Senin, 16 Juni 2003

Manajemen Transportasi Publik yang Buruk

Oleh Erwin FS

Sudah merupakan kenyataan yang tak terbantahkan bahwa transportasi publik kondisinya sangat memprihatinkan, terutama terlihat pada perilaku awak angkutan umum. Republika edisi 01/03/2003 memberitakan pernyataan Dinas Perhubungan DKI Jakarta bahwa mayoritas sopir angkutan umum tak mahir mengemudi. Hal ini tentu saja berimplikasi kepada perilaku para sopir angkutan umum dan kenyamanan pengguna angkutan umum. 

Berbagai pengalaman buruk para penumpang angkutan umum bahkan kerap masuk dalam rubrik surat pembaca atau menjadi berita surat kabar. Namun sampai saat ini hal tersebut tidak mampu diselesaikan. Bahkan salah satu organisasi transportasi publik semacam Organda pun hampir tidak pernah terdengar memperbaiki kualitas pelayanan anggotanya. Justru yang kerap terdengar adalah permintaan menaikkan tarif angkutan umum. Ini jelas merugikan publik dari hari ke hari.
Buruknya kualitas transportasi publik tersebut terlihat semakin cepat semenjak kejatuhan Soeharto. Kebebasan yang disalah artikan telah menjadikan angkutan umum menjadi raja jalanan. Lihat saja di Pasar Minggu bagaimana angkutan umum mencari penumpang dengan menunggu di persimpangan lampu merah sehingga membuat macet. Demikian pula di berbagai tempat dimana dalam kondisi lampu merah selalu diterjang dengan gagah berani oleh para sopir angkutan umum tanpa peduli akan bahaya yang menghadang. Para sopir tersebut terkesan tidak memiliki empati, bahkan terkadang terlihat sebagai pembalap karbitan yang tak peduli dengan penumpang yang menjadi tanggung jawabnya. Lebih ironis lagi yaitu angkutan umum menunggu penumpang di dekat rel kereta api yang membuat kemaacetan luar biasa dan bisa menyebabkan jantungan karena jika ada sinyal kereta akan lewat tetap tidak dipedulikan  sehingga menyebabkan kendaraan dibelakangnya bisa terjebak di rel kereta api. Hal ini dapat disaksikan di daerah Kalibata.
Kerugian yang diderita masyarakat secara non materi jauh lebih besar. Jika sedang kebut-kebutan penumpang yang mau turun disuruh turun cepat-cepat tanpa peduli melihat usia. Adapun jika tak ingin mengantar penumpang sampai akhir rute, penumpang disuruh turun di tengah jalan seolah-olah menunjukkan perilaku semau guenya.
Pada sisi lain, daya angkut selalu dimaksimalkan sehingga melebihi kapasitas. Penumpang menjadi benda mati yang harus siap ditumpuk laksana penimbunan barang. Sungguh ironis. Sementara itu perbedaan kenyamanan antara bus reguler, patas maupun patas AC hampir tidak ada karena kebijakan awak bus yang selalu menumpuk penumpang sebanyak-banyaknya. Jika ingin masuk jalan tol dilakukan dengan menyerobot dari depan pintu masuk yang mengakibatkan kemacetan di belakang.
Semua hal itu adalah bagian kelam manajemen transportasi publik, meskipun keburukan tidak dilakukan oleh semua awak angkutan umum. Namun demikian masalah yang sudah semakin mencemaskan ini seharusnya memperoleh penanganan dari instansi terkait. Jika didiamkan kelak akan menjadi bom waktu.
Masyarakat yang paling dirugikanpun adalah mereka yang berpendapatan rendah (tidak untuk menyebut menengah ke bawah). Sudahlah tarif angkutan naik terus menerus, perlakuan yang diterima pun sering mengiris hati.
Parpol, ormas maupun LSM sudah selayaknya menjadikan hal ini sebagai masalah yang serius mengingat transportasi publik adalah kebutuhan vital masyarakat. Masyarakat yang menderita selama ini dari pelayanan transportasi publik tersebut bukan berarti sabar, hanya saja mungkin mereka tidak tahu kemana mengadukan permasalahan mereka dan boleh jadi mereka telah skeptis bahwa akan mendapat pertolongan dari instansi terkait. 
Pemerintah  harus bisa menekan organisasi penyelenggara transportasi publik agar awaknya mampu melakukan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Adapun korban jiwa yang jatuh akibat perilaku awak angkutan umum juga sudah semakin banyak disamping korban psikologis para penumpang. Transportasi adalah barang publik yang merupakan tanggung jawab pemerintah menyediakannya, meskipun sebagian telah diserahkan ke pihak swasta.
Salah satu cara mereduksi keburukan transportasi publik adalah dengan melakukan proses rekrutmen awak angkutan yang ketat dan selektif sehingga mampu memperbaiki citra transportasi publik. Meskipun jika terlihat selintas bahwa umumnya sebagian awak angkutan umum berpendidikan rendah, bukan berarti tidak mampu mengubah perilaku buruk. Bukankah banyak juga orang yang berpendidikan tinggi tetapi menjadi penjarah uang rakyat. Dengan demikian perbaikan ini merupakan harapan untuk memperbaharui manajemen transportasi publik.
Disamping itu, penyediaan angkutan umum oleh pemerintah semakin dirasa mendesak karena fenomenanya jumlah angkutan umum seperti bus kota semakin menurun yang menyebabkan rute-rute tertentu tidak ada yang mengisi. Hal lainnya adalah fenomena patas AC yang jumlahnya semakin bertambah padahal ongkosnya relatif mahal bagi masyarakat kebanyakan, meskipun bagi pengusaha angkutan hal ini mampu menghasilkan keuntungan.
Kenaikan harga BBM beberapa kali yang terjadi di tahun 2002 lalu telah mengakibatkan kenaikan tarif angkutan umum yang hampir mencekik leher bagi masyarakat kebanyakan. Padahal  angkutan umum adalah kebutuhan harian layaknya makanan. Ironisnya tarif yang sudah mencekik itu ditemani dengan perilaku awak angkutan umum yang menyebalkan, meskipun tidak semuanya. Kapankah masyarakat bisa menikmati transportasi yang nyaman? Jika ada yang menjawab beli mobil pribadi saja, tetap tidak akan nyaman karena di jalan akan berhadapan dengan raja jalanan. 
16 Juni 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post