Jumat, 02 Januari 2004

Mampukah Indonesia Keluar dari Program Kerjasama IMF?

Oleh Erwin FS

Salah satu keputusan penting yang dihasilkan dari penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR RI 2002 lalu adalah Ketetapan MPR yang mengamanatkan kepada pemerintah untuk keluar dari program IMF pada akhir 2003. Keberadaan IMF semenjak 31 Oktober 1997 hingga kini dirasakan belum memberikan pengaruh signifikan kepada pemulihan ekonomi Indonesia.  

Implementasi dari mandat itu adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerja Sama dengan IMF. Inpres tersebut menjelaskan adanya tiga sasaran pokok yang akan dicapai oleh pemerintah yaitu: memelihara dan memantapkan stabilitas ekonomi makro; melanjutkan restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan; dan meningkatkan investasi, ekspor dan penciptaan kesempatan kerja (Adiningsih, 2003).
Keluarnya Indonesia dari program IMF akan menimbulkan implikasi yang mesti ditanggung. Salah satu di antaranya adalah tidak ada lagi fasilitas Paris Club untuk melakukan rescheduling utang luar negeri, dan disamping itu Indonesia harus membayar hutang luar negeri baik pokok maupun bunganya yang berjumlah  Rp 44,9 triliun dan defisit neraca pembayaran sebesar US$ 1,5 milyar pada 2004 (Media Indonesia, 23/10/2003).
Meskipun demikian, menjelang berakhirnya program kerjasama dengan IMF pada 31 Desember 2003, kondisi makro ekonomi Indonesia nampak relatif stabil. Hal ini dapat dilihat dari suku bunga SBI yang berada pada kisaran 8-9 persen, inflasi dibawah 3 persen (hingga September 2003), nilai kurs rupiah terhadap dolar AS pada kisaran 8000an.
Selain itu sudah ada upaya meningkatkan penerimaan dari pajak dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan HAM pada 23 Juni 2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (gijzeling) (Adiningsih, 2003). SKB ini diharapkan mampu meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, terutama dari wajib pajak yang memiliki nominal kewajiban pajak dalam jumlah besar.
Pemerintah juga telah menambah jumlah wajib pajak baru sebanyak 43.962 wajib pajak selama September-Oktober 2003, dimana 29.966 merupakan wajib pajak pribadi dan 13.996 merupakan wajib pajak badan. Pemerintah mentargetkan jumlah wajib pajak pribadi sebanyak 60.000 dan wajib pajak badan sebanyak 50.000 hingga Desember 2003 (Media Indonesia, 05/11/2003).
Disamping itu, Konferensi Tingkat Menteri Perdagangan V Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Cancun, Meksiko, 14 September 2003 yang gagal menghasilkan kesepakatan deklarasi tentang berbagai isu perdagangan internasional memberikan dampak psikologis dalam membangun posisi tawar Indonesia (maupun negara berkembang) mengatasi masalah perdagangan internasional maupun pertanian yang merupakan basis ekonomi rakyat.
Namun, masalah pengangguran dan kemiskinan masih menjadi masalah serius yang dihadapi Indonesia pada masa mendatang. Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan berada pada kisaran 4-5 persen masih belum bisa menyerap pencari kerja yang berjumlah sekitar 2,5 juta jiwa. Jumlah sebanyak itu baru bisa diserap jika pertumbuhan mencapai kisaran 7 persen.

