Selasa, 26 Agustus 2003

Enam Tahun Krisis Ekonomi: Catatan untuk Partai Islam

Oleh Erwin FS


Enam tahun yang lalu, tepatnya 14 Agustus 1997, Indonesia memasuki sejarah baru penerapan sistem nilai tukarnya. Sistem mengambang terkendali (managed floating system) yang sebelumnya mampu menjaga kestabilan ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi badai spekulasi dan efek domino dari negara tetangga. Akhirnya sistem nilai tukar mengambang bebas (floating system) pun menggantikannya. Sistem mengambang bebas merupakan sistem yang paling liberal karena nilai tukar suatu mata uang ditentukan dari penawaran dan permintaan yang terjadi di pasar uang. Penerapannya di Indonesia justru terjadi di masa krisis ekonomi.

Semenjak penerapan sistem nilai tukar baru tersebut, berbagai kejadian mewarnai kehidupan ekonomi Indonesia. Inflasi cenderung mendekati posisi hiper inflasi (bottle neck). Penimbunan merajalela, fluktuasi harga mengejutkan masyrakat karena daya beli riilnya jauh menurun.
Kemudian di sekitar akhir 1997 dan awal 1998, IMF memasuki Indonesia dengan memberikan resep yang sangat pahit. Satu di antaranya adalah kenaikan harga BBM. Mahasiswa dan masyarakat mulai menggeliat terhadap kenaikan harga BBM ini. Kelanjutan dari masalah ini adalah permintaan agar Soeharto turun dari jabatannya.
Pergantian Soeharto dengan Habibie membuka celah kebebasan dan demokratisasi yang sampai sekarang masih kebablasan. Namun ekonomi juga belum membaik. Pergantian oleh Gus Dur dan Megawati ternyata tidak merubah kondisi ekonomi, bahkan kerap terjadi kenaikan harga. Disamping itu hutang kelompok swasta beralih menjadi hutang pemerintah. Sementara IMF justru semakin mencengkeramkan kukunya. Reformasi  ekonomi yang dimotori IMF justru menguras kekayaan negara dan menyengsarakan rakyat.
Sebelum terjadinya krisis, Indonesia dikenal sebagai new emerging giant dan tergolong negara yang memiliki daya saing tinggi serta sempat dijuluki sebagai keajaiban Asia. Namun krisis telah merubah semuanya. Bangunan ekonomi Indonesia ambruk dan yang paling tertimpa adalah rakyat kecil, bahkan saat ini masih bisa dilihat dan dirasakan.
Sementara itu, pemilu 1999 telah memunculkan berbagai partai politik, terutama parpol Islam. Akibat euforia dan keran kebebasan, partai Islam tumbuh banyak, namun sedikit memperoleh suara. Sedikitnya suara mereka ini berpengaruh terhadap peta politik dan kebijakan. Hal ini sedikit banyaknya menimbulkan disorientasi dan kekalahan secara psikologis. Sayangnya masalah ini kian berlarut akibat kuatnya kaum status quo bermain di gelanggang politik. Umat Islam yang telah lama dikebiri hak berpolitiknya turut mempengaruhi perolehan suara partai Islam.
Akibat kuatnya partai di luar partai Islam, posisi tawar partai Islam belum mampu memberikan warna secara signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik di panggung politik maupun dalam kebijakan ekonomi. Ibaratnya partai Islam sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pembelaan terhadap umat Islam pun semakin tidak kelihatan sosoknya, terutama yang terkait dengan kondisi ekonomi rakyat.
Disamping secara politik partai Islam belum mampu memiliki posisi tawar yang kuat, dalam kebijakan ekonomipun hampir senantiasa mengalami benturan dalam menghadapi berbagai kebijakan ekonomi yang sangat liberal. Akibat liberalisasi di sektor ekonomi ini, peran para pemilik modal mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah yang berujung kepada bertambahnya kesengsaraan rakyat. Terakhir kita menyaksikan nasib petani yang menghadapi impor terbuka dan penjualan aset-aset negara.
Namun demikian, sepanjang terjadinya krisis hingga saat ini, ada arus ekonomi baru yang memperlihatkan indikator positif dalam kehidupan ekonomi. Ia adalah arus ekonomi syariah. Berkembangnya lembaga keuangan syariah yang diikuti dengan kenaikan total aset dan persentase pembiayaan ini terjadi di saat kondisi ekonomi mengalami ketidakpastian dan ketidakstabilan. Sebenarnya momen untuk memulihkan ekonomi sempat ada, terutama di tahun 2002. Namun momen ini justru lebih berpihak kepada sektor ekonomi syariah.
Berkembangnya sektor ekonomi syariah merupakan fenomena baru karena gerakan ini secara umum muncul dari bawah dimana usaha kecil menengah (UKM) maupun usaha mikro turut berkembang dengan peran serta lembaga keuangan syariah. Disamping itu peran lembaga pengelola zakat turut membantu berkembangnya sektor ekonomi syariah ini.
Sayangnya progresivitas sektor ekonomi syariah ini belum mendapatkan sokongan sepenuhnya dari partai Islam, baik dalam bentuk usulan terbentuknya UU yang menjadi payung hukum lembaga keuangan syariah maupun lobi-lobi kepada pemerintah guna melakukan deregulasi untuk sektor ekonomi syariah.

