Senin, 02 Juni 2003

Memilih Pemimpin yang (Juga Memimpin) Sholat

Oleh Erwin FS


Dalam Muqadimah Ibnu Khaldun, diceritakan bahwa sahabat berujar “Rasulullah merelakan Abu Bakar mengurusi urusan agama, kenapa kami tidak menyetujui beliau mengurusi urusan dunia kami?”. Sebelumnya Abu Bakar ditunjuk oleh Rasulullah SAW untuk menggantikannya memimpin shalat, kemudian setelah wafat, Abu Bakar dibaiat untuk memimpin kamu muslimin. Begitulah muslim generasi pertama memilih pemimpinnya. Ibnu Khaldun menguraikan bahwa khalifah-khalifah pertama tidak pernah menyerahkan tugas imam shalat kepada orang lain. Dan satu hal yang penting bahwa kenyataan ini menyiratkan bahwa tingkatan shalat memiliki posisi yang tidak kalah tinggi dibandingkan masalah kepemimpinan politik.

Bagi kita yang hidup di Indonesia pada saat ini dengan jumlah penduduk muslim mayoritas, memilih pemimpin yang shalat di satu seperti sebuah utopia. Jika ada kandidat pemimpin seperti itupun, masyarakat belum tentu akan memilihnya karena watak tradisional sebagian masyarakat bahwa orang yang shalat lebih baik tidak ikut campur dengan masalah politik dan kepemimpinan. Orang yang shalat sebaiknya “hidup” di tempat-tempat ibadah saja. Ungkapan seperti ini memang ironis, apalagi di tengah krisis kepemimpinan dan keteladanan yang sangat parah.
Namun demikian, sebenarnya masyarakat masih memiliki fitrah bahwa mereka senang akan hal-hal yang indah dan bersih, termasuk memiliki pemimpin yang berakhlak. Sebagai contoh, masyarakat Amerika yang dikenal sangat liberal dan permisif terhadap masalah seks, sangat menentang keras kasus perselingkuhan Bill Clinton dengan Monica Lewinsky. Mereka meskipun bisa dibilang amoral dalam masalah seks, masih memiliki fitrah untuk memiliki pemimpin yang bersih.
Pada saat ini dimana sebagian parpol tengah bersiap menghadapi pemilu 2004, menyuarakan agar memilih pemimpin yang shalat adalah sebuah upaya untuk memperbaiki negara yang sudah memiliki kerusakan parah. Adapun yang diartikan dengan ‘pemimpin yang shalat’ adalah pemimpin yang senantiasa menyuarakan kebenaran dan memiliki tanggung jawab terhadap nasib rakyat yang juga seimbang antara agama dan masalah dunia.
Di samping itu memilih pemimpin juga tidak diharuskan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Rasulullah SAW tidak menuntut kecerdasan yang luar biasa dari para pemimpin. Bahkan beliau bersabda, “Ikutilah langkah orang yang paling lemah di antaramu”. Lemah di sini bukan berarti tidak berdaya, tetapi dimaksudkan sebagai orang yang membela rakyat dan memiliki kemurahan hati terhadap yang dipimpinnya.
Adapun pemimpin yang cerdas, menurut Ibnu Khaldun cenderung membebani rakyatnya lebih daripada yang dapat mereka pikul, dan dengan kecerdasan si pemimpin ia bisa melihat ke depan akibat perbuatan atau keadaan yang semua itu membawa kerusakan kepada rakyat.
Pemimpin yang juga menjadi imam shalat memiliki posisi tinggi dalam Islam. Dengan selalu memimpin shalat, ia akan terhindar dari berbagai kerusakan yang memang menjadi tabiat buruk para pemimpin. Disamping itu, pemimpin yang demikian mampu merubah citra bahwa politik itu kotor. Jika politik kotor, maka logikanya rakyat tidak akan pernah sejahtera. Namun jika pemimpin mampu merubah citra politik seperti itu, maka ia akan dicintai rakyatnya, apalagi ia menjadi imam shalat.
Di tahun 2004, memilih pemimpin yang demikian bukanlah suatu hal yang mustahil, apalagi semenjak kejatuhan Soeharto para pemimpin semakin terlihat keburukannya dan semakin banyak rakyat yang kritis terhadap mereka, disamping masih ada juga rakyat yang terpesona akan faktor kharismatik yang itu bisa menyesatkan.
Di tengah kerusakan moral yang parah, pemimpin yang menegakkan shalat dan bahkan menjadi imam shalat adalah ibarat sebuah oase di padang pasir. Masalahnya, rakyat masih bersikap pragmatis bila sudah menghadapi hari H pemilu. Dengan lembaran uang berbilang puluhan ribu, mereka dapat diatur suaranya. Hal yang demikian membutuhkan sosialisasi dari kaum muslimin yang sudah sadar akan hak-hak politik.
Jika dikaitkan dengan teori modal manusia (human capital), sesungguhnya setiap individu memiliki tingkat pengembalian (return) dari pendidikan yang dijalankannya, yaitu pengembalian individu (dalam bentuk pendapatan) dan pengembalian sosial (pengaruh di masyarakat). Sebagai muslim, sudah barang tentu tingkat pengembalian sosial harus mampu dirasakan di masyarakat. Seorang muslim yang sarjana (atau telah mengecap tingkat pendidikan tertentu) seharusnya mampu berkontribusi di masyarakat, baik dalam bentuk tingkah laku (akhlak) maupun penyebaran pemikiran.     
Seorang pemimpin yang shalat dan bahkan menjadi imam shalat pada dasarnya mampu menyebarkan pengaruh sosial yang bagus kepada masyarakat. Pemimpin yang shalat dan mengimami shalat akan lebih terjauh dari korupsi, sekandal, politik kotor dan berbagai tabiat kekuasaan yang negatif.
Mungkin nanti akan ada pertanyaan, apakah dengan kesibukannya dan tanggung jawabnya yang demikian besar, ia masih bisa memimpin shalat. Jika ini yang ditanyakan, maka Rasulullah dan khalifah generasi awal yang memiliki wilayah kekuasaan semakin luas adalah sebaik-baik contoh. Mereka tetap menjaga shalatnya di satu sisi, dan di sisi lain rakyat yang dipimpinnya mendapatkan kesejahteraan dan keamanan.
Yang perlu diubah adalah pola pikir sebagian kaum muslimin yang masih alergi dengan pemimpin yang menampilkan sosok akhlakul karimah. Dari fenomena yang ada, tidak sedikit dari mereka yang justru berpikir lebih baik memilih pemimpin yang tidak berakhlakul karimah hanya dengan pertimbangan subjektif dan terkena “alergi Islam”. Wallahu a’lam
2 Juni 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post