Cadangan Devisa

Salah satu masalah terpenting yang menyebabkan masuknya IMF ke Indonesia dengan program Extended Fund Facility (EFF) adalah posisi cadangan devisa yang berada pada posisi rawan. Kwik Kian Gie (2003) menyebut angka 14,7 milyar dolar AS pada waktu Indonesia meminta bantuan IMF pada 1998.
Dengan demikian, cadangan devisa harus mendapat perhatian yang penting dari pemerintah mengingat pada saat ini Indonesia memakai sistem nilai tukar mengambang bebas dan rejim devisa bebas yang sangat rawan akan volatilitas nilai tukar maupun pelarian modal keluar negeri. Meskipun pada saat ini rupiah berada pada posisi yang stabil, bukan berarti ini akan langgeng. Semenjak masa kepemimpinan Soeharto sampai Megawati sudah terjadi beberapa kali gejolak nilai tukar yang cukup membuat cemas pelaku ekonomi. Gejolak ini sangat mempengaruhi permintaan dan penawaran uang, terutama dolar AS. Spekulasi yang masih tinggi akan mempengaruhi posisi nilai tukar yang berimbas kepada posisi cadangan devisa. Keadaan menjelang pemilu 2004 bukan tidak mungkin membuat gejolak akibat peristiwa maupun berita, dimana ini merupakan karakeristik sistem nilai tukar mengambang bebas.
Fluktuasi cadangan devisa dapat merupakan representasi dari fluktuasi neraca pembayaran. Pendekatan yang melihat neraca pembayaran sebagai suatu fenomena moneter dikenal dengan pendekatan moneter terhadap neraca pembayaran. Pendekatan moneter memusatkan perhatian pada cadangan devisa (Djiwandono, 1980).
Menurut pendekatan moneter, sumber penyebab ketidakseimbangan neraca pembayaran luar negeri adalah ketidakseimbangan di pasar uang. Perubahan stok jumlah uang beredar berasal dari dua sumber. Pertama dari ekspansi kredit dalam negeri sektor perbankan. Kedua, dari hasil penjualan komoditi ekspor ataupun penjualan surat berharga lainnya di dalam negeri yang dikonversikan kedalam mata uang nasional oleh otoritas moneter. Dari kedua sumber tersebut, hanya sumber pertama yang dapat langsung dikontrol oleh otoritas moneter. Sedangkan yang langsung mempengaruhi neraca pembayaran adalah sumber kedua (Nasution, 1987).
Berdasarkan keseimbangan penawaran dan permintaan uang, cadangan devisa dipengaruhi oleh pendapatan nasional, harga, tingkat bunga, multiplier uang dan kredit domestik yang dikeluarkan bank sentral (Safra, 2000). Dengan demikian, untuk mengamankan cadangan devisa, faktor-faktor yang mempengaruhi di atas perlu diperhatikan. Dua faktor di atas, inflasi maupun suku bunga SBI pada saat ini berada pada kondisi yang relatif bagus dalam mendukung cadangan devisa. Ini perlu dipertahankan mengingat dampak dari kenaikan dua unsur ini akan mempengaruhi perekonomian.
Sementara, penjualan komoditi ekspor menurut pendekatan moneter tidak dapat langsung dikontrol oleh pemerintah, padahal ia berpengaruh langsung terhadap neraca pembayaran. Hal ini menunjukkan pentingnya peran pemerintah dalam mengawasi aktivitas ekspor guna meningkatkan penerimaan cadangan devisa, apalagi penyelundupan keluar negeri. Disamping itu, pemerintah juga perlu mendorong aktivitas ekspor dengan menciptakan iklim yang kondusif. Sementara impor juga perlu mendapat perhatian juga karena ini turut menyedot cadangan devisa kita. Liberalisasi perdagangan yang mendorong aktivitas impor pada beberapa bagiannya bukan saja berakibat kepada cadangan devisa, akan tetapi merusak keseimbangan dalam negeri. Ini bisa dilihat pada kasus impor gula maupun beras.
Namun demikian, selain menggunakan pendekatan di atas dalam mengamankan cadangan devisa, ada cara lain untuk melakukan pengamanan terhadap cadangan devisa yang dilakukan tidak secara langsung, namun melalui medium antara, yaitu melalui pembentukan modal di dalam negeri. Selama ini kebanyakan masyarakat tidak mampu membentuk modal karena kesulitan mengakumulasi modal atau belum memiliki cara yang baik dalam membentuk modal. Hal ini berpengaruh terhadap pembentukan pendapatan nasional secara keseluruhan.
Menurut J Harvey (Santosa, 2003), negara-negara dunia ketiga memiliki sumber daya alam dan tenaga kerja yang melimpah, namun tidak memiliki cukup modal. Hernando de Soto (Ibid) melihat kepemilikan sah di Barat menghasilkan enam pengaruh yang memungkinkan rakyat di negara maju mampu menghasilkan modal.
Pertama adalah menjadikan aset sebagai potensi ekonomi (menemukan aspek yang amat produktif dari kepemilikan). Kedua, menyatukan informasi yang terserak dalam satu sistem (masyarakat memperoleh gambaran tentang kualitas aset yang tersedia). Ketiga, membuat masyarakat bertanggung jawab (berani melakukan sesuatu yang penuh resiko). Keempat, membuat aset segar (kemampuan mentransformasikan aset menjadi lebih produktif). Kelima, menciptakan jaringan rakyat (organisasi keuangan dapat mengidentifikasi kebenaran informasi potensi aset calon debitor dalam jumlah besar). Keenam, melindungi transaksi (dokumen kepemilikan memegang peranan penting dalam perlindungan transaksi).
Cara di atas, yaitu pembentukan modal, mungkin belum bisa menjadi solusi jangka pendek yang diperlukan untuk menata masalah ekonomi. Sementara, penanganan cadangan devisa yang benar menjadi sangat penting jika Indonesia benar-benar ingin keluar dari program kerja sama dengan IMF. Namun, mampukan pemerintah mengelola cadangan devisa dengan baik? Ini mengingat sistem nilai tukar mengambang bebas membutuhkan kestabilan (politik, sosial dan ekonomi), dan rejim devisa bebas akan menggoda larinya devisa. Jika pemerintah mampu mengelola cadangan devisa dengan baik, dimana indikator ekonomi yang disebutkan di atas cenderung mendukung, bukan tidak mungkin akan mampu keluar dari program kerja sama dengan IMF.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh 23 ahli dan pengambil keputusan dari AS, Australia, Jepang, Prancis, Thailand, Korea Selatan, Swiss dan Luksemburg, mereka merekomendasikan agar negara-negara di Asia Tenggara bersama Cina, Jepang dan Korea Selatan sebaiknya membentuk dana bersama dari cadangan devisa mereka yang sangat besar guna menangkan munculnya krisis keuangan regional (Kompas, 11/11/2003).
2 Januari 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post