Sudah merupakan kenyataan yang tak terbantahkan
bahwa transportasi publik kondisinya sangat memprihatinkan, terutama terlihat
pada perilaku awak angkutan umum. Republika edisi 01/03/2003 memberitakan pernyataan
Dinas Perhubungan DKI Jakarta bahwa mayoritas sopir angkutan umum tak mahir
mengemudi. Hal ini tentu saja berimplikasi kepada perilaku para sopir angkutan
umum dan kenyamanan pengguna angkutan umum.
Buruknya
kualitas transportasi publik tersebut terlihat semakin cepat semenjak kejatuhan
Soeharto. Kebebasan yang disalah artikan telah menjadikan angkutan umum menjadi
raja jalanan. Lihat saja di Pasar Minggu bagaimana angkutan umum mencari
penumpang dengan menunggu di persimpangan lampu merah sehingga membuat macet. Demikian
pula di berbagai tempat dimana dalam kondisi lampu merah selalu diterjang
dengan gagah berani oleh para sopir angkutan umum tanpa peduli akan bahaya yang
menghadang. Para sopir tersebut terkesan tidak memiliki empati, bahkan
terkadang terlihat sebagai pembalap karbitan yang tak peduli dengan penumpang
yang menjadi tanggung jawabnya. Lebih ironis lagi yaitu angkutan umum menunggu
penumpang di dekat rel kereta api yang membuat kemaacetan luar biasa dan bisa
menyebabkan jantungan karena jika ada sinyal kereta akan lewat tetap tidak
dipedulikan sehingga menyebabkan kendaraan dibelakangnya bisa
terjebak di rel kereta api. Hal ini dapat disaksikan di daerah Kalibata.
Kerugian
yang diderita masyarakat secara non materi jauh lebih besar. Jika sedang
kebut-kebutan penumpang yang mau turun disuruh turun cepat-cepat tanpa peduli
melihat usia. Adapun jika tak ingin mengantar penumpang sampai akhir rute,
penumpang disuruh turun di tengah jalan seolah-olah menunjukkan perilaku semau
guenya.
Pada sisi
lain, daya angkut selalu dimaksimalkan sehingga melebihi kapasitas. Penumpang
menjadi benda mati yang harus siap ditumpuk laksana penimbunan barang. Sungguh
ironis. Sementara itu perbedaan kenyamanan antara bus reguler, patas maupun
patas AC hampir tidak ada karena kebijakan awak bus yang selalu menumpuk
penumpang sebanyak-banyaknya. Jika ingin masuk jalan tol dilakukan dengan
menyerobot dari depan pintu masuk yang mengakibatkan kemacetan di belakang.
Semua hal
itu adalah bagian kelam manajemen transportasi publik, meskipun keburukan tidak
dilakukan oleh semua awak angkutan umum. Namun demikian masalah yang sudah
semakin mencemaskan ini seharusnya memperoleh penanganan dari instansi terkait.
Jika didiamkan kelak akan menjadi bom waktu.
Masyarakat
yang paling dirugikanpun adalah mereka yang berpendapatan rendah (tidak untuk
menyebut menengah ke bawah). Sudahlah tarif angkutan naik terus menerus,
perlakuan yang diterima pun sering mengiris hati.
Parpol,
ormas maupun LSM sudah selayaknya menjadikan hal ini sebagai masalah yang
serius mengingat transportasi publik adalah kebutuhan vital masyarakat. Masyarakat
yang menderita selama ini dari pelayanan transportasi publik tersebut bukan
berarti sabar, hanya saja mungkin mereka tidak tahu kemana mengadukan
permasalahan mereka dan boleh jadi mereka telah skeptis bahwa akan mendapat
pertolongan dari instansi terkait.
Pemerintah harus
bisa menekan organisasi penyelenggara transportasi publik agar awaknya mampu
melakukan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Adapun korban jiwa yang jatuh
akibat perilaku awak angkutan umum juga sudah semakin banyak disamping korban
psikologis para penumpang. Transportasi adalah barang publik yang merupakan
tanggung jawab pemerintah menyediakannya, meskipun sebagian telah diserahkan ke
pihak swasta.
Salah satu cara mereduksi keburukan
transportasi publik adalah dengan melakukan proses rekrutmen awak angkutan yang
ketat dan selektif sehingga mampu memperbaiki citra transportasi publik.
Meskipun jika terlihat selintas bahwa umumnya sebagian awak angkutan umum
berpendidikan rendah, bukan berarti tidak mampu mengubah perilaku buruk.
Bukankah banyak juga orang yang berpendidikan tinggi tetapi menjadi penjarah
uang rakyat. Dengan demikian perbaikan ini merupakan harapan untuk
memperbaharui manajemen transportasi publik.
Disamping itu, penyediaan angkutan umum
oleh pemerintah semakin dirasa mendesak karena fenomenanya jumlah angkutan umum
seperti bus kota semakin menurun yang menyebabkan rute-rute tertentu tidak ada
yang mengisi. Hal lainnya adalah fenomena patas AC yang jumlahnya semakin
bertambah padahal ongkosnya relatif mahal bagi masyarakat kebanyakan, meskipun
bagi pengusaha angkutan hal ini mampu menghasilkan keuntungan.
Kenaikan harga BBM beberapa kali yang
terjadi di tahun 2002 lalu telah mengakibatkan kenaikan tarif angkutan umum
yang hampir mencekik leher bagi masyarakat kebanyakan.
Padahal angkutan umum adalah kebutuhan harian layaknya makanan.
Ironisnya tarif yang sudah mencekik itu ditemani dengan perilaku awak angkutan
umum yang menyebalkan, meskipun tidak semuanya. Kapankah masyarakat bisa
menikmati transportasi yang nyaman? Jika ada yang menjawab beli mobil pribadi
saja, tetap tidak akan nyaman karena di jalan akan berhadapan dengan raja
jalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar