Senin, 18 Agustus 2003

Menanti Inovasi Bank Syariah di Sektor Pendidikan

Oleh Erwin FS

Tahun ajaran baru adalah masa kembali ke sekolah setelah sebelumnya para siswa menikmati liburan panjang. Tahun ajaran baru juga merupakan harapan baru bagi mereka yang baru saja memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Para orang tua pun senang karena anak-anak mereka kini berada di jenjang yang lebih tinggi dari sebelumnya. Kegembiraan orang tua akan pendidikan yang dicapai anaknya tidak dapat dibandingkan dengan faktor materi.

Potret di atas mungkin hanya bisa dilihat sebelum terjadinya krisis ekonomi dan reformasi. Pada saat ini keadaan sudah berubah jauh. Biaya pendidikan sudah sedemikian mahalnya bagi masyarakat kebanyakan, dan ini berlaku dari jenjang TK hingga Perguruan Tinggi. Biaya yang diperlukan untuk daftar ulang saja sudah mencekik leher, apalagi biaya yang diperlukan untuk memasuki SD, SMP, SMA ataupun perguruan tinggi yang jumlahnya konon sudah berbilang jutaan.
Para orang tua yang sebagian besar penghasilan mereka pas-pasan akibat krisis dan inflasi umumnya menghadapi kesulitan dalam memenuhi biaya pendidikan anak-anak mereka. Pikiran pragmatis bisa saja menghinggapi para orang tua sehingga mereka bisa melakukan tindakan tertentu guna memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Namun tindakan tertentu itu bisa menjadi hal yang berdampak negatif kepada hal yang lain. Apalagi di masa krisis seperti saat ini. Mereka berpikir, daripada anak-anak mereka tidak sekolah lebih baik melakukan sesuatu yang berisiko asalkan mendapatkan uang. Pemikiran semacam ini tentu tidak semuanya menghinggapi pikiran para orang tua, namun sangat mungkin terjadi.
Fungsi Sosial Bank Syariah
Bank syariah memiliki kemampuan memberi solusi bagi para orang tua yang kesulitan dalam memenuhi dana pendidikan anaknya di tahun ajaran baru. Bank syariah memiliki fungsi sosial selain sebagai penghasil profit dan lembaga intermediasi.
Bank syariah dapat membantu kesulitan para orang tua siswa dengan memberikan berbagai produk inovasi yang telah mendapat fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) yang berarti tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Salah satu inovasi yang mungkin dilakukan menurut penulis adalah dengan meluncurkan produk yang berfungsi seperti kartu kredit namun bebas bunga ataupun mark up. Bagi orang tua yang menjadi anggota dari produk tersebut atau pemegang kartu dapat menikmati fasilitas pengambilan uang tunai dengan limit tertentu. Pengambilan tunai yang dilakukan menjelang tahun ajaran baru ini merupakan pinjaman yang dapat dicicil dalam jangka waktu tertentu tanpa dikenakan margin atau bunga (seperti dalam bank konvensional).
Pengambilan uang tunai tersebut dilakukan dengan kartu yang telah dibuat dan diambil pada ATM atau kantor bank syariah yang bersangkutan. Namun untuk menjadi pemegang kartu, orang tua diharuskan mendaftar dimana di sini mereka dikenakan biaya administrasi dan pembuatan kartu serta iuran tahunan.
Bank syariah dapat mengambil keuntungan dari iuran tahunan, sementara uang tunai yang dipinjamkan kepada anggota akan dikembalikan sesuai dengan jumlah yang dipinjam dalam jangka waktu tertentu. Peluncuran produk ini tentu saja memerlukan persiapan dan ketelitian serta kehati-hatian. Dengan demikian, bank syariah telah menjalankan fungsi sosialnya sekaligus mendapat keuntungan.
Pendapat penulis di atas memang perlu diteliti ulang karena ada juga pendapat yang menyatakan bahwa akad yang dilakukan dalam tolong menolong (non profit) tidak bisa bercampur dengan akad jual beli (yang menghasilkan keuntungan). Namun substansi yang penulis ingin sampaikan adalah bahwa diperlukan inovasi  yang terus menerus dari bank syariah guna mengakomodasi berbagai permasalahan umat dalam hal keuangan yang kian kompleks.
Inovasi bank syariah di sektor pendidikan merupakan hal penting karena pendidikan merupakan jalan membangun human capital (modal manusia) dan sekaligus social capital(modal sosial). Sebagai human capital, pendidikan akan membentuk watak dan pola pikir individu dimana hal ini akan memberi pengaruh kepada masyarakat di sekitar individu itu berada dan juga sebagai penghasil pendapatan bagi dirinya. Sebagai social capital, pendidikan akan membentuk masyarakat yang berperadaban dimana human capital dansocial capital ini diuraikan Al Quran sebagai khairu ummah, yaitu umat yang mengajak kepada kebaikan dan menolak kepada kemungkaran.
Sebagai informasi, menurut Repeta 2003, pada tahun 2000 jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak atau belum menamatkan Sekolah Dasar berjumlah sekitar 34,56 persen. Sedangkan yang menamatkan pendidikan SLTA ke atas hanya sekitar 18,7 persen, dan dari yang telah menamatkan SLTA hanya sekitar 1,7 persen yang menamatkan pendidikan setingkat univesitas. Adapun 87,5% penduduk usia 19-24 tahun diketahui tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Data di atas secara implisit menerangkan kepada kita bahwa dengan semakin meningkatnya biaya pendidikan, maka kemungkinan akan semakin bertambah orang yang tidak atau belum menamatkan SD, dan akan semakin sedikit jumlah penduduk yang menamatkan SLTA. Apalagi mereka yang tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, tentu akan semakin bertambah pula. Mampukah bank syariah menjadi bagian dari solusi masalah umat di sektor pendidikan ini? Mari kita tunggu. Wallahu a’lam.
Tulisan ini dimuat di Republika, 18 Agustus 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post