Oleh Erwin FS
Secara tiba-tiba pemerintah Amerika Serikat membatalkan pemberian bantuan
sebesar US$ 34 juta untuk masalah kependudukan dan pembangunan
kepada United Nations Fund Population (UNFPA). Penundaan bantuan ini berimbas
kepada Indonesia karena Indonesia adalah salah satu dari 141 negara yang
mendapat bantuan dari UNFPA. Dalam skala dunia, penundaan bantuan ini berarti
terhalangnya pencegahan 2 juta kehamilan yang tak diinginkan, 4.700 kematian
ibu dan 77.000 kematian bayi dan anak.
Untuk Indonesia, penundaan pemberian bantuan itu berarti terjadinya
pembatalan terhadap: kegiatan training 4.648 bidan desa dan 795 dokter,
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi di 1.222 puskesmas, pemberian
jasa konseling kepada 41.953 ibu di Aceh, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat,
kegiatan training kepada 27.850 remaja di 11 Pusat Kegiatan Remaja di 11 kota
Indonesia yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, kegiatan mencapai (outreach)
86 titik-titik rawan di 4 propinsi yang bertujuan mencegah penyebaran HIV/AIDS
dan STD di kalangan kelompok beresiko tinggi, dana transportasi gawat darurat
di 600 desa yang memiliki angka kematian ibu yang tinggi, 2 proyek penelitian
mengenai kesehatan reproduksi, kegiatan training dan pengumpulan data mengenai
indikator kesehatan reproduksi dan gender di 32 kabupaten.
Dengan hanya melihat dari dana hibah saja, terlihat bahwa begitu banyak hal
yang tidak bisa tertangani bila dana itu dibatalkan pemberiannya. Padahal pembangunan
manusia adalah kunci utama bagi suatu negara untuk menjadi negara yang
maju. Namun demikian di luar pemberian dana hibah itu beberapa temuan juga
cukup membuat kita terhenyak melihat kondisi Indonesia saat ini.
Menurut laporan UNDP 2001, alokasi untuk pendidikan yang berasal dari PNB
(Produk Nasional Bruto) Indonesia hanya sekitar 1,4 persen. Padahal rata-rata
dunia mencapai 4,5 persen. Sedangkan menurut Repeta 2003, pada tahun 2000
jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak atau belum menamatkan sekolah
dasar berjumlah sekitar 34,56 persen. Sedangkan yang menamatkan pendidikan SLTA
ke atas hanya sekitar 18,7 persen, dan dari yang telah menamatkan SLTA hanya
sekitar 1,7 persen yang menamatkan pendidikan setingkat universitas. Adapun
87,5 persen penduduk usia 19-24 tahun diketahui tidak dapat melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi.
Dalam Profil Kesehatan Indonesia 2001 yang dikeluarkan oleh Depkes, pada
tahun 2000 jumlah penduduk yang melek huruf sebesar 89,76 persen. Sedangkan
yang buta huruf adalah 10,25 persen (pada tahun 1999 10,21 persen).
Perbandingan antara penduduk yang buta huruf di desa dan di kota adalah 13,64
persen berbanding 5,75 persen. Sementara dari segi jender perbandingan antara
perempuan dengan laki-laki yang buta huruf adalah 14,16 berbanding 6,31 persen.
Data di atas yang bersumber dari buletin IFPPD edisi Agustus – Oktober 2002
telah menyiratkan bahwa dari bergelimangnya dana untuk sektor keuangan,
perhatian terhadap masalah pembangunan manusia dapat diibaratkan dengan
prioritas pembangunan lingkungan yang berada jauh di urutan terbelakang. Dampak
dari prioritas semacam ini adalah keterpurukan yang tak berkesudahan bagi
perekonomian. Meskipun ekonomi bangkit, yang ditandai dengan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi, belum menjadi jaminan bagi meningkatnya kualitas penduduk
Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih di bawah 5 persen, masih
menyisakan peningkatan jumlah pengangguran.
Dalam teori ekonomi, manusia adalah faktor produksi utama. Jika faktor
manusia mengalami gangguan dalam melakukan produktivitas, maka akan menimbulkan
gangguan pada aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Watik Pratiknya dan kawan-kawan, dalam hasil penelitiannya mengungkapkan
bahwa rata-rata pekerja masih mengandalkan intake gizi yang berasal
dari karbohidrat (nasi dan sebagainya) dan belum mencapai pada taraf pemenuhan
kebutuhan protein (ikan, daging dan sebagainya) (Tjiptoherijanto, 1997).
Sementara menurut Elfindri (1998) separuh dari murid SD di Indonesia tidak
dapat menyerap pelajaran. Jika sejak jenjang SD mereka tidak mampu menyerap
pelajaran, maka untuk tahap selanjutnya akan semakin menemui kesulitan karena
tingkat pelajaran yang semakin kompleks. Padahal, menurut Triaswati (1997),
pendidikan dasar menyumbang porsi terbesar untuk pertumbuhan yang diprediksi
oleh HPAEs (High Performing Asian Economies).