Reformasi Ekonomi

Reformasi ekonomi yang telah berjalan selama ini tidak menghasilkan secara signifikan pengaruhnya terhadap sektor riil. Untuk itu, melakukan reformasi ekonomi dengan mendukung keberadaan sektor ekonomi syariah adalah upaya alternatif yang bisa digulirkan oleh partai Islam. Partai Islam perlu diingatkan bahwa belum kuatnya posisi tawar mereka di panggung politik bukan berarti tidak bisa memperbaiki nasib rakyat. Dukungan kepada sektor ekonomi syariah adalah salah satu jalan untuk memperbaiki nasib ekonomi rakyat.
Kelebihan dari sektor ekonomi syariah ini adalah adanya dewan syariah nasional (DSN) yang menjadi pengawas secara nasional dan juga memiliki wewenang pembuatan fatwa maupun dewan pengawas syariah yang berada dalam struktur lembaga keuangan syariah. Dengan keberadaan mereka, moral hazard dapat ditekan dan kepercayaan (trust) masyarakat akan semakin meningkat.
Sementara yang terjadi di sektor ekonomi konvensional adalah berkembangnya spekulasi, pelanggaran, penipuan dan saling jegal yang membuat kondisi semakin tidak menentu. Perbankan pun belum berani memberikan kreditnya untuk investasi. Mereka lebih cenderung menyimpan di BI, bermain di pasar uang atau mengeluarkan kredit konsumtif. Perbankan memiliki trauma terhadap pelanggaran batas maksimal pemberian kredit (BMPK) maupunmoral hazard lainnya.
Dukungan total partai Islam kepada sektor ekonomi syariah merupakan kebijakan the second best, karena seharusnya yang utama dilakukan partai Islam adalah memperbaiki ekonomi nasional. Namun the second best ini akan menjadi best choice manakala indikator sektor ekonomi syariah semakin menunjukkan grafik yang membaik, terutama kepada masyarakat menengah bawah.
Dukungan dari Bank Indonesia telah diaplikasikan langsung oleh Gubernurnya, Burhanudin Harahap.  Dukungan riil dari otoritas moneter ini harus disambut oleh partai Islam, karena ini adalah peluang emas untuk memulihkan kondisi ekonomi rakyat. Partai Islam boleh bertambah banyak, namun sebaiknya tidak lupa akan kondisi ekonomi rakyat. Reformasi ekonomi yang dimotori IMF telah gagal. Kini reformasi ekonomi melalui sektor ekonomi syariah  adalah peluang emas yang harus digarap.

Catatan

Partai Islam yang memasuki babak baru kehidupan politik (semenjak tumbangnya Soeharto), pada periode 1999-2003 belum memberi pengaruh kepada kepada kondisi ekonomi rakyat. Padahal, hal ini merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh siapapun untuk melanjutkan kehidupannya. Pada pemilu 2004 nanti, ada baiknya diingatkan agar bagaimanapun kondisinya, partai Islam harus tetap memberikan kontribusi riil bagi perbaikan kondisi ekonomi rakyat. Sektor ekonomi syariah adalah ruang yang dapat digunakan oleh partai Islam untuk mendukung kebijakan the second best agar nasib rakyat tetap mengalami perbaikan, betapapun kecilnya. Adanya the second best ini adalah jalan keluar yang kongkrit bila reformasi ekonomi yang bercorak liberal dan penuh moral hazard mewarnai kepemimpinan nasional pasca pemilu 2004.
Tulisan ini dimuat di Saksi No.23 Tahun V, 26 Agustus 2003, dan merupakan tulisan asli yang belum diedit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post