Dalam Muqadimah Ibnu Khaldun, diceritakan bahwa
sahabat berujar “Rasulullah merelakan Abu Bakar mengurusi urusan agama, kenapa
kami tidak menyetujui beliau mengurusi urusan dunia kami?”. Sebelumnya Abu
Bakar ditunjuk oleh Rasulullah SAW untuk menggantikannya memimpin shalat,
kemudian setelah wafat, Abu Bakar dibaiat untuk memimpin kamu muslimin.
Begitulah muslim generasi pertama memilih pemimpinnya. Ibnu Khaldun menguraikan
bahwa khalifah-khalifah pertama tidak pernah menyerahkan tugas imam shalat
kepada orang lain. Dan satu hal yang penting bahwa kenyataan ini menyiratkan
bahwa tingkatan shalat memiliki posisi yang tidak kalah tinggi dibandingkan
masalah kepemimpinan politik.
Bagi kita yang hidup di Indonesia pada saat ini dengan jumlah penduduk
muslim mayoritas, memilih pemimpin yang shalat di satu seperti sebuah utopia.
Jika ada kandidat pemimpin seperti itupun, masyarakat belum tentu akan
memilihnya karena watak tradisional sebagian masyarakat bahwa orang yang shalat
lebih baik tidak ikut campur dengan masalah politik dan kepemimpinan. Orang
yang shalat sebaiknya “hidup” di tempat-tempat ibadah saja. Ungkapan seperti
ini memang ironis, apalagi di tengah krisis kepemimpinan dan keteladanan yang
sangat parah.
Namun demikian, sebenarnya masyarakat
masih memiliki fitrah bahwa mereka senang akan hal-hal yang indah dan bersih,
termasuk memiliki pemimpin yang berakhlak. Sebagai contoh, masyarakat Amerika
yang dikenal sangat liberal dan permisif terhadap masalah seks, sangat
menentang keras kasus perselingkuhan Bill Clinton dengan Monica Lewinsky.
Mereka meskipun bisa dibilang amoral dalam masalah seks, masih memiliki fitrah
untuk memiliki pemimpin yang bersih.
Pada saat ini dimana sebagian parpol
tengah bersiap menghadapi pemilu 2004, menyuarakan agar memilih pemimpin yang
shalat adalah sebuah upaya untuk memperbaiki negara yang sudah memiliki
kerusakan parah. Adapun yang diartikan dengan ‘pemimpin yang shalat’ adalah
pemimpin yang senantiasa menyuarakan kebenaran dan memiliki tanggung jawab
terhadap nasib rakyat yang juga seimbang antara agama dan masalah dunia.
Di samping itu memilih pemimpin juga
tidak diharuskan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Rasulullah SAW tidak
menuntut kecerdasan yang luar biasa dari para pemimpin. Bahkan beliau bersabda,
“Ikutilah langkah orang yang paling lemah di antaramu”. Lemah di sini bukan
berarti tidak berdaya, tetapi dimaksudkan sebagai orang yang membela rakyat dan
memiliki kemurahan hati terhadap yang dipimpinnya.
Adapun pemimpin yang cerdas, menurut Ibnu
Khaldun cenderung membebani rakyatnya lebih daripada yang dapat mereka pikul,
dan dengan kecerdasan si pemimpin ia bisa melihat ke depan akibat perbuatan
atau keadaan yang semua itu membawa kerusakan kepada rakyat.
Pemimpin yang juga menjadi imam shalat
memiliki posisi tinggi dalam Islam. Dengan selalu memimpin shalat, ia akan
terhindar dari berbagai kerusakan yang memang menjadi tabiat buruk para
pemimpin. Disamping itu, pemimpin yang demikian mampu merubah citra bahwa
politik itu kotor. Jika politik kotor, maka logikanya rakyat tidak akan
pernah sejahtera. Namun jika pemimpin mampu merubah citra politik seperti itu,
maka ia akan dicintai rakyatnya, apalagi ia menjadi imam shalat.
Di tahun 2004, memilih pemimpin yang
demikian bukanlah suatu hal yang mustahil, apalagi semenjak kejatuhan Soeharto
para pemimpin semakin terlihat keburukannya dan semakin banyak rakyat yang
kritis terhadap mereka, disamping masih ada juga rakyat yang terpesona akan
faktor kharismatik yang itu bisa menyesatkan.
Di tengah kerusakan moral yang parah,
pemimpin yang menegakkan shalat dan bahkan menjadi imam shalat adalah ibarat
sebuah oase di padang pasir. Masalahnya, rakyat masih bersikap pragmatis bila
sudah menghadapi hari H pemilu. Dengan lembaran uang berbilang puluhan ribu,
mereka dapat diatur suaranya. Hal yang demikian membutuhkan sosialisasi
dari kaum muslimin yang sudah sadar akan hak-hak politik.
Jika dikaitkan dengan teori modal manusia
(human capital), sesungguhnya setiap individu memiliki tingkat pengembalian
(return) dari pendidikan yang dijalankannya, yaitu pengembalian individu (dalam
bentuk pendapatan) dan pengembalian sosial (pengaruh di masyarakat). Sebagai
muslim, sudah barang tentu tingkat pengembalian sosial harus mampu dirasakan di
masyarakat. Seorang muslim yang sarjana (atau telah mengecap tingkat pendidikan
tertentu) seharusnya mampu berkontribusi di masyarakat, baik dalam bentuk
tingkah laku (akhlak) maupun penyebaran
pemikiran.
Seorang pemimpin yang shalat dan bahkan
menjadi imam shalat pada dasarnya mampu menyebarkan pengaruh sosial yang bagus
kepada masyarakat. Pemimpin yang shalat dan mengimami shalat akan lebih terjauh
dari korupsi, sekandal, politik kotor dan berbagai tabiat kekuasaan yang
negatif.
Mungkin nanti akan ada pertanyaan, apakah
dengan kesibukannya dan tanggung jawabnya yang demikian besar, ia masih bisa
memimpin shalat. Jika ini yang ditanyakan, maka Rasulullah dan khalifah
generasi awal yang memiliki wilayah kekuasaan semakin luas adalah sebaik-baik
contoh. Mereka tetap menjaga shalatnya di satu sisi, dan di sisi lain rakyat
yang dipimpinnya mendapatkan kesejahteraan dan keamanan.
Yang perlu diubah adalah pola pikir
sebagian kaum muslimin yang masih alergi dengan pemimpin yang menampilkan sosok
akhlakul karimah. Dari fenomena yang ada, tidak sedikit dari mereka yang justru
berpikir lebih baik memilih pemimpin yang tidak berakhlakul karimah hanya
dengan pertimbangan subjektif dan terkena “alergi Islam”. Wallahu a’lam
2 Juni 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar