Rabu, 21 Juli 2004

Menimbang Obligasi Syariah untuk Sektor Ketenagalistrikan

Oleh Erwin FS

Indonesia memasuki milenium baru dengan kekhawatiran krisis energi. Terjadinya pemadaman listrik secara bergilir, kekurangan pasokan listrik di beberapa daerah dan kekeringan yang mengakibatkan surutnya air di waduk/danau adalah bukti kongkrit akan adanya ancaman yang lebih besar di masa depan. Sementara itu kebutuhan akan listrik semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Disamping meningkatnya kebutuhan akan listrik, masih banyak daerah yang belum terjangkau aliran listrik maupun daerah yang masih kekurangan listrik meskipun sudah dipasok oleh PLN.
Beberapa daerah yang memiliki pendapatan relatif tinggi namun masih mengalami keterbatasan pasokan listrik menyatakan kesediaannya membayar biaya pengadaan listrik dengan harga lebih tinggi. Daerah itu di antaranya terletak di daerah Kalimantan yang wilayahnya memiliki kekayaan sumber daya alam.
Sayangnya, investasi sektor ketenagalistrikan ini membutuhkan biaya yang tinggi serta jaminan hukum yang memadai sehingga agak sulit mencari investor yang mau menanamkan modalnya di sektor ketenagalistrikan.
Pengesahan UU tentang Ketenagalistrikan pada 2002 lalu oleh DPR RI adalah sebuah langkah maju menangani masalah kekurangan pasokan listrik di tanah air. Meskipun masih mengundang pro dan kontra, UU tersebut memiliki semangat keadilan yang memihak rakyat banyak.
Listrik dalam paradigma rakyat merupakan kewajiban negara untuk memenuhinya, disamping merupakan hajat hidup rakyat banyak. Namun dari sisi pemerintah, kurangnya dana untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri menyebabkan terbukanya keran bagi pihak swasta untuk berinvestasi di sektor ketenagalistrikan. Disamping itu, PLN dalam konteks perusahaan menghendaki adanya untung.
Meskipun demikian, akibat terbukanya investasi bagi pihak swasta, tidak semua daerah diterapkan sistem pengadaan listrik oleh swasta yang jumlahnya lebih dari satu. Pada saat ini, jauh lebih banyak daerah yang dilindungi dari sistem pengadaan semacam ini.
Daerah seperti Kalimantan Timur yang sanggup membayar pengadaan listrik dengan harga menjanjikan adalah pasar yang akan menjadi incaran investor karena memiliki profitabilitas. Disamping itu daerah yang dipenuhi kawasan industri juga termasuk daerah yang menjanjikan bagi pengadaan listrik dengan sistem baru ini (atau lebih dikenal dengan sistem kompetisi, karena akan melibatkan lebih dari satu pihak).
Sementara itu, fungsi sosial PLN sebagai penyedia listrik bagi rakyat banyak akan berkelanjutan, namun fungsi sebagai perusahaan yang mencari untung juga tetap akan dilakukan. Sebenarnya di antara pelanggan PLN terdapat kelompok yang menginginkan pelayanan, kuantitas dan kualitas yang bagus terhadap penyediaan listrik dimana mereka sanggup membayar tinggi. Mereka umumnya adalah pelanggan yang tidak mendapat subsidi.
Obligasi syariah memiliki peluang untuk turut serta meramaikan pengadaan dana untuk penyediaan listrik di daerah-daerah tertentu yang profitable. Selama ini (sebelum keluarnya UU Ketenagalistrikan yang baru) PLN telah mengeluarkan obligasi (konvensional) untuk mendanai penyediaan listrik. Alasan pengeluaran obligasi ini adalah menghindari penggunaan hutang luar negeri yang bisa terapresiasi terhadap rupiah. Sekitar 80 persen komponen listrik dibayar dengan menggunakan dolar AS. Disamping itu, pengeluaran obligasi ini juga untuk mengurangi beban PLN dan beban masyarakat.
Obligasi syariah dipandang memiliki nilai keadilan, karena hasil yang akan didapatkan berpatok kepada nisbah dan bukan dengan bunga yang ditetapkan persentasenya dari nilai nominal obligasi. Dengan obligasi syariah ini, besarnya penerimaan yang akan didapatkan oleh pemegang obligasi  berpotensi untuk meningkat, disamping bisa juga menurun yang merupakan konsekuensi penetapan nisbah. Jika penerimaannya menunjukkan tren yang menaik, maka bagi pemerintah/PLN bisa mensubsidi silang kepada penyediaan listrik yang bersubsidi.
Obligasi syariah di sektor ketenagalistrikan diharapkan menjadi bagian dari maqasid syariah sehingga peranannya bisa menjangkau kepada kesejahteraan masyarakat banyak, meskipun dengan selektivitas yang tinggi guna menghindari hal yang tidak diinginkan. Bahkan, bila mendapat sambutan, bukan tidak mungkin akan menjadi acuan nasional dalam mengadakan pembiayaan di sektor ini selanjutnya.
Disamping untuk pengadaan listrik yang berasal dari sumber energi semisal diesel, BBM, gas atau yang lain, penerapan obligasi syariah untuk pengadaan listrik yang berasal dari sumber energi terbarukan (seperti panas bumi) juga sangat dimungkinkan. Apalagi UU-nya juga telah disahkan DPR pada 2003 ini. Potensi energi panas bumi yang dimiliki oleh Indonesia merupakan yang terbesar di dunia yaitu sebesar kurang lebih 27.200 MW yang merupakan 40 persen cadangan dunia. Jika disetarakan dengan minyak bumi, kurang lebih sebesar 9 milyar barel untuk waktu 30 tahun. Sehingga, bila obligasi syariah berperan dalam pengadaan listrik yang bersumber dari energi panas bumi, mudah-mudahan berkahnya didapati oleh penduduk negeri ini.
Potensi panas bumi yang begitu besar dan merupakan sumber energi yang berkelanjutan merupakan harta karun pengadaan listrik di Indonesia. Masuknya obligasi syariah dalam pembiayaan di sektor ini akan menjadi bagian dari mendorong kegiatan ekonomi di sektor riil. Adanya obligasi syariah di sektor ketenagalistrikan ini diharapkan akan mampu menarik minat investor dari Timur Tengah. Meskipun obligasi syariah untuk sektor ini tidak memiliki kaitan langsung dengan sektor riil (semisal pembiayaan usaha), ia dapat menjadi multiplier effect dari aktivitas ekonomi. Sulit dipungkiri bahwa aktivitas ekonomi tidak terlepas dari ketersediaan energi listrik yang memadai.
21 Juli 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post