Senin, 21 April 2003

Daya Akomodasi Parpol dan Posisi Tawar Pemilih

Oleh Erwin FS


Waktu yang terus berjalan telah mengantarkan bangsa Indonesia memasuki Pemilu 2004 dimana gaungnya sudah mulai terlihat dan dirasakan pada saat ini. Pemilu 1999 lalu yang lebih demokratis dibanding masa Orde Baru  telah memperlihatkan berbagai fenomena dan hikmah seiring dengan pergantian dan berjalannya pemerintahan pasca pemilu 1999.

Semenjak 1999 sampai saat ini, begitu banyak pelajaran penting yang dapat diambil oleh bangsa ini untuk menata kehidupannya. Pemilu 1999 yang membawa harapan baru bagi rakyat ternyata dalam perjalanan roda pemerintahan hingga saat ini justru semakin membuat rakyat skeptis.
Pemilu 1999 dilaksanakan di tengah kondisi krisis multidimensional, terutama krisis ekonomi. Pada kondisi ini, sebagian rakyat mudah sekali terkena money politics. Namun masalah penting lainnya setelah pemilu 1999 adalah semakin tegaknya korupsi dan amoralitas pada sebagian penyelenggaran negara, sementara hukum semakin rebah. Adapun rakyat juga semakin sengsara akibat korupsi yang merajalela dan kenaikan harga.
Kenaikan harga yang menambah kesengsaraan rakyat sebagiannya adalah merupakan kompensasi dari kegagalan dan ketidak mauan pemerintah memberantas korupsi dan menegakkan hukum. Kompensasi yang teramat berat ini telah menimbulkan pertanyaan apakah setelah pemilu 2004 nanti korupsi akan semakin merajalela dan tak terkendali.
Sebagian rakyat telah merasakan pahitnya kehidupan di tengah alam demokrasi. Mereka ada juga yang menyatakan telah salah memilih parpol dalam pemilu 1999 lalu. Lontaran ini adalah bagian dari kekritisan rakyat, namun tidak memiliki posisi tawar terhadap parpol yang dipilihnya. 
Posisi tawar parpol sampai saat ini masih sangat kuat, dan sebagian besar parpol tersebut tidak memiliki daya akomodasi terhadap konstituennya. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah (yang nota bene representasi parpol pemenang pemilu) yang hampir sama sekali tidak memiliki kepedulian terhadap nasib rakyat. Beberapa partai besar yang duduk di pemerintahan secara umum tidak memperlihatkan keberpihakan kepada rakyat, bahkan sebaliknya cenderung menyengsarakan rakyat secara langsung maupun tidak langsung.
Janji-janji kampanye parpol yang kini duduk di pemerintahan pada pemilu 1999 lalu ibarat menulis di atas air. Mereka sebagian besar memberikan janji-janji manis sekedar untuk mendapatkan suara rakyat, dan bukan mengakomodasi apa-apa yang diinginkan rakyat jika rakyat memilihnya kelak.
Sebagai akibat ketiadaan daya akomodasi dari parpol kepada konsituen, maka peran legislatif menjadi ujung tombak kepentingan parpol, bukan kepentingan rakyat. Hal ini lantaran proses pemilihan presiden dan wakil presiden dipengaruhi oleh kekuatan parpol di DPR.
Kekuatan Parpol di DPR seharusnya menjadi ujung tombak aspirasi rakyat terhadap pemerintah, dan bukan sebaliknya terkadang mendukung pemerintah meskipun kebijakan pemerintah tersebut menyengsarakan rakyat.
Fungsi pengawasan (controlling) yang dimiliki DPR akan berjalan bila presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan bukan oleh MPR/DPR. Dengan demikian presiden yang terpilih oleh rakyat tersebut akan mendapat pengawasan oleh DPR karena DPR tidak ikut menentukan terpilihnya presiden sehingga bila Presiden membuat kekeliruan akan mendapat kritikan dari DPR dan bukan didukung.