Pembangunan manusia di Indonesia yang masih belum menjadi perhatian utama
dari pemerintah ini secara makroekonomi akan menimbulkan dampak ikutan terhadap
potret perekonomian secara keseluruhan. Ini dapat dilihat dari pendapat Mead
Over (1990) dan Hari Susanto dan Elfindri (1996) di bawah ini.
Menurut Mead Over (1990) komponen penduduk dan kesehatan mempengaruhi total
output dan income dalam dua cara. Yang pertama adalah
jumlah total penduduk dan status kesehatan menentukan jumlah tenaga kerja di
masyarakat yang diukur dengan jumlah jam kerja. Yang kedua, produktivitas kerja
yang diukur dalam jam kerja tergantung pada kesehatan pekerja. Temuan Watik
Pratiknya dan kawan-kawan di atas serta pendapat Mead Over ini secara sederhana
memperlihatkan betapa masih rendahnya kualitas pekerja di Indonesia.
Sementara itu menurut Hari Susanto dan Elfindri (1996), penelitian mereka
pada masyarakat Mentawai menyimpulkan bahwa orang tua menganggap anak-anak
mereka sebagai barang ekonomis yang dapat digunakan sebagai input tenaga kerja
untuk membantu proses produksi rumah tangga (untuk anak wanita) dan input
tenaga kerja lahan pertanian berpindah (untuk anak lelaki). Penelitian ini
bukan tidak mungkin berlaku pula pada penduduk di desa-desa seluruh Indonesia,
mengingat akses kepada pendidikan formal yang semakin sulit karena faktor biaya
(lihat Rahardjo,1997) dan kondisi krisis ekonomi yang berlarut-larut.
Pada pertemuan Konferensi Federasi Asosiasi Ahli Ekonomi ASEAN (FAEA,
Federation of ASEAN Economists Asssociation) ke-22 tahun 1997 lalu, bahasan
utama dalam pertemuan tersebut adalah tentang manusia. Dalam makalah yang
ditulis oleh Ninasapti Triaswati (1997), Indonesia dinyatakan sebagai High
Performing Asian Economies (HPAEs). Pendidikan dasar adalah penyumbang
tunggal paling besar untuk tingkat pertumbuhan yang diprediksikan HPAEs. Untuk
Indonesia, 79 persen pertumbuhan yang diprediksikan disebabkan oleh tingkat
daftaran pendidikan dasar. Sedangkan investasi fisik menyumbang 49 persen dari
pertumbuhan yang diprediksi di Indonesia.
Ivan Illich (1970) yang mengamati kaitan antara pendidikan dan kemiskinan
menyatakan bahwa pendidikan bukan hanya sebagai pembuka mata dan
telinga untuk melihat adanya kemiskinan, tetapi juga untuk mengurangi
kemiskinan dan memperkecil ketidakadilan. Namun Lubis (1980) berpendapat bahwa
pendidikan yang ada di Indonesia lebih berpihak kepada orang-orang kaya
dibanding kepada orang-orang miskin.
Adanya RUU tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang pada saat
tulisan ini dibuat belum disahkan oleh DPR, adalah salah satu langkah maju bagi
Indonesia untuk menata kembali pembangunan kependudukan di Indonesia.
Sementara, untuk menata pendidikan telah ada UU Sistem Pendidikan Nasional yang
baru saja disahkan beberapa bulan lalu dimana sedikit banyaknya mampu menjadi
payung hukum dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia ke arah yang lebih
komprehensif.
Pembangunan ekonomi tanpa diikuti oleh pembangunan manusia telah membawa
dampak buruk kepada pembentukan kualitas manusia Indonesia yang tengah
dirasakan saat ini. Meskipun alokasi untuk pembangunan manusia, seperti sektor
pendidikan dan kesehatan, meningkat dalam RAPBN, namun tanpa diiringi kebijakan
dan peraturan pemerintah yang mendukung, sulit untuk mewujudkan peningkatan
kualitas manusia Indonesia.
Pembentukan modal manusia (human capital) sebagai faktor produksi
utama dalam aktivitas ekonomi masih jauh tertinggal dengan “pembentukan modal”
yang juga salah satu faktor produksi lainnya. Ini terlihat di negara-negara
berkembang. Kesadaran Malaysia dalam pembentukan modal manusia (human
capital) dalam pembangunan ekonomi telah membawa negara ini sebagai salah
satu negara berkembang yang paling makmur dan maju pada saat ini. Pembangunan
manusia pada dasarnya akan membawa kemajuan suatu bangsa. Bagaimana dengan
Indonesia? Semoga pemerintah mampu mencontoh hal yang baik dari pengalaman
Malaysia maupun negara maju lainnya dalam membangun modal manusianya.
Dimuat di Padang Ekspres, 21 Januari 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar