Indonesia
memasuki milenium baru dengan kekhawatiran krisis energi. Terjadinya
pemadaman listrik secara bergilir, kekurangan pasokan listrik di
beberapa daerah dan kekeringan yang mengakibatkan surutnya air di
waduk/danau adalah bukti kongkrit akan adanya ancaman yang lebih besar
di masa depan. Sementara itu kebutuhan akan listrik semakin meningkat
dari tahun ke tahun.
Disamping
meningkatnya kebutuhan akan listrik, masih banyak daerah yang belum
terjangkau aliran listrik maupun daerah yang masih kekurangan listrik
meskipun sudah dipasok oleh PLN.
Beberapa
daerah yang memiliki pendapatan relatif tinggi namun masih mengalami
keterbatasan pasokan listrik menyatakan kesediaannya membayar biaya
pengadaan listrik dengan harga lebih tinggi. Daerah itu di antaranya
terletak di daerah Kalimantan yang wilayahnya memiliki kekayaan sumber
daya alam.
Sayangnya,
investasi sektor ketenagalistrikan ini membutuhkan biaya yang tinggi
serta jaminan hukum yang memadai sehingga agak sulit mencari investor
yang mau menanamkan modalnya di sektor ketenagalistrikan.
Pengesahan
UU tentang Ketenagalistrikan pada 2002 lalu oleh DPR RI adalah sebuah
langkah maju menangani masalah kekurangan pasokan listrik di tanah air.
Meskipun masih mengundang pro dan kontra, UU tersebut memiliki semangat
keadilan yang memihak rakyat banyak.
Listrik
dalam paradigma rakyat merupakan kewajiban negara untuk memenuhinya,
disamping merupakan hajat hidup rakyat banyak. Namun dari sisi
pemerintah, kurangnya dana untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri
menyebabkan terbukanya keran bagi pihak swasta untuk berinvestasi di
sektor ketenagalistrikan. Disamping itu, PLN dalam konteks perusahaan
menghendaki adanya untung.
Meskipun
demikian, akibat terbukanya investasi bagi pihak swasta, tidak semua
daerah diterapkan sistem pengadaan listrik oleh swasta yang jumlahnya
lebih dari satu. Pada saat ini, jauh lebih banyak daerah yang dilindungi
dari sistem pengadaan semacam ini.
Daerah
seperti Kalimantan Timur yang sanggup membayar pengadaan listrik dengan
harga menjanjikan adalah pasar yang akan menjadi incaran investor
karena memiliki profitabilitas. Disamping itu daerah yang dipenuhi
kawasan industri juga termasuk daerah yang menjanjikan bagi pengadaan
listrik dengan sistem baru ini (atau lebih dikenal dengan sistem
kompetisi, karena akan melibatkan lebih dari satu pihak).
Sementara
itu, fungsi sosial PLN sebagai penyedia listrik bagi rakyat banyak akan
berkelanjutan, namun fungsi sebagai perusahaan yang mencari untung juga
tetap akan dilakukan. Sebenarnya di antara pelanggan PLN terdapat
kelompok yang menginginkan pelayanan, kuantitas dan kualitas yang bagus
terhadap penyediaan listrik dimana mereka sanggup membayar tinggi.
Mereka umumnya adalah pelanggan yang tidak mendapat subsidi.
Obligasi
syariah memiliki peluang untuk turut serta meramaikan pengadaan dana
untuk penyediaan listrik di daerah-daerah tertentu yang profitable.
Selama ini (sebelum keluarnya UU Ketenagalistrikan yang baru) PLN telah
mengeluarkan obligasi (konvensional) untuk mendanai penyediaan listrik.
Alasan pengeluaran obligasi ini adalah menghindari penggunaan hutang
luar negeri yang bisa terapresiasi terhadap rupiah. Sekitar 80 persen
komponen listrik dibayar dengan menggunakan dolar AS. Disamping itu,
pengeluaran obligasi ini juga untuk mengurangi beban PLN dan beban
masyarakat.
Obligasi
syariah dipandang memiliki nilai keadilan, karena hasil yang akan
didapatkan berpatok kepada nisbah dan bukan dengan bunga yang ditetapkan
persentasenya dari nilai nominal obligasi. Dengan obligasi syariah ini,
besarnya penerimaan yang akan didapatkan oleh pemegang obligasi berpotensi
untuk meningkat, disamping bisa juga menurun yang merupakan konsekuensi
penetapan nisbah. Jika penerimaannya menunjukkan tren yang menaik, maka
bagi pemerintah/PLN bisa mensubsidi silang kepada penyediaan listrik
yang bersubsidi.
Obligasi syariah di sektor ketenagalistrikan diharapkan menjadi bagian dari maqasid syariah
sehingga peranannya bisa menjangkau kepada kesejahteraan masyarakat
banyak, meskipun dengan selektivitas yang tinggi guna menghindari hal
yang tidak diinginkan. Bahkan, bila mendapat sambutan, bukan tidak
mungkin akan menjadi acuan nasional dalam mengadakan pembiayaan di
sektor ini selanjutnya.
Disamping
untuk pengadaan listrik yang berasal dari sumber energi semisal diesel,
BBM, gas atau yang lain, penerapan obligasi syariah untuk pengadaan
listrik yang berasal dari sumber energi terbarukan (seperti panas bumi)
juga sangat dimungkinkan. Apalagi UU-nya juga telah disahkan DPR pada
2003 ini. Potensi energi panas bumi yang dimiliki oleh Indonesia
merupakan yang terbesar di dunia yaitu sebesar kurang lebih 27.200 MW
yang merupakan 40 persen cadangan dunia. Jika disetarakan dengan minyak
bumi, kurang lebih sebesar 9 milyar barel untuk waktu 30 tahun.
Sehingga, bila obligasi syariah berperan dalam pengadaan listrik yang
bersumber dari energi panas bumi, mudah-mudahan berkahnya didapati oleh
penduduk negeri ini.
Potensi
panas bumi yang begitu besar dan merupakan sumber energi yang
berkelanjutan merupakan harta karun pengadaan listrik di Indonesia.
Masuknya obligasi syariah dalam pembiayaan di sektor ini akan menjadi
bagian dari mendorong kegiatan ekonomi di sektor riil. Adanya obligasi
syariah di sektor ketenagalistrikan ini diharapkan akan mampu menarik
minat investor dari Timur Tengah. Meskipun obligasi syariah untuk sektor
ini tidak memiliki kaitan langsung dengan sektor riil (semisal
pembiayaan usaha), ia dapat menjadi multiplier effect dari aktivitas ekonomi. Sulit dipungkiri bahwa aktivitas ekonomi tidak terlepas dari ketersediaan energi listrik yang memadai.
21 Juli 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar