Beberapa
waktu lalu digelar sebuah perhelatan besar yang membicarakan mengenai zakat.
Perhelatan itu bernama Mukernas ke-3 Forum Zakat yang diselenggarakan di Balikpapan. Tema dari acara tersebut adalah
mengenai amandemen UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
Eri Sudewo dalam tulisannya di Republika (23/5) berupaya
mengkritisi UU zakat tersebut. Beberapa di antaranya adalah mengenai
sosialisasi dan implementasi, klausul yang mengabaikan kebutuhan masyarakat,
ketidakpedulian masyarakat, peran ustadz, sanksi bagi muslim kaya, peran
pemerintah dan persoalan lainnya.
Salah satu yang dirasa memperlemah keberadaan UU Zakat
adalah peran pemerintah yang teramat minim dalam memandang UU tersebut. Eri
Sudewo menyatakan bahwa pemerintah memandang UU Zakat dengan sebelah mata dan
dengan sorot mata 5 watt. Sebuah ungkapan yang menerangkan bagaimana minimnya
peran pemerintah. Padahal hal ini sangat memungkinkan menjadi alternatif bagi
upaya pemulihan ekonomi masyarakat.
Bila dilihat, sebenarnya zakat merupakan hajat hidup
masyarakat banyak, yaitu untuk umat Islam yang jumlahnya mayoritas di negeri
ini dimana ia bisa menghasilkan multiplier effectbagi ekonomi
secara umum. Bagi muslim yang kaya, hajat untuk membayar zakat merupakan
perintah dan kewajiban, seperti halnya perintah shalat, dan upaya untuk
mensucikan harta. Sementara bagi muslim yang tergolong sebagai penerima zakat,
sebenarnya jumlah mereka banyak dan sangat membutuhkan zakat tersebut, hanya
saja ada sebagian yang tidak terjangkau oleh lembaga amil zakat atau tidak
mampu mendapatkan akses ke lembaga amil zakat.
Minimnya sosialisasi UU Zakat yang seharusnya menjadi
kewajiban dari instansi terkait di pemerintahan sebenarnya tidak aneh jika kita
melihat bagaimana sosialisasi kenaikan harga BBM dan TDL. BBM dan TDL merupakan
hajat hidup orang banyak, namun setiap pemberlakuan kenaikannya jarang
didahului atau disertai sosialisasi yang memadai sehingga hal ini sangat
merugikan masyarakat. Jika kenaikan harga BBM harus melalui Keppres dimana
tingkatan Keppres lebih rendah daripada UU, maka bisa dibayangkan bagaimana
dengan sosialisasi UU Zakat.
Namun demikian, sebagai umat Islam, kita dituntut untuk
selalu berusaha mencari jalan keluar agar keberadaan UU Zakat lambat laun mampu
diketahui oleh masyarakat. Salah satu cara untuk mensosialisasikan UU Zakat
tersebut adalah dengan melakukan kerjasama dengan masjid-masjid. Misalnya saja
untuk khutbah Jum’at yang dilakukan empat kali dalam satu bulan, satu kali di
antara khutbah tersebut bertemakan tentang zakat. Biaya untuk khatib dan
pengadaan khatib ditanggung oleh lembaga pengelola zakat guna mencapai sasaran
yang dikehendaki.
Disamping itu lembaga pengelola zakat dapat bekerja sama
dengan organisasi Islam yang anggotanya banyak melakukan kegiatan ceramah agama
dimana lembaga pengelola zakat bisa memberikan pelatihan singkat mengenai zakat
dan UU Zakat
Upaya seperti ini boleh dibilang masih dalam skala
terbatas jika melihat jumlah jangkauannya. Namun, setidaknya sudah ada upaya
kongkrit dalam melakukan sosialisasi UU Zakat, karena jika tidak dilakukan sama
sekali tentunya akan lebih tidak baik lagi.
Sebenarnya sudah terlihat pula adanya stasiun televisi
yang bekerjasama dengan lembaga pengelola zakat berupaya untuk membuat tayangan
mengenai peran zakat. Namun hal itu tentu saja belum maksimal. Hal-hal lain
yang menunjang bagi tersampaikannya ihwal zakat ini akan lebih membantu
sosialisasi mengenai zakat.
Di
sebagian kalangan masyarakat, muncul skeptisme melihat peran pemerintah yang
minim dalam mensosialisasikan UU Zakat. Skeptisme ini sebenarnya bisa dirubah
bila ada semacam lobi intensif yang dilakukan kepada para penentu kebijakan. Para penentu kebijakan mungkin ada yang belum
pernah mendengar penjelasan tentang masalah zakat ataupun UU Zakat dari para
lembaga pengelola zakat. Siapa tahu jika sudah mendapat penjelasan dari para
pelaku di lapangan, para penentu kebijakan itu akan mempertimbangkannya. Bahkan
ada kemungkinan dilakukan amandemen terhadap UU Zakat tersebut.
Seperti
diketahui, proses pembuatan UU zakat tersebut biasanya melalui proses di DPR.
Dalam proses tersebut DPR memanggil para stake holder yang
terkait dengan masalah zakat untuk dimintai tanggapannya mengenai
RUU tentang zakat. UU Zakat yang telah ditetapkan merupakan hasil
dari pembicaraan dan masukan dari berbagai pihak yang mungkin pada saat itu
masih terbatas. Dengan adanya amandemen UU Zakat, maka parastake holder yang
belum dilibatkan dalam proses pembuatannya akan dilibatkan untuk dimintai
komentarnya, atau bisa juga stake holder yang pernah terlibat
dimintai kembali komentarnya untuk perbaikan UU Zakat. Insya Allah hal ini akan
menghasilkan UU zakat yang lebih komprehensif. Setelah itu, tentu saja
sosialisasi menjadi penting artinya dalam upaya menyebarkan kebaikan di tengah
masyarakat yang tengah dilanda krisis ekonomi yang kian memburuk. Dan peran
lobi kembali menjadi kebutuhan untuk melakukan hal ini guna mencapai hal yang
optimal.
Tulisan
ini dimuat di Republika, 14 Juli 2003, dan merupakan tulisan asli yang belum
diedit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar