Tahun
ajaran baru adalah masa kembali ke sekolah setelah sebelumnya para siswa
menikmati liburan panjang. Tahun ajaran baru juga merupakan harapan baru bagi
mereka yang baru saja memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Para orang tua pun senang karena anak-anak
mereka kini berada di jenjang yang lebih tinggi dari sebelumnya. Kegembiraan
orang tua akan pendidikan yang dicapai anaknya tidak dapat dibandingkan dengan
faktor materi.
Potret
di atas mungkin hanya bisa dilihat sebelum terjadinya krisis ekonomi dan
reformasi. Pada saat ini keadaan sudah berubah jauh. Biaya pendidikan sudah
sedemikian mahalnya bagi masyarakat kebanyakan, dan ini berlaku dari jenjang TK
hingga Perguruan Tinggi. Biaya yang diperlukan untuk daftar ulang saja sudah
mencekik leher, apalagi biaya yang diperlukan untuk memasuki SD, SMP, SMA
ataupun perguruan tinggi yang jumlahnya konon sudah berbilang jutaan.
Para
orang tua yang sebagian besar penghasilan mereka pas-pasan akibat krisis dan
inflasi umumnya menghadapi kesulitan dalam memenuhi biaya pendidikan anak-anak
mereka. Pikiran pragmatis bisa saja menghinggapi para orang tua sehingga mereka
bisa melakukan tindakan tertentu guna memenuhi kebutuhan anak-anak mereka.
Namun tindakan tertentu itu bisa menjadi hal yang berdampak negatif kepada hal
yang lain. Apalagi di masa krisis seperti saat ini. Mereka berpikir, daripada
anak-anak mereka tidak sekolah lebih baik melakukan sesuatu yang berisiko
asalkan mendapatkan uang. Pemikiran semacam ini tentu tidak semuanya
menghinggapi pikiran para orang tua, namun sangat mungkin terjadi.
Fungsi
Sosial Bank Syariah
Bank
syariah memiliki kemampuan memberi solusi bagi para orang tua yang kesulitan
dalam memenuhi dana pendidikan anaknya di tahun ajaran baru. Bank syariah
memiliki fungsi sosial selain sebagai penghasil profit dan lembaga
intermediasi.
Bank
syariah dapat membantu kesulitan para orang tua siswa dengan memberikan
berbagai produk inovasi yang telah mendapat fatwa dari Dewan Syariah Nasional
(DSN) yang berarti tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Salah
satu inovasi yang mungkin dilakukan menurut penulis adalah dengan meluncurkan
produk yang berfungsi seperti kartu kredit namun bebas bunga ataupun mark
up. Bagi orang tua yang menjadi anggota dari produk tersebut atau pemegang
kartu dapat menikmati fasilitas pengambilan uang tunai dengan limit tertentu.
Pengambilan tunai yang dilakukan menjelang tahun ajaran baru ini merupakan
pinjaman yang dapat dicicil dalam jangka waktu tertentu tanpa dikenakan margin
atau bunga (seperti dalam bank konvensional).
Pengambilan
uang tunai tersebut dilakukan dengan kartu yang telah dibuat dan diambil pada
ATM atau kantor bank syariah yang bersangkutan. Namun untuk menjadi pemegang
kartu, orang tua diharuskan mendaftar dimana di sini mereka dikenakan biaya administrasi
dan pembuatan kartu serta iuran tahunan.
Bank
syariah dapat mengambil keuntungan dari iuran tahunan, sementara uang tunai
yang dipinjamkan kepada anggota akan dikembalikan sesuai dengan jumlah yang
dipinjam dalam jangka waktu tertentu. Peluncuran produk ini tentu saja
memerlukan persiapan dan ketelitian serta kehati-hatian. Dengan demikian, bank
syariah telah menjalankan fungsi sosialnya sekaligus mendapat keuntungan.
Pendapat
penulis di atas memang perlu diteliti ulang karena ada juga pendapat yang
menyatakan bahwa akad yang dilakukan dalam tolong menolong (non profit) tidak
bisa bercampur dengan akad jual beli (yang menghasilkan keuntungan). Namun
substansi yang penulis ingin sampaikan adalah bahwa diperlukan
inovasi yang terus menerus dari bank syariah guna mengakomodasi
berbagai permasalahan umat dalam hal keuangan yang kian kompleks.
Inovasi bank syariah di sektor pendidikan merupakan hal
penting karena pendidikan merupakan jalan membangun human capital (modal
manusia) dan sekaligus social capital(modal sosial). Sebagai human
capital, pendidikan akan membentuk watak dan pola pikir individu dimana hal
ini akan memberi pengaruh kepada masyarakat di sekitar individu itu berada dan
juga sebagai penghasil pendapatan bagi dirinya. Sebagai social capital,
pendidikan akan membentuk masyarakat yang berperadaban dimana human
capital dansocial capital ini diuraikan Al Quran
sebagai khairu ummah, yaitu umat yang mengajak kepada kebaikan
dan menolak kepada kemungkaran.
Sebagai informasi, menurut Repeta 2003, pada tahun 2000
jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak atau belum menamatkan Sekolah
Dasar berjumlah sekitar 34,56 persen. Sedangkan yang menamatkan pendidikan SLTA
ke atas hanya sekitar 18,7 persen, dan dari yang telah menamatkan SLTA hanya sekitar
1,7 persen yang menamatkan pendidikan setingkat univesitas. Adapun 87,5%
penduduk usia 19-24 tahun diketahui tidak dapat melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi.
Data di atas secara implisit menerangkan kepada kita
bahwa dengan semakin meningkatnya biaya pendidikan, maka kemungkinan akan
semakin bertambah orang yang tidak atau belum menamatkan SD, dan akan semakin
sedikit jumlah penduduk yang menamatkan SLTA. Apalagi mereka yang tidak dapat
melanjutkan ke perguruan tinggi, tentu akan semakin bertambah pula. Mampukah
bank syariah menjadi bagian dari solusi masalah umat di sektor pendidikan ini? Mari
kita tunggu. Wallahu a’lam.
Tulisan ini dimuat di Republika, 18 Agustus
2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar