Senin, 14 Juli 2003

Sosialisasi UU Zakat

Oleh Erwin FS

Beberapa waktu lalu digelar sebuah perhelatan besar yang membicarakan mengenai zakat. Perhelatan itu bernama Mukernas ke-3 Forum Zakat yang diselenggarakan di Balikpapan. Tema dari acara tersebut adalah mengenai amandemen UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.

Eri Sudewo dalam tulisannya di Republika (23/5) berupaya mengkritisi UU zakat tersebut. Beberapa di antaranya adalah mengenai sosialisasi dan implementasi, klausul yang mengabaikan kebutuhan masyarakat, ketidakpedulian masyarakat, peran ustadz, sanksi bagi muslim kaya, peran pemerintah dan persoalan lainnya. 
Salah satu yang dirasa memperlemah keberadaan UU Zakat adalah peran pemerintah yang teramat minim dalam memandang UU tersebut. Eri Sudewo menyatakan bahwa pemerintah memandang UU Zakat dengan sebelah mata dan dengan sorot mata 5 watt. Sebuah ungkapan yang menerangkan bagaimana minimnya peran pemerintah. Padahal hal ini sangat memungkinkan menjadi alternatif bagi upaya pemulihan ekonomi masyarakat.
Bila dilihat, sebenarnya zakat merupakan hajat hidup masyarakat banyak, yaitu untuk umat Islam yang jumlahnya mayoritas di negeri ini dimana ia bisa menghasilkan multiplier effectbagi ekonomi secara umum. Bagi muslim yang kaya, hajat untuk membayar zakat merupakan perintah dan kewajiban, seperti halnya perintah shalat, dan upaya untuk mensucikan harta. Sementara bagi muslim yang tergolong sebagai penerima zakat, sebenarnya jumlah mereka banyak dan sangat membutuhkan zakat tersebut, hanya saja ada sebagian yang tidak terjangkau oleh lembaga amil zakat atau tidak mampu mendapatkan akses ke lembaga amil zakat.
Minimnya sosialisasi UU Zakat yang seharusnya menjadi kewajiban dari instansi terkait di pemerintahan sebenarnya tidak aneh jika kita melihat bagaimana sosialisasi kenaikan harga BBM dan TDL. BBM dan TDL merupakan hajat hidup orang banyak, namun setiap pemberlakuan kenaikannya jarang didahului atau disertai sosialisasi yang memadai sehingga hal ini sangat merugikan masyarakat. Jika kenaikan harga BBM harus melalui Keppres dimana tingkatan Keppres lebih rendah daripada UU, maka bisa dibayangkan bagaimana dengan sosialisasi UU Zakat.
Namun demikian, sebagai umat Islam, kita dituntut untuk selalu berusaha mencari jalan keluar agar keberadaan UU Zakat lambat laun mampu diketahui oleh masyarakat. Salah satu cara untuk mensosialisasikan UU Zakat tersebut adalah dengan melakukan kerjasama dengan masjid-masjid. Misalnya saja untuk khutbah Jum’at yang dilakukan empat kali dalam satu bulan, satu kali di antara khutbah tersebut bertemakan tentang zakat. Biaya untuk khatib dan pengadaan khatib ditanggung oleh lembaga pengelola zakat guna mencapai sasaran yang dikehendaki.
Disamping itu lembaga pengelola zakat dapat bekerja sama dengan organisasi Islam yang anggotanya banyak melakukan kegiatan ceramah agama dimana lembaga pengelola zakat bisa memberikan pelatihan singkat mengenai zakat dan UU Zakat
Upaya seperti ini boleh dibilang masih dalam skala terbatas jika melihat jumlah jangkauannya. Namun, setidaknya sudah ada upaya kongkrit dalam melakukan sosialisasi UU Zakat, karena jika tidak dilakukan sama sekali tentunya akan lebih tidak baik lagi.
Sebenarnya sudah terlihat pula adanya stasiun televisi yang bekerjasama dengan lembaga pengelola zakat berupaya untuk membuat tayangan mengenai peran zakat. Namun hal itu tentu saja belum maksimal. Hal-hal lain yang menunjang bagi tersampaikannya ihwal zakat ini akan lebih membantu sosialisasi mengenai zakat.
Di sebagian kalangan masyarakat, muncul skeptisme melihat peran pemerintah yang minim dalam mensosialisasikan UU Zakat. Skeptisme ini sebenarnya bisa dirubah bila ada semacam lobi intensif yang dilakukan kepada para penentu kebijakan. Para penentu kebijakan mungkin ada yang belum pernah mendengar penjelasan tentang masalah zakat ataupun UU Zakat dari para lembaga pengelola zakat. Siapa tahu jika sudah mendapat penjelasan dari para pelaku di lapangan, para penentu kebijakan itu akan mempertimbangkannya. Bahkan ada kemungkinan dilakukan amandemen terhadap UU Zakat tersebut. 
Seperti diketahui, proses pembuatan UU zakat tersebut biasanya melalui proses di DPR. Dalam proses tersebut DPR memanggil para stake holder yang terkait dengan masalah zakat untuk dimintai tanggapannya mengenai RUU  tentang zakat. UU Zakat yang telah ditetapkan merupakan hasil dari pembicaraan dan masukan dari berbagai pihak yang mungkin pada saat itu masih terbatas. Dengan adanya amandemen UU Zakat, maka parastake holder yang belum dilibatkan dalam proses pembuatannya akan dilibatkan untuk dimintai komentarnya, atau bisa juga stake holder yang pernah terlibat dimintai kembali komentarnya untuk perbaikan UU Zakat. Insya Allah hal ini akan menghasilkan UU zakat yang lebih komprehensif. Setelah itu, tentu saja sosialisasi menjadi penting artinya dalam upaya menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat yang tengah dilanda krisis ekonomi yang kian memburuk. Dan peran lobi kembali menjadi kebutuhan untuk melakukan hal ini guna mencapai hal yang optimal.
Tulisan ini dimuat di Republika, 14 Juli 2003, dan merupakan tulisan asli yang belum diedit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post