Waktu yang terus berjalan telah mengantarkan
bangsa Indonesia memasuki Pemilu 2004
dimana gaungnya sudah mulai terlihat dan dirasakan pada saat ini. Pemilu 1999
lalu yang lebih demokratis dibanding masa Orde Baru telah
memperlihatkan berbagai fenomena dan hikmah seiring dengan pergantian dan
berjalannya pemerintahan pasca pemilu 1999.
Pemilu 1999 dilaksanakan di tengah
kondisi krisis multidimensional, terutama krisis ekonomi. Pada kondisi ini,
sebagian rakyat mudah sekali terkena money politics. Namun
masalah penting lainnya setelah pemilu 1999 adalah semakin tegaknya korupsi dan
amoralitas pada sebagian penyelenggaran negara, sementara hukum semakin rebah.
Adapun rakyat juga semakin sengsara akibat korupsi yang merajalela dan kenaikan
harga.
Kenaikan harga yang menambah kesengsaraan
rakyat sebagiannya adalah merupakan kompensasi dari kegagalan dan ketidak mauan
pemerintah memberantas korupsi dan menegakkan hukum. Kompensasi yang teramat
berat ini telah menimbulkan pertanyaan apakah setelah pemilu 2004 nanti korupsi
akan semakin merajalela dan tak terkendali.
Sebagian rakyat telah merasakan pahitnya
kehidupan di tengah alam demokrasi. Mereka ada juga yang menyatakan telah salah
memilih parpol dalam pemilu 1999 lalu. Lontaran ini adalah bagian dari
kekritisan rakyat, namun tidak memiliki posisi tawar terhadap parpol yang
dipilihnya.
Posisi tawar parpol sampai saat ini masih
sangat kuat, dan sebagian besar parpol tersebut tidak memiliki daya akomodasi
terhadap konstituennya. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah (yang
nota bene representasi parpol pemenang pemilu) yang hampir sama sekali tidak
memiliki kepedulian terhadap nasib rakyat. Beberapa partai besar yang duduk di
pemerintahan secara umum tidak memperlihatkan keberpihakan kepada rakyat,
bahkan sebaliknya cenderung menyengsarakan rakyat secara langsung maupun tidak
langsung.
Janji-janji kampanye parpol yang kini
duduk di pemerintahan pada pemilu 1999 lalu ibarat menulis di atas air. Mereka
sebagian besar memberikan janji-janji manis sekedar untuk mendapatkan suara
rakyat, dan bukan mengakomodasi apa-apa yang diinginkan rakyat jika rakyat
memilihnya kelak.
Sebagai akibat ketiadaan daya akomodasi
dari parpol kepada konsituen, maka peran legislatif menjadi ujung tombak
kepentingan parpol, bukan kepentingan rakyat. Hal ini lantaran proses pemilihan
presiden dan wakil presiden dipengaruhi oleh kekuatan parpol di DPR.
Kekuatan Parpol di DPR seharusnya menjadi
ujung tombak aspirasi rakyat terhadap pemerintah, dan bukan sebaliknya terkadang
mendukung pemerintah meskipun kebijakan pemerintah tersebut menyengsarakan
rakyat.
Fungsi pengawasan (controlling) yang
dimiliki DPR akan berjalan bila presiden dan wakil presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat dan bukan oleh MPR/DPR. Dengan demikian presiden yang
terpilih oleh rakyat tersebut akan mendapat pengawasan oleh DPR karena DPR
tidak ikut menentukan terpilihnya presiden sehingga bila Presiden membuat
kekeliruan akan mendapat kritikan dari DPR dan bukan didukung.
Pemilihan presiden secara langsung akan
menimbulkan kekuatan posisi tawar para pemilih karena presiden yang terpilih
adalah hasil dari suara rakyat Indonesia dan bukan melalui mekanisme di MPR/DPR.
Jika presiden melakukan kesalahan, rakyat dapat menyalurkan aspirasinya di DPR,
sementara DPR yang tidak terlibat langsung dalam pemilihan presiden akan lebih
memiliki kekuatan untuk mengkritisi presiden.
Adapun bila rakyat melihat bahwa presiden
yang mereka pilih tidak mampu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka, maka
pada pemilu berikutnya mereka akan memilih kandidat presiden lain. Demikian
pula halnya dengan kekuatan parpol di DPR, bila rakyat melihat bahwa parpol
yang mereka pilih tidak mampu memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan bagi
rakyat, mereka bisa memilih parpol lain.
Sayangnya, hal seperti itu belum bisa
dilaksanakan pada pemilu 2004. Hal utama yang menyebabkannya adalah tingkat
pendidikan masyarakat yang masih rendah sehingga pola pikir yang berkembang pun
relatif sederhana dan pragmatis serta sulit untuk berpikir jauh ke depan. Tak
heran bila rakyat dengan mudahnya merasa terapresiasi menjelang pemilu dengan
pemberian uang ataupun asesoris parpol.
Disamping itu budaya yang masih
berkembang di masyarakat adalah budaya feodal yang menyebabkan rakyat tertekan,
seragamisasi dalam kehidupan dan membutuhkan figur untuk memimpin mereka,
terlepas dari baik atau buruknya sang pemimpin. Budaya feodal memungkinkan pula
berkembangnya praktek premanisme. Hal ini berbeda dengan budaya maritim yang
menghormati kebebasan. Tak heran kota-kota yang mengalami kemajuan pesat dalam
sejarah dunia adalah kota yang terdapat pelabuhan, baik sungai maupun laut.
Pendidikan yang menjadi salah satu kunci
utama bagi perkembangan pola pikir masyarakat sampai saat ini masih menyedihkan
nasibnya. Meskipun sudah terjadi pergantian pemerintahan, kebebasan pers dan
menyampaikan pendapat serta berorganisasi, nasib pendidikan belum mampu
ditingkatkan. Kondisi pendidikan yang buruk akan menguntungkan penguasa yang
korup. Dan ini dibuktikan oleh rejim orde baru maupun rejim pasca orde baru.
Hal di atas menjelaskan bahwa daya
akomodasi parpol masih sangat lemah dan mungkin tidak akan mengakomodasi hal
yang akan bertentangan dengan eksistensi parpolnya, meskipun hal
itu pada dasarnya akan meningkatkan kualitas masyarakat. Tindakan
parpol ini akan terus langgeng bila para pengambil keputusan lebih menyenangi
status quo.
Dengan demikian bangsa ini akan sulit
mencapai kemajuan dalam hal kualitas masyarakat maupun bangsa. Hal ini akan
semakin menyulitkan masyarakat memiliki kekuatan posisi tawar dalam pemilu yang
merupakan gerbang untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik. Fenomena ini
juga menunjukkan ketiadaan kesadaran kolektif yang merupakan modal bagi
pembangunan manusia yang lebih baik.
Jangan salahkan rakyat bila mereka enggan
mengikuti pemilu, karena sudah sering rakyat ditipu oleh parpol pilihannya.
Apalagi pada saat ini dimana rakyat lebih membutuhkan kebutuhan pokoknya
ketimbang harus memilih bila kelak mekanisme pemilu akan tetap menguntungkan
parpol.
Hingga lebih setengah abad kemerdekaan
Indonesia, mental untuk maju bersama justru semakin sirna. Entah siapa yang
harus disalahkan, namun pihak yang seharusnya memiliki akses untuk memperbaiki
keadaan bangsa justru hanya berpikiran memajukan diri maupun kelompoknya saja.
Tak heran bila kekuatan posisi tawar rakyat sebagai pemilih semakin tidak ada,
akan menyebabkan rendahnya partisipasi rakyat dalam proses demokratisasi
semisal pemilu.
21 April 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar