UU Pemilu baru saja disahkan beberapa waktu lalu. Pengambilan keputusan akhir dengan voting untuk mensahkan UU tersebut mengundang pro-kontra. Hal ini lantaran hasil voting tersebut menurut sebagian kalangan tidak mampu mengakomodasi tuntutan reformasi yang menghendaki implementasi demokrasi yang lebih sehat dengan menjunjung keadilan.
Salah satu pasal yang
mampu dihasilkan tanpa voting adalah masalah keterwakilan perempuan yang
dicapai setelah melewati lobi antar pimpinan fraksi. Pasal ini sebelumnya telah
menjadi polemik, namun mampu dicapai kesepakatan bersama.
Dibanding pasal lain, tampaknya
masalah keterwakilan perempuan tidak menjadi isu utama UU pemilu, mengingat ada
beberapa pasal yang isinya lebih buruk dari UU Pemilu sebelumnya dan kentalnya
kepentingan partai dalam pasal-pasal krusial.
Salah seorang aktivis perempuan dalam
wawancara di stasiun televisi swasta memaparkan bahwa pasal mengenai
keterwakilan perempuan di legislatif dalam UU Pemilu adalah sebuah langkah maju
mengingat selama ini kaum perempuan tidak mendapat keterwakilan yang
proporsional dengan jumlah suara kaum perempuan dalam pemilu. Lebih jauh lagi,
keterwakilan perempuan di legislatif akan lebih mampu menyuarakan masalah
kesejahteraan masyarakat seperti masalah pendidikan, kesehatan dan keluarga.
Penyuaraan perempuan dalam masalah kesejahteraan adalah langkah positif
mengingat selama ini parpol maupun rejim yang berkuasa selalu mengutamakan
kekuasaan dibandingkan kesejahteraan rakyat.
Pada sisi lain, peran perempuan dalam
menyuarakan masalah pendidikan adalah sebuah harapan baru, karena selama ini
masalah pendidikan tidak menjadi agenda pokok perjuangan partai politik pada
umumnya atau pihak penguasa. Akibat dari hal ini, pembangunan sumber daya
manusia menjadi terbengkalai dan kebodohan menjadi bagian dari kehidupan bangsa
ini.
Akibat dari membudayanya kebodohan, para
elit, penguasa maupun parpol mampu berkuasa dengan bergelimang korupsi dan
kerusakan moral lainnya. Sementara rakyat yang dibodohi tak sadar akan akibat
dari kesalahan mereka memilih pemimpinnya.
Keterwakilan perempuan diharapkan mampu
mengurangi kebodohan yang terjadi di masyarakat dan memperjuangkan pentingnya
pendidikan di masyarakat karena pendidikan adalah jalan membuka hidup baru bagi
masyarakat.
Pemilu 1999 lalu telah menyadarkan
sebagian kita bahwa akibat dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat secara
umum telah mengakibatkan kesalahan fatal bagi pengelolaan negara. Masyarakat
pada pemilu 1999 masih rawan akan politik uang. Mereka tidak mampu memilih
parpol yang bisa memperjuangkan nasib mereka. Mereka lebih terwarnai oleh
kharismatik, sejarah masa lalu maupun kebesaran semu. Mereka tidak memiliki
posisi tawar terhadap parpol pilihan mereka.
Pendidikan tidak hanya membuka hidup yang
lebih baik bagi masyarakat, akan tetapi juga membentuk pola pikir yang lebih
baik dan rasional serta kritis. Hal ini diperlihatkan oleh adanya demonstrasi
mahasiswa yang memiliki pola pikir relatif baik dan daya kritis terhadap
berbagai ketimpangan yang ada di masyarakat.
Wanita adalah pendidik manusia pertama.
Orang-orang besar yang mengemuka dalam kehidupan tak lepas dari peran ibu
maupun istri mereka. Disamping itu fitrah yang dimiliki perempuan dalam
mengasuh anak adalah fungsi dari pendidikan, kesehatan, kasih sayang yang
merupakan agenda dari pembangunan berkelanjutan.
Kaum perempuan yang sebagiannya mengalami
ketertinggalan dalam pendidikan akan berpengaruh terhadap anak yang mereka asuh
maupun suami yang mereka urus. Keterwakilan perempuan diharapkan akan mampu
meminimalisir hal seperti ini. Keterwakilan perempuan juga diharapkan akan
mampu memperbaiki kondisi perempuan itu sendiri karena mengingat fungsinya yang
strategis dalam kehidupan keluarga yang merupakan unsur terkecil dalam
pemerintahan suatu negara.
Menurut laporan UNDP 2001, alokasi untuk
pendidikan yang berasal dari PNB Indonesia hanya sekitar 1,4%. Padahal
rata-rata dunia mencapai 4,5%. Sedangkan menurut Repeta 2003, pada tahun 2000
jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak atau belum menamatkan sekolah
dasar berjumlah sekitar 34,56 persen. Sedangkan yang menamatkan pendidikan SLTA
ke atas hanya sekitar 18,7 persen, dan dari yang telah menamatkan SLTA hanya
sekitar 1,7 persen yang menamatkan pendidikan setingkat univesitas. Adapun
87,5% penduduk usia 19-24 tahun diketahui tidak dapat melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi.
Dalam Profil Kesehatan Indonesia 2001
yang dikeluarkan oleh Depkes, pada tahun 2000 jumlah penduduk yang melek huruf
sebesar 89,76 persen. Sedangkan yang buta huruf adalah 10,25% (pada tahun 1999
10,21%). Perbandingan antara penduduk yang buta huruf di desa dan di kota adalah 13,64% berbanding 5,75%.
Sementara dari segi jender perbandingan antara perempuan dengan laki-laki yang
buta huruf adalah 14,16% berbanding 6,31%.
Melihat dari data di atas, prospek kaum
perempuan untuk menyuarakan masalah pendidikan, kesehatan maupun kesejahteraan
yang telah mendapat tempat dalam UU Pemilu patut mendapat dukungan. Dan
dukungan ini lebih kepada pemberdayaan kaum perempuan dan bukan masalah gender.
Masalah gender bisa menjadi polemik di masyarakat karena setiap agama mempunyai
perlakuan tersendiri terhadap kaum perempuan. Sementara pemberdayaan kaum
perempuan lebih menitikberatkan kepada masalah keadilan yang merupakan nilai
universal yang dijunjung tinggi umat manusia.
Semoga dengan keterwakilan perempuan di
legislatif, sebagian kaum lelaki akan tersadarkan dari keterlelapan tanggung
jawab mereka yang selain sebagai kepala keluarga, juga umumnya menjadi pemimpin
dalam pemerintahan. Kaum perempuan yang memiliki perasaan yang peka dan lebih
mampu berempati akan menjadi mitra yang konstruktif di legislatif dalam
menyuarakan masalah kesejahteraan sosial.
31 Maret 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar