Senin, 29 Desember 2003

Meningkatkan Fungsi Intermediasi Bank Syariah

Oleh Erwin FS


Bank syariah lambat laun makin dikenal masyarakat, baik karena bertambahnya bank syariah, unit layanan syariah, pembukaan kantor cabang baru maupun berita di berbagai media yang menyorot kinerja bank syariah. Bertambahnya aset bank syariah juga merupakan salah satu bukti bahwa semakin banyak masyarakat yang mengenal dan sekaligus menjadi nasabah bank syariah.

Bank syariah sebagai lembaga intermediasi antara pemilik modal dan pencari dana telah menunjukkan indikator yang baik, yaitu dengan financing to deposit melewati angka 100 persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah dana yang disimpan nasabah masih kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan para pencari dana.
Namun ini bukan berarti bahwa fungsi intermediasi bank syariah telah berjalan maksimal. Fungsi intermediasi bank syariah tidak terlepas dari implementasi untuk mencapai maqasid syariah. Bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah senantiasa memiliki kaitan erat dengan umat sehingga fungsi intermediasinya pun akan berbeda dengan bank konvensional. Umer Chapra menyatakan bahwa orientasi dari bank syariah tidak semata untuk mencapai keuntungan tapi terkait erat dengan sasaran sosioekonomi Islam.
Ada sedikitnya tiga hal yang bisa dimaksimalkan oleh bank syariah terkait dengan fungsi intermediasinya. Pertama adalah meningkatkan intermediasi dalam akad-akad pembiayaan bank syariah. Misalnya saja, akad murabahah akan maksimal bila pemasok maupun pembeli berhasil membangun jaringan. Jaringan akan terbangun bila bank mampu mempertemukan pemasok yang ingin menjual produknya dengan pembeli yang membutuhkan produk dari pemasok. Ini terjadi bila pembeli yang meminta pembiayaan kepada bank syariah tidak diserahkan uang, tetapi bank yang mencari produk yang dibutuhkan pembeli sehingga bank menemukan pemasoknya. Bila ini terjadi maka akselerasi di sektor riil terjadi karena terdapatnya transaksi dan pembentukan jaringan. Pangsa pembiayaan murabahah bank syariah yang mencapai 72,17% berdasarkan statistik BI per April 2003 menggambarkan bahwa maksimalisasi fungsi intermediasi bank syariah berpotensi signifikan terhadap sektor riil.
Hal yang kedua adalah masalah penyaluran zakat, infak dan sadaqah (ZIS). Nasabah bank syariah (baik individu maupun perusahaan) sebagian akan membayar ZIS mereka ke bank syariah, baik melalui proses pembayaran langsung maupun akibat akumulasi simpanan yang telah mencukupi nisab untuk terkena zakat. Disamping itu bank syariah sendiri juga akan mengeluarkan zakatnya bila mendapatkan penerimaan dan keuntungan. Pembentukan lembaga pengelola ZIS di bank syariah tidak terelakkan lagi.
Umer Chapra menerangkan bahwa akses keuangan bagi kaum miskin ke perbankan sangat sulit, baik karena masalah jaminan maupun hal lainnya. Padahal sangat mungkin mereka akan mampu melunasi pinjaman tersebut. Dengan demikian, peran lembaga pengelola ZIS di bank syariah kepada kaum miskin ini akan mampu membantu kesulitan kaum miskin kepada akses keuangan untuk menjalankan usaha.
Menurut Edi Suharto (2003), paradigma baru kemiskinan memandang bahwa orang miskin memiliki potensi (sekecil apapun) untuk mengatasi kemiskinannya. Hal ini lebih memandang “apa yang dimiliki orang miskin” ketimbang “apa yang tidak dimiliki oleh orang miskin”. Disamping itu konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang lebih lengkap dibanding konsep pendapatan (income) dalam memandang kondisi dan dinamika kemiskinan.
Hal yang ketiga adalah mempertemukan nasabah dengan kaum dhuafa. Hal ini mirip dengan poin kedua, namun cakupannya bisa lebih luas lagi. Bila pada poin kedua yang menjadi topik utama adalah pada masalah keuangan dan pembiayaan usaha, maka pada poin ketiga ini tidak terbatas pada masalah keuangan. Hal ini bisa berupa aliran barang. Jika diasumsikan nasabah bank syariah memiliki barang-barang bekas yang masih layak pakai dan telah memiliki barang baru sebagai penggantinya, maka barang-barang layak pakai ini bisa disalurkan kepada kaum dhuafa dimana bank syariah menjadi perantaranya. Aksi semacam ini pernah dilakukan oleh sebuah parpol Islam dan mendapat respon yang cukup baik. Mereka mengadakan bazar dengan harga yang sangat murah, sampai-sampai seorang anak kecil yang memiliki uang seratus rupiah bisa mendapatkan sebuah tas sekolah yang masih layak pakai. Di Perancis, barang-barang yang sudah lama namun masih layak pakai diletakkan di depan rumah untuk diambil oleh siapa saja yang mau. Sementara tuan rumah akan mengisi rumahnya dengan barang yang baru.
Poin ketiga ini memang tidak bersifat memberdayakan kaum dhuafa, tetapi salah satunya lebih tertuju kepada masalah aliran inventory dalam masyarakat muslim dan masalah memaksimalkan nilai guna barang. Namun dampaknya sangat membantu sekali. Nasabah bank syariah juga akan terbantu dengan peran intermediasi bank syariah sehingga semangat sosial yang ada pada nasabah bisa teraktualisasikan dengan baik. Lebih dari itu, kaum dhuafa juga akan melihat nasabah maupun bank syariah sebagai kelompok yang peduli dengan nasib mereka dimana selama ini citra bank secara umum adalah berpihak kepada golongan kaya dan dalam berbagai iklannya mempersembahkan berbagai hadiah mewah.  
Tiga poin di atas mengenai fungsi intermediasi bank syariah dalam jangka panjang diharapkan akan mampu mencapai sasaran sosioekonomi Islam dimana menurut Umar Chapra akan terintegrasi nilai keduniaan dengan nilai spiritualitas sehingga berpengaruh terhadap moral individu dan masyarakat.
29 Desember 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post