Pemilihan presiden secara langsung akan menimbulkan kekuatan posisi tawar para pemilih karena presiden yang terpilih adalah hasil dari suara rakyat Indonesia dan bukan melalui mekanisme di MPR/DPR. Jika presiden melakukan kesalahan, rakyat dapat menyalurkan aspirasinya di DPR, sementara DPR yang tidak terlibat langsung dalam pemilihan presiden akan lebih memiliki kekuatan untuk mengkritisi presiden.
Adapun bila rakyat melihat bahwa presiden yang mereka pilih tidak mampu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka, maka pada pemilu berikutnya mereka akan memilih kandidat presiden lain. Demikian pula halnya dengan kekuatan parpol di DPR, bila rakyat melihat bahwa parpol yang mereka pilih tidak mampu memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat, mereka bisa memilih parpol lain.    
Sayangnya, hal seperti itu belum bisa dilaksanakan pada pemilu 2004. Hal utama yang menyebabkannya adalah tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah sehingga pola pikir yang berkembang pun relatif sederhana dan pragmatis serta sulit untuk berpikir jauh ke depan. Tak heran bila rakyat dengan mudahnya merasa terapresiasi menjelang pemilu dengan pemberian uang ataupun asesoris parpol.
Disamping itu budaya yang masih berkembang di masyarakat adalah budaya feodal yang menyebabkan rakyat tertekan, seragamisasi dalam kehidupan dan membutuhkan figur untuk memimpin mereka, terlepas dari baik atau buruknya sang pemimpin. Budaya feodal memungkinkan pula berkembangnya praktek premanisme. Hal ini berbeda dengan budaya maritim yang menghormati kebebasan. Tak heran kota-kota yang mengalami kemajuan pesat dalam sejarah dunia adalah kota yang terdapat pelabuhan, baik sungai maupun laut.
Pendidikan yang menjadi salah satu kunci utama bagi perkembangan pola pikir masyarakat sampai saat ini masih menyedihkan nasibnya. Meskipun sudah terjadi pergantian pemerintahan, kebebasan pers dan menyampaikan pendapat serta berorganisasi, nasib pendidikan belum mampu ditingkatkan. Kondisi pendidikan yang buruk akan menguntungkan penguasa yang korup. Dan ini dibuktikan oleh rejim orde baru maupun rejim pasca orde baru.
Hal di atas menjelaskan bahwa daya akomodasi parpol masih sangat lemah dan mungkin tidak akan mengakomodasi hal yang akan bertentangan dengan eksistensi parpolnya, meskipun hal itu  pada dasarnya akan meningkatkan kualitas masyarakat. Tindakan parpol ini akan terus langgeng bila para pengambil keputusan lebih menyenangi status quo.
Dengan demikian bangsa ini akan sulit mencapai kemajuan dalam hal kualitas masyarakat maupun bangsa. Hal ini akan semakin menyulitkan masyarakat memiliki kekuatan posisi tawar dalam pemilu yang merupakan gerbang untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik. Fenomena ini juga menunjukkan ketiadaan kesadaran kolektif yang merupakan modal bagi pembangunan manusia yang lebih baik.
Jangan salahkan rakyat bila mereka enggan mengikuti pemilu, karena sudah sering rakyat ditipu oleh parpol pilihannya. Apalagi pada saat ini dimana rakyat lebih membutuhkan kebutuhan pokoknya ketimbang harus memilih bila kelak mekanisme pemilu akan tetap menguntungkan parpol.
Hingga lebih setengah abad kemerdekaan Indonesia, mental untuk maju bersama justru semakin sirna. Entah siapa yang harus disalahkan, namun pihak yang seharusnya memiliki akses untuk memperbaiki keadaan bangsa justru hanya berpikiran memajukan diri maupun kelompoknya saja. Tak heran bila kekuatan posisi tawar rakyat sebagai pemilih semakin tidak ada, akan menyebabkan rendahnya partisipasi rakyat dalam proses demokratisasi semisal pemilu.
21 April 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post