Senin, 01 Desember 2003

RAPBN 2004 dan Perbaikan Nasib Nelayan

Oleh Erwin FS

RAPBN 2004 yang telah diumumkan pemerintah pada 15 Agustus 2004 lalu mengundang berbagai tanggapan dari berbagai pihak. Sebagian menyatakan bahwa RAPBN 2004 realistis namun tidak mencerahkan. Pendapat ini didukung data bahwa terdapat porsi pembayaran cicilan bunga hutang yang cukup besar sejumlah 68,5 triliun rupiah. Jika setengahnya saja dipakai untuk membiayai sektor pendidikan, kesehatan dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), tentu akan berpengaruh signifikan terhadap pemulihan ekonomi dan peningkatan kualitas manusia Indonesia. Sementara itu, subsidi juga mengalami penurunan dibanding APBN 2003, yaitu dari 25,5 triliun menjadi 23,3 triliun.

Pada sisi penerimaan, nampak pemerintah berusaha meningkatkan penerimaan pajak dari 254,2 triliun pada APBN 2003 menjadi 271 triliun untuk RAPBN 2004. Sementara pada penerimaan negara bukan pajak terjadi penurunan dari 82 triliun (APBN 2003) menjadi 72,2 triliun (RAPBN 2004). Pada penerimaan negara bukan pajak, penerimaan sumber daya alam juga mengalami penurunan dari 59,4 triliun (APBN 2003) menjadi 44,8 triliun (RAPBN 2004).
Penerimaan sumber daya alam terdiri dari minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Penerimaan minyak bumi, gas alam, pertambangan umum dan kehutanan pada RAPBN 2004 mengalami penurunan dibandingkan APBN 2003. Sementara penerimaan perikanan tidak berubah antara APBN 2003 dan RAPBN 2004 yaitu sebesar 450 miliar.
Dibanding penerimaan minyak bumi, gas alam, pertambangan umum maupun kehutanan, sektor perikanan terbilang kecil. Padahal potensi sektor perikanan sangat menjanjikan. Penerimaan minyak bumi, gas alam, pertambangan umum dan kehutanan berturut-turut dalam RAPBN 2004 (dalam triliun rupiah) adalah 44,82; 26,59; 15,18 dan 1,6.
Sementara itu, anggaran yang dikeluarkan untuk sektor kelautan dan perikanan  dalam RAPBN 2004 adalah 88 miliar (pengeluaran rutin) dan 1 triliun (pengeluaran pembangunan). Pengeluaran rutin adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai tugas-tugas umum pemerintahan dan kegiatan operasional pemerintah pusat. Sementara pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai  proyek-proyek pembangunan yang dibebankan pada anggaran belanja pemerintah pusat. 
Minimnya penerimaan dari sektor perikanan menandakan bahwa perhatian pemerintah terhadap nelayan juga masih minim. Padahal tidak kurang dari 2 juta nelayan menggantungkan nasibnya dari sektor perikanan. Disamping hal di atas, nelayan juga dirugikan dengan perusakan terumbu karang.
Dengan plafon 5,1 juta ton JTB (Jumlah Tangkap yang di-Boleh-kan) dari 6,4 juta ton potensi terbarui sumber daya ikan yang ditetapkan pemerintah, yang mampu dieksplorasi baru 79,3 persen atau sekitar 4 juta ton. Sebagian dari jumlah itu yang bisa dinikmati optimal pun terbanyak oleh nelayan asing. Itu termasuk yang dicuri. Inilah konsekuensi dari keunggulan operasi kapal canggih nelayan asing (Pilars, No.22 Tahun VI, 8-14 September 2002).
Jika diasumsikan harga ekspor 1 kg ikan laut beku hanya dua dolar, maka nilai dari empat juta ton total ikan yang sudah dieksplorasi, bisa diperoleh devisa setara delapan miliar dolar AS (ibid).
Melihat hal demikian, bank syariah berpeluang untuk memberikan pembiayaan kepada nelayan guna meningkatkan pendapatan mereka. Selama ini, nelayan mengalami kesulitan akses permodalan sehingga hasil yang mereka peroleh pun belum maksimal. Padahal, kekayaan laut (terutama ikan) adalah sumber daya alam yang terbarukan yang mampu menghasilkan pendapatan bagi nelayan maupun meningkatkan penerimaan bagi negara. Sumber daya alam yang terbarukan adalah harapan bagi pemerintah untuk mendapatkan penerimaan negara, karena sumber daya yang tidak terbarukan akan habis dan tidak bisa diproduksi lagi.
Disamping bank syariah, lembaga pengelola zakat bisa membantu kehidupan keluarga nelayan yang umumnya masih memperihatinkan, terutama untuk pendidikan dan kesehatan. Paduan kedua lembaga ini, bank syariah dan lembaga pengelola zakat,  diharapkan menghasilkan output yang memenuhi sasaran sosioekonomi Islam.
Nelayan dalam kehidupan kesehariannya adalah sebuah komunitas yang memiliki solidaritas sosial yang relatif tinggi. Kehidupan keseharian di laut lepas yang bebas membentuk karakter tersendiri bagi mereka. Hal ini membutuhkan pendekatan tertentu sehingga bantuan dari kedua lembaga di atas bisa dirasakan oleh mereka. Adanya solidaritas sosial di dalam komunitas nelayan bisa dijadikan modal untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi mereka.
Tulisan ini mengacu kepada RAPBN 2004 yang belum direvisi
1 Desember 2003



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post