Senin, 21 Juni 2004

Pemilu Presiden dan Pentingnya Perubahan Paradigma Ekonomi

Oleh Erwin FS


Hampir sepanjang paruh pertama 2004 ini rakyat Indonesia tengah menunggu siapa pemimpin mereka untuk masa lima tahun mendatang. Pemilu kali ini memang berbeda dengan pemilu sebelumnya karena rakyat memilih anggota legislatif, anggota DPD dan presiden (serta wakil presiden). Pemilu 2004 ini telah merubah peta kekuatan politik nasional dari hasil pemilihan anggota legislatif. Sebagian pengamat menyatakan bahwa rakyat semakin rasional dan cerdas dalam memilih wakilnya. 

Kecerdasan rakyat ini merupakan buah dari kehidupan pahit yang mereka rasakan selama lima tahun belakangan ini sehingga mereka berusaha mencari alternatif lain yang mampu mengubah nasib mereka.
Rakyat Indonesia telah melihat dan menjalani pemilu dari waktu ke waktu sehingga tak heran mereka semakin cerdas, rasional dan realistis dalam memilih anggota legislatif yang merupakan representasi parpol. Pemilu kedua semenjak jatuhnya rejim otoriter memperlihatkan kebebasan rakyat dalam memilih wakilnya dan sekaligus ajang bagi rakyat dalam mengevaluasi pilihannya.
Namun, pemilu presiden adalah kali pertama dalam sejarah Indonesia sehingga besar dugaan rakyat masih melihat kepada figur, belum sampai kepada platform, visi dan misi para kandidat presiden. Hal ini didukung oleh kondisi buruk pada saat ini dimana rakyat mengingingkan terciptanya keamanan dan kestabilan serta keterjangkauan ekonomi terhadap berbagai kebutuhan mereka.
Pertanyaan yang masih menggantung di benak sebagian rakyat adalah apakah kandidat yang mereka pilih nantinya akan memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Masalah ekonomi memang menjadi persoalan mendasar bagi rakyat Indonesia pada saat ini karena semakin buruknya kualitas kehidupan mereka dan membutuhkan penanganan secepatnya dari pemerintah.
Pada sisi lain, pemilu presiden adalah bentuk kepercayaan rakyat kepada kandidat yang dipilihnya untuk mengubah nasib mereka. Dengan demikian, bila pilihan mereka ternyata semakin membuat hidup tidak nyaman maka pada pemilu presiden selanjutnya rakyat akan mencari pemimpin baru disertai dengan mencantumkan kriteria yang lebih signifikan bagi perubahan nasib mereka.
Keinginan rakyat memilih presiden secara langsung juga tergambarkan dalam Laporan Survei Opini Publik Nasional 2002 yang diterbitkan oleh Sekjen DPR dan MPR RI. Dalam laporan itu responden yang menginginkan presiden dipilih langsung oleh rakyat berjumlah 77,8%. Pendapat ini tetap menjadi yang terbesar bila dibagi berdasar kategori area (desa dan kota), status ekonomi, usia dan afilasi pilihan parpol.

Kondisi Terkini

Kondisi ekonomi Indonesia pada saat ini masih sangat memprihatinkan. Meskipun inflasi diperkirakan di bawah dua digit, nilai rupiah stabil, namun ketidak terjangkauan rakyat terhadap harga barang pokok maupun barang publik semakin tinggi. Disamping itu pertumbuhan ekonomi yang hanya 4-5 persen akan menyisakan pengangguran yang semakin meningkat yang berakibat kepada gangguan kemanan dan melemahnya daya beli yang berimbas kepada iklim usaha yang tidak kondusif.
Harga-harga barang kebutuhan naik sangat cepat melampaui kemampuan daya beli rakyat, sementara pendidikan dan kesehatan semakin mahal dalam waktu lima tahun terakhir. Di luar itu kebijakan kenaikan harga pelayanan pemerintah tidak terbendung, seperti listrik, air, elpiji dan telpon.
Dalam Laporan Survei Opini Publik Nasional 2002, pendapat terbesar responden terhadap masalah terbesar bangsa adalah perekonomian yang buruk (69,7%). Pendapat ini menyebar rata jika penggolongan responden dibagi kedalam tingkat pendidikan, usia, status ekonomi maupun area (desa dan kota).
Sementara itu, meskipun baru saja melepaskan diri dari IMF, paradigma kebijakan ekonomi masih terindikasi dengan aliran ekonomi neo klasik khas IMF. Padahal  depresi besar-besaran yang terjadi pada 1930 adalah bukti kegagalan aliran neo klasik dalam pengelolaan ekonomi negara. Pada waktu itu John Maynard Keynes tampil dengan teorinya yang menyatakan perlu adanya dukungan dana dan proteksi dari pemerintah kepada masyarakat untuk memperbaiki resesi ekonomi, dan ini banyak ditentang ahli ekonomi namun terbukti berhasil. Sementara di Indonesia sebaliknya, krisis yang mengakibatkan keterpurukan ini justru dikomentari oleh IMF dengan paradigma eknomi neoklasik yang pernah menyebabkan depresi besar dunia. Tak heran bila rakyat mengalami kehidupan yang semakin susah. IMF dan Bank Dunia yang kelahirannya dibidani oleh pemikiran Keynes dalam beberapa dawarsa telah berubah 180 derajat dari lembaga yang berusaha membantu kesulitan negara anggotanya menjadi lembaga penjerumus negara yang terkena krisis.

Koreksi

Paradigma ekonomi neo klasik yang kini masih bercokol dalam pengelolaan negara perlu dikoreksi karena sudah jelas terbukti membawa kehancuran. Untuk itu, kandidat presiden yang berpihak kepada paradigma ekonomi semacam ini jelas akan membawa rakyat ke lubang krisis yang lebih besar. Oleh karena itu, figuritas yang muncul dan menguat dalam pemilu presiden kali ini tanpa diimbangi dengan paradigma ekonomi pro rakyat pada dasarnya tidak akan menyelesaikan masalah yang ada pada saat ini. Maka, bila pilihan rakyat salah mereka akan menyalurkan apsirasinya melalui parlemen ataupun memilih presiden yang akan datang dengan lebih berhati-hati dan membaca paradigma kebijakan yang akan diputuskan.
Parlemen sebagai pengawas jalannya pemerintahan juga diharapkan memiliki paradigma ekonomi pro rakyat sehingga bila presiden terpilih menjalankan kebijakan neo klasik liberal akan bisa dikoreksi oleh parlemen. Untuk itu, memang dibutuhkan kelompok oposisi yang berfungsi mengkritisi kebijakan presiden kelak. Dengan demikian, rakyat mendapatkan pendidikan politik yang konstruktif sehingga bisa memberikan pencerahan pemahaman akan pentingnya memilih pemimpin mereka di legislatif dan eksekutif.
Disamping itu, perubahan paradigma ekonomi tidak akan berjalan bila korupsi tidak diberantas secara signifikan. Fakta memperlihatkan bahwa paradigma ekonomi liberal menjadi subur di Indonesia karena akibat maraknya korupsi. Tak heran kebijakan penjualan aset negara, kenaikan harga pelayanan publik dan yang lainnya mendapat persetujuan karena alokasi anggaran yang sudah ada dikorupsi luar biasa sehingga biaya yang seharusnya sudah dialokasikan kedalam posnya masing-masing jumlahnya tidak signifikan lagi. Akibatnya untuk menutupi hal itu ditempuh jalan yang paling mudah yaitu menjual aset negara maupun menaikkan harga barang publik.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa korupsi berpengaruh terhadap berbagai kebijakan publik. Pada tahun 2000, Bank Dunia menerbitkan publikasi (buku) yang berjudulThe Quality of Growth (Edisi Indonesia, Kualitas Pertumbuhan, Gramedia: 2001). Buku ini membahas hubungan antara korupsi dengan pertumbuhan berdasarkan studi yang dilakukan oleh para ekonom di beberapa negara.
Studi yang dilakukan Mauro (1997) memperlihatkan bahwa korupsi memperlambat tingkat pertumbuhan. Sementara Wei (1997) menemukan bukti bahwa korupsi membuat orang enggan melakukan investasi. Wei, Tanzi dan Davoodi (1997) menyatakan bahwa peningkatan korupsi akan mengurangi kualitas jalan raya, meningkatkan terjadinya insiden kekurangan daya listrik, kegagalan komunikasi atau kekurangan air.  Johnson, Kaufmann dan Zoido-Lobaton (1998) mengungkapkan bahwa korupsi mengurangi pendapatan pajak.
Gupta, Davoodi dan Alonso-Terme (1998) mengungkapkan bahwa korupsi meningkatkan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan melalui pertumbuhan yang lebih rendah, pajak regresif, pemilihan sasaran program sosial yang kurang efektif, akses yang tidak seimbang terhadap pendidikan, bias kebijakan yang condong kepada ketimpangan dalam kepemilikan asset, berkurangnya pengeluaran sosial dan risiko investasi yang lebih tinggi bagi kaum miskin.
Disamping itu, dalam buku tersebut juga diuraikan beberapa temuan seperti: 1. dalam rejim yang korup, pejabat publik melalaikan program kesehatan karena program ini tidak menghasilkan perburuan rente yang besar. 2. korupsi mempengaruhi perusahaan yang lebih kecil dan mereka yang akan memulai usaha baru.
Oleh karena itu, pemberantasan korupsi dan perubahan paradigma ekonomi akan menentukan perubahan negeri ini. Rakyat mungkin belum memahami hal ini, namun ini dapat disuarakan oleh parlemen.
21 Juni 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post