Senin, 31 Maret 2003

UU Pemilu, Keterwakilan Perempuan dan Nasib Pendidikan

Oleh Erwin FS

UU Pemilu baru saja disahkan beberapa waktu lalu. Pengambilan keputusan akhir dengan voting untuk mensahkan UU tersebut mengundang pro-kontra. Hal ini lantaran hasil voting tersebut menurut sebagian kalangan tidak mampu mengakomodasi tuntutan reformasi yang menghendaki implementasi demokrasi yang lebih sehat dengan menjunjung keadilan.

Salah satu pasal yang mampu dihasilkan tanpa voting adalah masalah keterwakilan perempuan yang dicapai setelah melewati lobi antar pimpinan fraksi. Pasal ini sebelumnya telah menjadi polemik, namun mampu dicapai kesepakatan bersama.
Dibanding pasal lain, tampaknya masalah keterwakilan perempuan tidak menjadi isu utama UU pemilu, mengingat ada beberapa pasal yang isinya lebih buruk dari UU Pemilu sebelumnya dan kentalnya kepentingan partai dalam pasal-pasal krusial.
Salah seorang aktivis perempuan dalam wawancara di stasiun televisi swasta memaparkan bahwa pasal mengenai keterwakilan perempuan di legislatif dalam UU Pemilu adalah sebuah langkah maju mengingat selama ini kaum perempuan tidak mendapat keterwakilan yang proporsional dengan jumlah suara kaum perempuan dalam pemilu. Lebih jauh lagi, keterwakilan perempuan di legislatif akan lebih mampu menyuarakan masalah kesejahteraan masyarakat seperti masalah pendidikan, kesehatan dan keluarga. Penyuaraan perempuan dalam masalah kesejahteraan adalah langkah positif mengingat selama ini parpol maupun rejim yang berkuasa selalu mengutamakan kekuasaan dibandingkan kesejahteraan rakyat.
Pada sisi lain, peran perempuan dalam menyuarakan masalah pendidikan adalah sebuah harapan baru, karena selama ini masalah pendidikan tidak menjadi agenda pokok perjuangan partai politik pada umumnya atau pihak penguasa. Akibat dari hal ini, pembangunan sumber daya manusia menjadi terbengkalai dan kebodohan menjadi bagian dari kehidupan bangsa ini.
Akibat dari membudayanya kebodohan, para elit, penguasa maupun parpol mampu berkuasa dengan bergelimang korupsi dan kerusakan moral lainnya. Sementara rakyat yang dibodohi tak sadar akan akibat dari kesalahan mereka memilih pemimpinnya.
Keterwakilan perempuan diharapkan mampu mengurangi kebodohan yang terjadi di masyarakat dan memperjuangkan pentingnya pendidikan di masyarakat karena pendidikan adalah jalan membuka hidup baru bagi masyarakat.
Pemilu 1999 lalu telah menyadarkan sebagian kita bahwa akibat dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat secara umum telah mengakibatkan kesalahan fatal bagi pengelolaan negara. Masyarakat pada pemilu 1999 masih rawan akan politik uang. Mereka tidak mampu memilih parpol yang bisa memperjuangkan nasib mereka. Mereka lebih terwarnai oleh kharismatik, sejarah masa lalu maupun kebesaran semu. Mereka tidak memiliki posisi tawar terhadap parpol pilihan mereka.
Pendidikan tidak hanya membuka hidup yang lebih baik bagi masyarakat, akan tetapi juga membentuk pola pikir yang lebih baik dan rasional serta kritis. Hal ini diperlihatkan oleh adanya demonstrasi mahasiswa yang memiliki pola pikir relatif baik dan daya kritis terhadap berbagai ketimpangan yang ada di masyarakat.
Wanita adalah pendidik manusia pertama. Orang-orang besar yang mengemuka dalam kehidupan tak lepas dari peran ibu maupun istri mereka. Disamping itu fitrah yang dimiliki perempuan dalam mengasuh anak adalah fungsi dari pendidikan, kesehatan, kasih sayang yang merupakan agenda dari pembangunan berkelanjutan.
Kaum perempuan yang sebagiannya mengalami ketertinggalan dalam pendidikan akan berpengaruh terhadap anak yang mereka asuh maupun suami yang mereka urus. Keterwakilan perempuan diharapkan akan mampu meminimalisir hal seperti ini. Keterwakilan perempuan juga diharapkan akan mampu memperbaiki kondisi perempuan itu sendiri karena mengingat fungsinya yang strategis dalam kehidupan keluarga yang merupakan unsur terkecil dalam pemerintahan suatu negara.
Menurut laporan UNDP 2001, alokasi untuk pendidikan yang berasal dari PNB Indonesia hanya sekitar 1,4%. Padahal rata-rata dunia mencapai 4,5%. Sedangkan menurut Repeta 2003, pada tahun 2000 jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak atau belum menamatkan sekolah dasar berjumlah sekitar 34,56 persen. Sedangkan yang menamatkan pendidikan SLTA ke atas hanya sekitar 18,7 persen, dan dari yang telah menamatkan SLTA hanya sekitar 1,7 persen yang menamatkan pendidikan setingkat univesitas. Adapun 87,5% penduduk usia 19-24 tahun diketahui tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Dalam Profil Kesehatan Indonesia 2001 yang dikeluarkan oleh Depkes, pada tahun 2000 jumlah penduduk yang melek huruf sebesar 89,76 persen. Sedangkan yang buta huruf adalah 10,25% (pada tahun 1999 10,21%). Perbandingan antara penduduk yang buta huruf di desa dan di kota adalah 13,64% berbanding 5,75%. Sementara dari segi jender perbandingan antara perempuan dengan laki-laki yang buta huruf adalah 14,16% berbanding 6,31%.
Melihat dari data di atas, prospek kaum perempuan untuk menyuarakan masalah pendidikan, kesehatan maupun kesejahteraan yang telah mendapat tempat dalam UU Pemilu patut mendapat dukungan. Dan dukungan ini lebih kepada pemberdayaan kaum perempuan dan bukan masalah gender. Masalah gender bisa menjadi polemik di masyarakat karena setiap agama mempunyai perlakuan tersendiri terhadap kaum perempuan. Sementara pemberdayaan kaum perempuan lebih menitikberatkan kepada masalah keadilan yang merupakan nilai universal yang dijunjung tinggi umat manusia.
Semoga dengan keterwakilan perempuan di legislatif, sebagian kaum lelaki akan tersadarkan dari keterlelapan tanggung jawab mereka yang selain sebagai kepala keluarga, juga umumnya menjadi pemimpin dalam pemerintahan. Kaum perempuan yang memiliki perasaan yang peka dan lebih mampu berempati akan menjadi mitra yang konstruktif di legislatif dalam menyuarakan masalah kesejahteraan sosial.
31 Maret 2003



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post