Rabu, 21 Januari 2004

Jangan Lupakan Pembangunan Manusia


Oleh Erwin FS

Secara tiba-tiba pemerintah Amerika Serikat membatalkan pemberian bantuan sebesar  US$ 34 juta untuk masalah kependudukan dan pembangunan kepada United Nations Fund Population (UNFPA). Penundaan bantuan ini berimbas kepada Indonesia karena Indonesia adalah salah satu dari 141 negara yang mendapat bantuan dari UNFPA. Dalam skala dunia, penundaan bantuan ini berarti terhalangnya pencegahan 2 juta kehamilan yang tak diinginkan, 4.700 kematian ibu dan 77.000 kematian bayi dan anak.
Untuk Indonesia, penundaan pemberian bantuan itu berarti terjadinya pembatalan terhadap: kegiatan training 4.648 bidan desa dan 795 dokter, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi di 1.222 puskesmas, pemberian jasa konseling kepada 41.953 ibu di Aceh, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat, kegiatan training kepada 27.850 remaja di 11 Pusat Kegiatan Remaja di 11 kota Indonesia yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, kegiatan mencapai (outreach) 86 titik-titik rawan di 4 propinsi yang bertujuan mencegah penyebaran HIV/AIDS dan STD di kalangan kelompok beresiko tinggi, dana transportasi gawat darurat di 600 desa yang memiliki angka kematian ibu yang tinggi, 2 proyek penelitian mengenai kesehatan reproduksi, kegiatan training dan pengumpulan data mengenai indikator kesehatan reproduksi dan gender di 32 kabupaten.
Dengan hanya melihat dari dana hibah saja, terlihat bahwa begitu banyak hal yang tidak bisa tertangani bila dana itu dibatalkan pemberiannya. Padahal pembangunan manusia adalah kunci utama bagi suatu negara untuk  menjadi negara yang maju. Namun demikian di luar pemberian dana hibah itu beberapa temuan juga cukup membuat kita terhenyak melihat kondisi Indonesia saat ini.
Menurut laporan UNDP 2001, alokasi untuk pendidikan yang berasal dari PNB (Produk Nasional Bruto) Indonesia hanya sekitar 1,4 persen. Padahal rata-rata dunia mencapai 4,5 persen. Sedangkan menurut Repeta 2003, pada  tahun 2000 jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak atau belum menamatkan sekolah dasar berjumlah sekitar 34,56 persen. Sedangkan yang menamatkan pendidikan SLTA ke atas hanya sekitar 18,7 persen, dan dari yang telah menamatkan SLTA hanya sekitar 1,7 persen yang menamatkan pendidikan setingkat universitas. Adapun 87,5 persen penduduk usia 19-24 tahun diketahui tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Dalam Profil Kesehatan Indonesia 2001 yang dikeluarkan oleh Depkes, pada tahun 2000 jumlah penduduk yang melek huruf sebesar 89,76 persen. Sedangkan yang buta huruf adalah 10,25 persen (pada tahun 1999 10,21 persen). Perbandingan antara penduduk yang buta huruf di desa dan di kota adalah 13,64 persen berbanding 5,75 persen. Sementara dari segi jender perbandingan antara perempuan dengan laki-laki yang buta huruf adalah 14,16 berbanding 6,31 persen.
Data di atas yang bersumber dari buletin IFPPD edisi Agustus – Oktober 2002 telah menyiratkan bahwa dari bergelimangnya dana untuk sektor keuangan, perhatian terhadap masalah pembangunan manusia dapat diibaratkan dengan prioritas pembangunan lingkungan yang berada jauh di urutan terbelakang. Dampak dari prioritas semacam ini adalah keterpurukan yang tak berkesudahan bagi perekonomian. Meskipun ekonomi bangkit, yang ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, belum menjadi jaminan bagi meningkatnya kualitas penduduk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih di bawah 5 persen, masih menyisakan peningkatan jumlah pengangguran.
Dalam teori ekonomi, manusia adalah faktor produksi utama. Jika faktor manusia mengalami gangguan dalam melakukan produktivitas, maka akan menimbulkan gangguan pada aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Watik Pratiknya dan kawan-kawan, dalam hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa rata-rata pekerja masih mengandalkan intake gizi yang berasal dari karbohidrat (nasi dan sebagainya) dan belum mencapai pada taraf pemenuhan kebutuhan protein (ikan, daging dan sebagainya) (Tjiptoherijanto, 1997).
Sementara menurut Elfindri (1998) separuh dari murid SD di Indonesia tidak dapat menyerap pelajaran. Jika sejak jenjang SD mereka tidak mampu menyerap pelajaran, maka untuk tahap selanjutnya akan semakin menemui kesulitan karena tingkat pelajaran yang semakin kompleks. Padahal, menurut Triaswati (1997), pendidikan dasar menyumbang porsi terbesar untuk pertumbuhan yang diprediksi oleh HPAEs (High Performing Asian Economies).
Pembangunan manusia di Indonesia yang masih belum menjadi perhatian utama dari pemerintah ini secara makroekonomi akan menimbulkan dampak ikutan terhadap potret perekonomian secara keseluruhan. Ini dapat dilihat dari pendapat Mead Over (1990) dan Hari Susanto dan Elfindri (1996) di bawah ini.
Menurut Mead Over (1990) komponen penduduk dan kesehatan mempengaruhi total output dan income dalam dua cara. Yang pertama adalah jumlah total penduduk dan status kesehatan menentukan jumlah tenaga kerja di masyarakat yang diukur dengan jumlah jam kerja. Yang kedua, produktivitas kerja yang diukur dalam jam kerja tergantung pada kesehatan pekerja. Temuan Watik Pratiknya dan kawan-kawan di atas serta pendapat Mead Over ini secara sederhana memperlihatkan betapa masih rendahnya kualitas pekerja di Indonesia.
Sementara itu menurut Hari Susanto dan Elfindri (1996), penelitian mereka pada masyarakat Mentawai menyimpulkan bahwa orang tua menganggap anak-anak mereka sebagai barang ekonomis yang dapat digunakan sebagai input tenaga kerja untuk membantu proses produksi rumah tangga (untuk anak wanita) dan input tenaga kerja lahan pertanian berpindah (untuk anak lelaki). Penelitian ini bukan tidak mungkin berlaku pula pada penduduk di desa-desa seluruh Indonesia, mengingat akses kepada pendidikan formal yang semakin sulit karena faktor biaya (lihat Rahardjo,1997) dan kondisi krisis ekonomi yang berlarut-larut.
Pada pertemuan Konferensi Federasi Asosiasi Ahli Ekonomi ASEAN (FAEA, Federation of ASEAN Economists Asssociation) ke-22 tahun 1997 lalu, bahasan utama dalam pertemuan tersebut adalah tentang manusia. Dalam  makalah yang ditulis oleh Ninasapti Triaswati (1997), Indonesia dinyatakan sebagai High Performing Asian Economies (HPAEs). Pendidikan dasar adalah penyumbang tunggal paling besar untuk tingkat pertumbuhan yang diprediksikan HPAEs. Untuk Indonesia, 79 persen pertumbuhan yang diprediksikan disebabkan oleh tingkat daftaran pendidikan dasar. Sedangkan investasi fisik menyumbang 49 persen dari pertumbuhan yang diprediksi di Indonesia.
Ivan Illich (1970) yang mengamati kaitan antara pendidikan dan kemiskinan menyatakan  bahwa pendidikan bukan hanya sebagai pembuka mata dan telinga untuk melihat adanya kemiskinan, tetapi juga untuk mengurangi kemiskinan dan memperkecil ketidakadilan. Namun Lubis (1980) berpendapat bahwa pendidikan yang ada di Indonesia lebih berpihak kepada orang-orang kaya dibanding kepada orang-orang miskin.
Adanya RUU tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang pada saat tulisan ini dibuat belum disahkan oleh DPR, adalah salah satu langkah maju bagi Indonesia untuk menata kembali pembangunan kependudukan di Indonesia. Sementara, untuk menata pendidikan telah ada UU Sistem Pendidikan Nasional yang baru saja disahkan beberapa bulan lalu dimana sedikit banyaknya mampu menjadi payung hukum dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia ke arah yang lebih komprehensif.
Pembangunan ekonomi tanpa diikuti oleh pembangunan manusia telah membawa dampak buruk kepada pembentukan kualitas manusia Indonesia yang tengah dirasakan saat ini. Meskipun alokasi untuk pembangunan manusia, seperti sektor pendidikan dan kesehatan, meningkat dalam RAPBN, namun tanpa diiringi kebijakan dan peraturan pemerintah yang mendukung, sulit untuk mewujudkan peningkatan kualitas manusia Indonesia.
Pembentukan modal manusia (human capital) sebagai faktor produksi utama dalam aktivitas ekonomi masih jauh tertinggal dengan “pembentukan modal” yang juga salah satu faktor produksi lainnya. Ini terlihat di negara-negara berkembang. Kesadaran Malaysia dalam pembentukan modal manusia (human capital) dalam pembangunan ekonomi telah membawa negara ini sebagai salah satu negara berkembang yang paling makmur dan maju pada saat ini. Pembangunan manusia pada dasarnya akan membawa kemajuan suatu bangsa. Bagaimana dengan Indonesia? Semoga pemerintah mampu mencontoh hal yang baik dari pengalaman Malaysia maupun negara maju lainnya dalam membangun modal manusianya.
Dimuat di Padang Ekspres, 21 Januari 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post