RAPBN 2004 yang telah diumumkan pemerintah pada 15 Agustus 2004 lalu mengundang berbagai tanggapan dari berbagai pihak. Sebagian menyatakan bahwa RAPBN 2004 realistis namun tidak mencerahkan. Pendapat ini didukung data bahwa terdapat porsi pembayaran cicilan bunga hutang yang cukup besar sejumlah 68,5 triliun rupiah. Jika setengahnya saja dipakai untuk membiayai sektor pendidikan, kesehatan dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), tentu akan berpengaruh signifikan terhadap pemulihan ekonomi dan peningkatan kualitas manusia Indonesia. Sementara itu, subsidi juga mengalami penurunan dibanding APBN 2003, yaitu dari 25,5 triliun menjadi 23,3 triliun.
Pada sisi penerimaan, nampak pemerintah berusaha meningkatkan penerimaan
pajak dari 254,2 triliun pada APBN 2003 menjadi 271 triliun untuk RAPBN 2004.
Sementara pada penerimaan negara bukan pajak terjadi penurunan dari 82 triliun
(APBN 2003) menjadi 72,2 triliun (RAPBN 2004). Pada penerimaan negara bukan
pajak, penerimaan sumber daya alam juga mengalami penurunan dari 59,4 triliun
(APBN 2003) menjadi 44,8 triliun (RAPBN 2004).
Penerimaan sumber daya alam terdiri dari minyak bumi, gas alam,
pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Penerimaan minyak bumi, gas alam,
pertambangan umum dan kehutanan pada RAPBN 2004 mengalami penurunan
dibandingkan APBN 2003. Sementara penerimaan perikanan tidak berubah antara
APBN 2003 dan RAPBN 2004 yaitu sebesar 450 miliar.
Dibanding penerimaan minyak bumi, gas alam, pertambangan umum maupun
kehutanan, sektor perikanan terbilang kecil. Padahal potensi sektor perikanan
sangat menjanjikan. Penerimaan minyak bumi, gas alam, pertambangan umum dan
kehutanan berturut-turut dalam RAPBN 2004 (dalam triliun rupiah) adalah 44,82;
26,59; 15,18 dan 1,6.
Sementara itu, anggaran yang dikeluarkan untuk sektor kelautan dan
perikanan dalam RAPBN 2004 adalah 88 miliar (pengeluaran rutin) dan
1 triliun (pengeluaran pembangunan). Pengeluaran rutin adalah semua pengeluaran
negara untuk membiayai tugas-tugas umum pemerintahan dan kegiatan operasional
pemerintah pusat. Sementara pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran
negara untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang dibebankan
pada anggaran belanja pemerintah pusat.
Minimnya penerimaan dari sektor perikanan menandakan bahwa perhatian
pemerintah terhadap nelayan juga masih minim. Padahal tidak kurang dari 2 juta
nelayan menggantungkan nasibnya dari sektor perikanan. Disamping hal di atas,
nelayan juga dirugikan dengan perusakan terumbu karang.
Dengan plafon 5,1 juta ton JTB (Jumlah Tangkap yang di-Boleh-kan) dari 6,4
juta ton potensi terbarui sumber daya ikan yang ditetapkan pemerintah, yang
mampu dieksplorasi baru 79,3 persen atau sekitar 4 juta ton. Sebagian dari
jumlah itu yang bisa dinikmati optimal pun terbanyak oleh nelayan asing. Itu
termasuk yang dicuri. Inilah konsekuensi dari keunggulan operasi kapal canggih
nelayan asing (Pilars, No.22 Tahun VI, 8-14 September 2002).
Jika diasumsikan harga ekspor 1 kg ikan laut beku hanya dua dolar, maka
nilai dari empat juta ton total ikan yang sudah dieksplorasi, bisa diperoleh
devisa setara delapan miliar dolar AS (ibid).
Melihat hal demikian, bank syariah berpeluang untuk memberikan pembiayaan
kepada nelayan guna meningkatkan pendapatan mereka. Selama ini, nelayan
mengalami kesulitan akses permodalan sehingga hasil yang mereka peroleh pun
belum maksimal. Padahal, kekayaan laut (terutama ikan) adalah sumber daya alam
yang terbarukan yang mampu menghasilkan pendapatan bagi nelayan maupun
meningkatkan penerimaan bagi negara. Sumber daya alam yang terbarukan adalah
harapan bagi pemerintah untuk mendapatkan penerimaan negara, karena sumber daya
yang tidak terbarukan akan habis dan tidak bisa diproduksi lagi.
Disamping bank syariah, lembaga pengelola zakat bisa membantu kehidupan
keluarga nelayan yang umumnya masih memperihatinkan, terutama untuk pendidikan
dan kesehatan. Paduan kedua lembaga ini, bank syariah dan lembaga pengelola
zakat, diharapkan menghasilkan output yang memenuhi sasaran
sosioekonomi Islam.
Nelayan dalam kehidupan kesehariannya adalah sebuah komunitas yang memiliki
solidaritas sosial yang relatif tinggi. Kehidupan keseharian di laut lepas yang
bebas membentuk karakter tersendiri bagi mereka. Hal ini membutuhkan pendekatan
tertentu sehingga bantuan dari kedua lembaga di atas bisa dirasakan oleh
mereka. Adanya solidaritas sosial di dalam komunitas nelayan bisa dijadikan
modal untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi mereka.
Tulisan ini mengacu kepada RAPBN 2004 yang belum direvisi
1 Desember 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar