Jumat, 07 November 2003

Reposisi Pemuda dalam Wacana Kebangsaan dan Survivalitas Ekonomi

Oleh Erwin FS

Mungkin belum banyak orang yang mengetahui bahwa sumpah pemuda memungkinkan dicetuskan oleh pemuda setelah dibentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI sendiri terbentuk dari hasil rapat nasional Partai Sarekat Islam Indonesia di Kediri pada 27-30 September 1928. Peran ulama pada masa pergerakan nasional (1900-1942) memang sangat menentukan, karena tanpa penerimaan dari ulama, rakyat tidak akan mudah menerima hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas perjuangan (lihat A Mansur Suryanegara, 1995).


Bahasa Indonesia yang diikrarkan pemuda sebagai bahasa persatuan merupakan rentetan panjang dari masuknya Islam ke tanah air. Sebelum bahasa Indonesia terbentuk, bahasa melayu telah lebih dahulu menjadi bahasa komunikasi. George Mc Turnan Kahin menyatakan bahwa bahasa melayu merupakan bahasa pembangkit kejiwaan yang sangat ampuh bagi umat Islam dalam melahirkan aspirasi perjuangan nasionalnya (ibid).
Peran pemuda Islam pada saat itu memberikan kontribusi besar kepada pergerakan nasional. Warna Islam yang kental dalam perjuangan mereka tidak membuat terjadinya disintegrasi maupun rasa  rendah diri dari umat Islam. Bahkan Bung Tomo, salah satu tokoh peristiwa 10 Nopember 1945 berujar bahwa jika tidak ada kalimat “Allahu Akbar”, dengan apa lagi dia mampu membangkitkan semangat rakyat Surabaya untuk melawan sekutu. Kisah heroik 10 Nopember tersebut menghasilkan prestasi terbunuhnya seorang jenderal Inggris, sebuah kejadian yang sangat langka dalam peperangan sekutu.
Warna Islam pada masa pergerakan nasional yang mampu memberikan inspirasi para pemuda untuk membangkitkan kesadaran nasionalnya serasa tinggal kenangan. Pada saat ini Islam telah berubah menjadi sesuatu yang menakutkan masyarakat dan tidak mampu menjadi inspirasi bagi kesadaran kebangkitan dari krisis nasional.
Potret tersebut menyiratkan bahwa pergantian zaman ternyata menghendaki perubahan metode bagi para pemuda untuk membangkitkan kesadaran di masyarakat. Informasi yang bisa diakses dengan cepat dan mengglobal telah membentuk sikap masyarakat terhadap bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur yang terkait agama. Tak heran bila ajakan para aktivis muda Islam ke masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai tiang utama dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun bernegara tidak sedikit yang menimbulkan antipati masyarakat. Ini bukan lantaran masyarakat yang tak mau diajak, namun lebih kepada pola, metode dan pendekatan yang belum bisa menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi masyarakat yang terintegrasi dengan perkembangan informasi.
Evaluasi bagi para pemuda yang ingin mengajak masyarakat untuk kembali bangkit dengan berlandaskan agama adalah pentingnya menghargai nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Pemuda yang memiliki semangat bergelora terkadang berpikir bahwa masyarakat memiliki pikiran yang sama dengan dirinya sehingga bila ia mengatakan sesuatu maka masyarakat akan menerima dan mengikuti.
Masyarakat pada saat ini berbeda dengan masyarakat pada masa pergerakan nasional. Penghormatan masyarakat terhadap ulama demikian tinggi pada masa pergerakan nasional, sementara pada masa sekarang ulama tidak lagi menjadi indikator bagi sebuah aktivitas yang menentukan kehidupan bangsa ini. Hal ini dimungkinkan akibat proses sekulerisasi yang terjadi selama ini sehingga perbedaan situasi dan kondisi telah menyebabkan masyarakat tercerabut dari akarnya.
Demikan pula halnya dengan sosok pemuda Bung Tomo yang menggelorakan masyarakat dengan ucapan ‘Allahu Akbar’, pada saat ini mustahil masyarakat akan termotivasi bila mendengarkan ucapan seperti itu karena perubahan situasi dan kondisi menuntut perubahan pendekatan untuk menyampaikan substansi yang sama.  Jika ada, maka jumlahnya tidak begitu banyak.
Pada saat ini masyarakat tengah mengalami kesulitan yang memprihatinkan, terutama di sisi ekonomi dan moral. Pemuda dituntut untuk menyuarakan kegelisahan masyarakat dengan pendekatan yang dapat diterima oleh penguasa maupun masyarakat. Pendekatan yang salah bukan saja akan ditolak oleh penguasa, akan tetapi bisa tidak mendapat dukungan masyarakat.
Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat membutuhkan peran pemuda untuk menyuarakannya. Tanpa mengurangi rasa keIslaman, warna kebangsaan yang bersifat universal dapat menjadi sebuah pendekatan bagi pemuda untuk mengkritik penguasa yang pada saat ini kehilangan nurani untuk menyelamatkan rakyat dan bangsa.
Semangat kebangsaan pemuda dituntut untuk berpihak kepada masyarakat dimana pada saat ini begitu banyak kekuatan sosial politik yang sudah diantipati rakyat. Dengan demikian, jika pemuda terjebak kepada agenda kelompok politik tertentu, maka bukan tidak mungkin masyarakat akan menolaknya dan pemuda gagal menyampaikan keluhan masyarakat kepada penguasa maupun kepada publik.
Jika pada masa pergerakan nasional, pemuda mampu mengajak masyarakat untuk melawan penjajah dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang memiliki semangat nilai universal, maka pada saat ini pemuda mengkritisi penguasa dengan membawa persoalan-persoalan dasar yang dihadapi oleh masyarakat. Hal mendasar itu di antaranya adalah masalah ekonomi yang berkaitan dengan kelangsungan hidup masyarakat. Masyarakat akan mendukung pemuda yang menyuarakan kegelisahan mereka.
Sementara jika pemuda mengusung masalah yang lebih advance, misalnya masalah pergantian kekuasaan, disamping kebanyakan masyarakat tidak peduli dengan hal itu, masyarakat tidak akan memberikan dukungan karena problem utama mereka masih seputar masalah ekonomi, disamping masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat secara umum.
Masalah kenegarawanan dan kebangsaan pemuda pada saat ini diuji dengan problema yang dihadapi oleh masyarakat banyak. Masalah politik dan kekuasaan di satu sisi sangat menarik untuk disuarakan oleh pemuda, namun melihat kondisi saat ini masalah ekonomi tidak kalah pentingnya. Para penguasa maju pun perlu memberikan perlakuan ekonomi khusus kepada rakyatnya agar tercipta kestabilan di dalam negerinya. Sementara pemerintahan di negara berkembang umumnya bersikap sebaliknya terhadap ekonomi rakyat secara umum. Pemuda memiliki peranan untuk mengkritisinya.
Survivalitas Ekonomi
Disamping hal di atas, pemuda juga dituntut mampu mensikapi perubahan ekonomi global yang mengarah kepada penguasaan sumber-sumber daya di negara berkembang oleh para pengusaha negara maju dengan harga murah.
Pemuda dituntut memiliki jiwa survivalitas ekonomi, baik dalam wacana maupun rencana aksi kongkrit. Perekonomian yang sudah tergantung hutang pada saat ini telah membuat perekonomian menjadi sangat liberal sebagai kompensasi pemberian bantuan oleh pihak donor. Liberalisasi telah melumpuhkan sendi-sendi perekonomian masyarakat banyak. Masyarakat tidak mampu mengakumulasi modal, hanya sekedar mempertahankan hidup, sehingga gagal meningkatkan mutu kehidupan mereka.
Survivalitas ekonomi mengendaki tumbuhnya jiwa kewirausahaan dan kesederhanaan. Jiwa kesederhanaan yang dimaksud adalah tidak menjadi tergantung dengan hutang, namun realistis dan optimis terhadap usaha sendiri yang maksimal. Hal ini perlu dilakukan pemuda karena sebagai agen perubah yang akan menjadi pengganti rejim penguasa, jiwa survivalitas ekonomi akan memupuk rasa ketekunan, kesabaran dan empati dalam mengelola ekonomi dan diharapkan mampu menghilangkan mental ketergantungan kepada orang maupun bangsa lain. Inilah reposisi yang diperlukan pemuda pada saat ini di tengah menguatnya ego kelompok, dominasi ekonomi kaum kapitalis dan krisis ekonomi.
Tulisan ini dalam rangka menyambut Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan
7 Nopember 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post