kehidupan mereka. Namun bagi para praktisi, pemerhati dan pencinta
ekonomi syariah, UU Wakaf ini semakin melengkapi payung hukum instrumen
ekonomi syariah yang ada di tanah air yang berarti cakupan dari sekian
banyaknya instrumen diharapkan akan semakin memberikan nilai tambah yang
signifikan bagi ekonomi masyarakat.
Dalam
konteks yang lebih dekat, UU Wakaf akan mendampingi UU Zakat yang sudah
ada dan juga sedang dalam tahap amandemen. Zakat dan wakaf dalam
perspektif ekonomi Islam berada dalam lingkup kebijakan fiskal yang
sangat kental dengan nilai sosial. Semakin banyak instrumen fiskal
syariah yang mempunyai payung hukum akan semakin menambah khasanah
instrumen fiskal yang ada di Indonesia.
Dalam
konteks ekonomi makro konvensional, pemerintah berperan dalam kebijakan
fiskal yang mendorong atau membantu aktivitas rakyat. Dalam
kondisi krisis, ekspansi kebijakan fiskal sangat diperlukan untuk
membantu kondisi ekonomi rakyat. Kebijakan fiskal untuk membantu rakyat
miskin selama ini kerap tidak sampai kepada objek tujuan karena adanya
masalah moral hazard dari aparat pelaksana di lapangan.
Adanya
UU Wakaf diharapkan akan membantu penyaluran dana untuk masyarakat
miskin sampai ke tujuan dengan selamat. Lembaga yang menyalurkan dana
hasil pengelolaan wakaf tunai adalah lembaga yang memiliki kredibilitas
sehingga SDMnya memiliki akuntabilitas yang memadai.
UU
Wakaf melengkapi UU Zakat dalam konteks membantu mereka yang tidak
mampu. Lembaga Pengelola Zakat (LPZ) pada dasarnya menyalurkan dana
kepada golongan yang telah disebutkan dalam Al Quran. Sementara Lembaga
Pengelola Wakaf Tunai (LPWT) bisa menyalurkan kepada masyarakat yang
kurang mampu dimana jangkauannya melebihi 8 golongan penerima zakat.
Yang mesti dilakukan agar UU Wakaf disambut baik oleh masyarakat adalah melakukan sosialisasi yang optimal kepada masyarakat. Tanpa
sosialisasi, mustahil wakaf bisa menjadi instrumen yang efektif dalam
membantu masyarakat yang tidak mampu. Bahkan sosialisasi ini harus
berjalan terus menerus dan mungkin tahunan guna membuat masyarakat
mengerti akan fungsi dan keberadaan wakaf.
Satu
hal yang baru dalam UU Wakaf ini adalah adanya wakaf tunai. Selama ini
wakaf identik dengan tanah dan bangunan. Wakaf tunai akan berfungsi
lebih fleksibel karena hasl pengelolaannya bisa dimanfaatkan untuk
berbagai hal.
Wakaf Tunai
Wakaf
tunai pada prinsipnya sama dengan wakaf bangunan atau tanah. Pada wakaf
tunai jumlah pokok tetap ditahan namun hasil dari investasinya bisa
dimanfaatkan. Lembaga yang berhak mengelola wakaf tunai telah diatur
dalam UU. Pengelola wakaf disebut Nazir. Nazir wakaf tunai berhak
melakukan investasi yang mampu menghasilkan return. Return investasi
akan dimanfaatkan untuk berbagai tujuan seperti membantu masyarakat yang
tidak mampu, memberdayakan ekonomi umat atau yang lainnya sesuai
syariah Islam.
Pengumpulan
wakaf tunai yang berkesinambungan akan menghasilkan akumulasi dana yang
semakin signifikan untuk membantu masyarakat tidak mampu. Hal ini
tentunya berbeda dengan dan zakat yang tidak bisa terakmulasi karena
harus dibagikan kembali kepada yang berhak.
Sebagai
ilustrasi, jika setiap bulannya ada 5 juta muslim yang menyetorkan
wakaf tunai sebesar Rp 10.000,- maka akan terkumpul dana Rp 50 milyar
perbulan atau 600 milyar pertahun. Jika dana tersebut diinvestasikan
dengan asumsi return 10 persen pertahun maka akan terkumpul Rp 60 milyar
dana yang dapat dimanfaatkan, sementara dana Rp 60 milyar tetap ditahan
sebagai jumlah wakaf. Pada tahun ke-2 dana yang terkumpul akan
berjumlah menjadi Rp 1,2 trilyun dengan return Rp 120 milyar. Dengan
demikian, jumlah ini akan semakin meningkat dari tahun ke tahun dan
akan semakin signifikan membantu masyarakat yang tidak mampu.
Motif
untuk melakukan wakaf disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim yang berbunyi: “Saat seorang hamba meninggal dunia, maka
terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga: amal jariyah (harta yang
disedekahkan), ilmu yang bermanfaat, dan anak yang soleh yang selalu
mendoakannya”.
Jika
sebelumnya berwakaf membutuhkan nilai yang tinggi seperti tanah dan
bangunan yang tidak semua orang bisa, maka dengan wakaf tunai seseorang
bisa berwakaf dengan jumlah kecil semisal Rp 10.000,- untuk interval
waktu yang ditentukan.
Wakaf
tunai dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan membantu masyarakat
yang kurang mampu. Hal ini di antaranya membangun gedung sekolah, klinik
kesehatan, pasar, perpustakaan, fasilitas publik lainnya maupun bantuan
pendidikan dan kesehatan yang bersifat habis pakai seperti baju
seragam, alat sekolah, obat-obatan maupuin bantuan usaha kaum dhuafa.
Pada
saat ini pemerintah dihadapkan dengan dilema pembiayaan bagi masyarakat
miskin. Hal ini di antaranya rencana pengurangan subsidi BBM yang jelas
akan menurunkan pendapatan riil masyarakat secara umum. Disamping itu
dana kompensasi subsidi BBM sendiri banyak yang tidak mencapai sasaran
masyarakat miskin akibat moral hazard pelaksananya.
Wakaf
tunai dapat menjadi alternatif sekaligus solusi yang tepat untuk
membantu pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Jika selama ini lembaga pengelola zakat (LPZ) berhasil membantu kaum dhuafa dan mendapatkan kepercayaan masyarakat, maka diharapkan lembaga pengelola wakaf (LPW) akan mengalami hal yang sama.
Dukungan
politik pemerintah kepada kebijakan wakaf tunai adalah langkah awal
mensosialisasikan wakaf tunai kepada masyarakat sekaligus mendorong LPW
melakukan aktivitasnya. Wakaf tunai akan membantu pemerintah dalam
mensejahterakan masyarakat sehingga dengan demikian pemerintah harus
memberi dukungan total guna membantu masalah keterbatasan dana bujeter
untuk masyarakat miskin.1 Januari 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar