Salah
satu keputusan penting yang dihasilkan dari penyelenggaraan Sidang
Tahunan MPR RI 2002 lalu adalah Ketetapan MPR yang mengamanatkan kepada
pemerintah untuk keluar dari program IMF pada akhir 2003. Keberadaan IMF
semenjak 31 Oktober 1997 hingga kini dirasakan belum memberikan
pengaruh signifikan kepada pemulihan ekonomi Indonesia.
Implementasi
dari mandat itu adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 5 Tahun
2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya
Program Kerja Sama dengan IMF. Inpres tersebut menjelaskan adanya tiga
sasaran pokok yang akan dicapai oleh pemerintah yaitu: memelihara dan
memantapkan stabilitas ekonomi makro; melanjutkan restrukturisasi dan
reformasi sektor keuangan; dan meningkatkan investasi, ekspor dan
penciptaan kesempatan kerja (Adiningsih, 2003).
Keluarnya
Indonesia dari program IMF akan menimbulkan implikasi yang mesti
ditanggung. Salah satu di antaranya adalah tidak ada lagi fasilitas
Paris Club untuk melakukan rescheduling utang luar negeri, dan disamping itu Indonesia harus membayar hutang luar negeri baik pokok maupun bunganya yang berjumlah Rp 44,9 triliun dan defisit neraca pembayaran sebesar US$ 1,5 milyar pada 2004 (Media Indonesia, 23/10/2003).
Meskipun
demikian, menjelang berakhirnya program kerjasama dengan IMF pada 31
Desember 2003, kondisi makro ekonomi Indonesia nampak relatif stabil.
Hal ini dapat dilihat dari suku bunga SBI yang berada pada kisaran 8-9
persen, inflasi dibawah 3 persen (hingga September 2003), nilai kurs
rupiah terhadap dolar AS pada kisaran 8000an.
Selain
itu sudah ada upaya meningkatkan penerimaan dari pajak dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Keuangan dan
Menteri Kehakiman dan HAM pada 23 Juni 2003 tentang Tata Cara Penitipan
Penanggung Pajak yang Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (gijzeling) (Adiningsih,
2003). SKB ini diharapkan mampu meningkatkan penerimaan dari sektor
pajak, terutama dari wajib pajak yang memiliki nominal kewajiban pajak
dalam jumlah besar.
Pemerintah
juga telah menambah jumlah wajib pajak baru sebanyak 43.962 wajib pajak
selama September-Oktober 2003, dimana 29.966 merupakan wajib pajak
pribadi dan 13.996 merupakan wajib pajak badan. Pemerintah mentargetkan
jumlah wajib pajak pribadi sebanyak 60.000 dan wajib pajak badan
sebanyak 50.000 hingga Desember 2003 (Media Indonesia, 05/11/2003).
Disamping
itu, Konferensi Tingkat Menteri Perdagangan V Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) di Cancun, Meksiko, 14 September 2003 yang gagal
menghasilkan kesepakatan deklarasi tentang berbagai isu perdagangan
internasional memberikan dampak psikologis dalam membangun posisi tawar
Indonesia (maupun negara berkembang) mengatasi masalah perdagangan
internasional maupun pertanian yang merupakan basis ekonomi rakyat.
Namun,
masalah pengangguran dan kemiskinan masih menjadi masalah serius yang
dihadapi Indonesia pada masa mendatang. Pertumbuhan ekonomi yang
diperkirakan berada pada kisaran 4-5 persen masih belum bisa menyerap
pencari kerja yang berjumlah sekitar 2,5 juta jiwa. Jumlah sebanyak itu
baru bisa diserap jika pertumbuhan mencapai kisaran 7 persen.
Cadangan Devisa
Salah satu masalah terpenting yang menyebabkan masuknya IMF ke Indonesia dengan program Extended Fund Facility
(EFF) adalah posisi cadangan devisa yang berada pada posisi rawan. Kwik
Kian Gie (2003) menyebut angka 14,7 milyar dolar AS pada waktu
Indonesia meminta bantuan IMF pada 1998.
Dengan
demikian, cadangan devisa harus mendapat perhatian yang penting dari
pemerintah mengingat pada saat ini Indonesia memakai sistem nilai tukar
mengambang bebas dan rejim devisa bebas yang sangat rawan akan
volatilitas nilai tukar maupun pelarian modal keluar negeri. Meskipun
pada saat ini rupiah berada pada posisi yang stabil, bukan berarti ini
akan langgeng. Semenjak masa kepemimpinan Soeharto sampai Megawati sudah
terjadi beberapa kali gejolak nilai tukar yang cukup membuat cemas
pelaku ekonomi. Gejolak ini sangat mempengaruhi permintaan dan penawaran
uang, terutama dolar AS. Spekulasi yang masih tinggi akan mempengaruhi
posisi nilai tukar yang berimbas kepada posisi cadangan devisa. Keadaan
menjelang pemilu 2004 bukan tidak mungkin membuat gejolak akibat
peristiwa maupun berita, dimana ini merupakan karakeristik sistem nilai
tukar mengambang bebas.
Fluktuasi
cadangan devisa dapat merupakan representasi dari fluktuasi neraca
pembayaran. Pendekatan yang melihat neraca pembayaran sebagai suatu
fenomena moneter dikenal dengan pendekatan moneter terhadap neraca
pembayaran. Pendekatan moneter memusatkan perhatian pada cadangan devisa
(Djiwandono, 1980).
Menurut
pendekatan moneter, sumber penyebab ketidakseimbangan neraca pembayaran
luar negeri adalah ketidakseimbangan di pasar uang. Perubahan stok
jumlah uang beredar berasal dari dua sumber. Pertama dari ekspansi
kredit dalam negeri sektor perbankan. Kedua, dari hasil penjualan
komoditi ekspor ataupun penjualan surat berharga lainnya di dalam negeri
yang dikonversikan kedalam mata uang nasional oleh otoritas moneter.
Dari kedua sumber tersebut, hanya sumber pertama yang dapat langsung
dikontrol oleh otoritas moneter. Sedangkan yang langsung mempengaruhi
neraca pembayaran adalah sumber kedua (Nasution, 1987).
Berdasarkan
keseimbangan penawaran dan permintaan uang, cadangan devisa dipengaruhi
oleh pendapatan nasional, harga, tingkat bunga, multiplier uang dan
kredit domestik yang dikeluarkan bank sentral (Safra, 2000). Dengan
demikian, untuk mengamankan cadangan devisa, faktor-faktor yang
mempengaruhi di atas perlu diperhatikan. Dua faktor di atas, inflasi
maupun suku bunga SBI pada saat ini berada pada kondisi yang relatif
bagus dalam mendukung cadangan devisa. Ini perlu dipertahankan mengingat
dampak dari kenaikan dua unsur ini akan mempengaruhi perekonomian.
Sementara,
penjualan komoditi ekspor menurut pendekatan moneter tidak dapat
langsung dikontrol oleh pemerintah, padahal ia berpengaruh langsung
terhadap neraca pembayaran. Hal ini menunjukkan pentingnya peran
pemerintah dalam mengawasi aktivitas ekspor guna meningkatkan penerimaan
cadangan devisa, apalagi penyelundupan keluar negeri. Disamping itu,
pemerintah juga perlu mendorong aktivitas ekspor dengan menciptakan
iklim yang kondusif. Sementara impor juga perlu mendapat perhatian juga
karena ini turut menyedot cadangan devisa kita. Liberalisasi perdagangan
yang mendorong aktivitas impor pada beberapa bagiannya bukan saja
berakibat kepada cadangan devisa, akan tetapi merusak keseimbangan dalam
negeri. Ini bisa dilihat pada kasus impor gula maupun beras.
Namun
demikian, selain menggunakan pendekatan di atas dalam mengamankan
cadangan devisa, ada cara lain untuk melakukan pengamanan terhadap
cadangan devisa yang dilakukan tidak secara langsung, namun melalui
medium antara, yaitu melalui pembentukan modal di dalam negeri. Selama
ini kebanyakan masyarakat tidak mampu membentuk modal karena kesulitan
mengakumulasi modal atau belum memiliki cara yang baik dalam membentuk
modal. Hal ini berpengaruh terhadap pembentukan pendapatan nasional
secara keseluruhan.
Menurut
J Harvey (Santosa, 2003), negara-negara dunia ketiga memiliki sumber
daya alam dan tenaga kerja yang melimpah, namun tidak memiliki cukup
modal. Hernando de Soto (Ibid) melihat kepemilikan sah di Barat
menghasilkan enam pengaruh yang memungkinkan rakyat di negara maju mampu
menghasilkan modal.
Pertama
adalah menjadikan aset sebagai potensi ekonomi (menemukan aspek yang
amat produktif dari kepemilikan). Kedua, menyatukan informasi yang
terserak dalam satu sistem (masyarakat memperoleh gambaran tentang
kualitas aset yang tersedia). Ketiga, membuat masyarakat bertanggung
jawab (berani melakukan sesuatu yang penuh resiko). Keempat, membuat
aset segar (kemampuan mentransformasikan aset menjadi lebih produktif).
Kelima, menciptakan jaringan rakyat (organisasi keuangan dapat
mengidentifikasi kebenaran informasi potensi aset calon debitor dalam
jumlah besar). Keenam, melindungi transaksi (dokumen kepemilikan
memegang peranan penting dalam perlindungan transaksi).
Cara
di atas, yaitu pembentukan modal, mungkin belum bisa menjadi solusi
jangka pendek yang diperlukan untuk menata masalah ekonomi. Sementara,
penanganan cadangan devisa yang benar menjadi sangat penting jika
Indonesia benar-benar ingin keluar dari program kerja sama dengan IMF.
Namun, mampukan pemerintah mengelola cadangan devisa dengan baik? Ini
mengingat sistem nilai tukar mengambang bebas membutuhkan kestabilan
(politik, sosial dan ekonomi), dan rejim devisa bebas akan menggoda
larinya devisa. Jika pemerintah mampu mengelola cadangan devisa dengan
baik, dimana indikator ekonomi yang disebutkan di atas cenderung
mendukung, bukan tidak mungkin akan mampu keluar dari program kerja sama
dengan IMF.
Berdasarkan
hasil studi yang dilakukan oleh 23 ahli dan pengambil keputusan dari
AS, Australia, Jepang, Prancis, Thailand, Korea Selatan, Swiss dan
Luksemburg, mereka merekomendasikan agar negara-negara di Asia Tenggara
bersama Cina, Jepang dan Korea Selatan sebaiknya membentuk dana bersama
dari cadangan devisa mereka yang sangat besar guna menangkan munculnya
krisis keuangan regional (Kompas, 11/11/2003).
2 Januari 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar