Umat
Islam di seluruh dunia baru saja meninggalkan tahun 1423 H dan memasuki tahun
baru 1424 H. Layaknya fenomena yang berkembang selama ini di tanah air,
peringatan tahun baru Hijriyah tidak dirayakan sebagaimana manusia merayakan
kedatangan tahun baru Masehi. Di satu sisi nampaknya sebagian umat lebih
terbiasa merayakan tahun baru masehi dan kemungkinan kurang mengetahui makna
ataupun kaitan sejarah yang terkandung dalam tahun Hijriyah yang merupakan
konsekuensi infiltrasi budaya Barat dalam kehidupan keseharian umat Islam.
Tahun hijriyah diawali dengan hijrahnya
nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin dari Mekkah ke Madinah. Nabi melihat bahwa
dakwah tidak mungkin mengalami perkembangan di Mekkah, sementara di sisi lain
intimidasi yang dilancarkan oleh kaum kafir semakin kuat.
Sebelum menjadikan Madinah sebagai tempat
hijrah, Nabi telah melakukan beberapa kebijakan yang memungkinkan penduduk
Madinah menerima Nabi. Dan dalam kenyataannya penduduk Madinah kebanyakan
memeluk Islam sehingga memungkinkan bagi Nabi dan umat Islam untuk melakukan
hijrah.
Hijrah yang dilakukan Nabi bersama umat
Islam pada kala itu merupakan ujian yang berat karena begitu banyak harta kaum
muslimin yang ditinggalkan di Mekkah, sementara di Madinah mereka tidak pernah
membayangkan bagaimana nasib mereka selanjutnya. Kaum muslimin yang hijrah
bersama nabi ini kelak dinamakan dengan kaum Muhajirin dan kaum muslimin
Madinah dinamakan kaum Anshor.
Nabi Muhammad yang menyadari bahwa hijrah
yang dilakukan oleh umatnya tidak dibekali dengan ekonomi yang memadai kemudian
melakukan beberapa kebijakan yang mendorong terciptanya kesempatan kerja bagi
kaum Muhajirin dan peningkatan produktivitas bagi kaum Anshor. Di sini terlihat
bagaimana Nabi memandang pentingnya memulihkan kondisi ekonomi kaum Muhajirin
yang hijrah tidak membawa bekal yang cukup.
Kebijakan Nabi yang dilakukan di Madinah
tersebut di antaranya adalah berupa muzara’a dan musaqat yaitu
kaum Muhajirin mengolah lahan di ladang dan kebun-kebun kaum Anshor dengan
perjanjian pembagian hasil panen. Hasil dari kebijakan ini telah memulihkan
kondisi ekonomi kaum Muhajirin dan membantu meningkatkan produktivitas di
Madinah (Karim, 2002).
Hikmah yang dapat diambil dari uraian
tersebut adalah bahwa Nabi sangat memperhatikan masalah ekonomi umatnya di awal
kehidupan baru di Madinah. Perintah hijrah yang diserukan kepada umat Islam
yang dilaksanakan dengan penuh ketaatan dimana kaum Muhajirin sewaktu pergi
belum bisa membayangkan akan nasib mereka di Madinah telah mendapat jawaban
yang jelas dari Nabi yaitu dengan mempersaudarakan kaum Anshor dengan Muhajirin
dan diikuti dengan memperbaiki kondisi ekonomi kaum Muhajirin dengan melakukan
kegiatan produktif bersama. Kelak hasil dari kegiatan ini umat Islam mampu
menguasai ekonomi Madinah setelah sebelumnya dikuasai Yahudi.
Disamping itu, nampak bahwa Nabi pada
masa awal di Madinah melakukan kebijakan sektor riil yang mengakibatkan
meningkatnya produksi dan jumlah tenaga kerja. Nabi telah mampu mengatasi
masalah “pengungsi” dan pengangguran.
Dalam konteks kekinian, apa yang
dilakukan oleh Nabi tersebut merupakan pelajaran yang berharga bagi umat Islam
dimana sektor riil menjadi ujung tombak untuk menggerakkan perekonomian.
Pada saat ini dimana momentum hijrah Nabi
telah memasuki kali ke-1424 adalah saat untuk merenung kembali tentang
perekonomian umat, khususnya di Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah muslim
terbesar di dunia, potensi untuk memberdayakan sektor riil relatif besar.
Apalagi dengan menggunakan prinsip-prinsip yang telah dilaksanakan Nabi. Hal
positif yang patut dicermati dari tindakan Nabi tersebut adalah Nabi mampu menggeliatkan
ekonomi kaum muslimin tanpa dibantu masalah keuangan (meskipun dana merupakan
hal yang penting perkembangan Islam), cukup dengan kebijakan mempersaudarakan
dan melakukan kerjasama yang menguntungkan meskipun pada sisi lain Nabi juga
melakukan kebijakan ekonomi dengan menggunakan dana Baitul Maal.
Kebijakan Nabi non-keuangan tersebut
sesungguhnya bisa diterapkan oleh umat Islam pada saat krisis ini meskipun
masih ada syarat-syarat lain yang dipenuhi seperti masalah kepercayaan.
Sementara itu pada sektor keuangan,
perkembangan bank syariah di Indonesia juga terbilang maju cukup pesat,
terutama sampai tahun 1423 H. Meskipun
total aset perbankan syariah terbilang masih sangat kecil, namun
percepatan pertumbuhan perbankan syariah boleh dikatakan relatif baik. Hal ini
tergambar dari pembukaan unit-unit syariah oleh bank konvensional yang terus
bertambah. Disamping itu, dari segi kelompok nasabah yang dilayani untuk
pembiayaan memang masih tergolong kelas menengah atas. Namun demikian, hal itu
tidak bisa dijadikan indikator untuk melemahkan perkembangan bank syariah
karena untuk melayani kelompok di bawahnya terdapat Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS) maupun Baitul Mal watTamwil (BMT) yang sosialisasi maupun
perkembangannya juga turut menggembirakan.
Selain perbankan syariah, bertumbuhnya
lembaga-lembaga yang fokus terhadap ekonomi syariah juga semakin bertambah
disamping minat untuk mempelajari ekonomi syariah di kalangan akademisi maupun
praktisi yang diperlihatkan dengan adanya berbagai kegiatan seperti seminat
maupun kuliah informal. Hal ini sedikit banyaknya menunjukkan telah adanya
sosialisasi ekonomi syariah yang simultan, meskipun belum menjangkau masyarakat
lapisan bawah atau masyarakat secara keseluruhan.
Perkembangan lembaga yang menangani
masalah kaum dhuafa juga boleh dibilang lebih menggembirakan. Dengan telah
adanya lembaga amil zakat infak dan sodaqoh yang disahkan oleh Departemen Agama
turut memacu sektor swasta untuk menjadi lembaga amil zakat dan sekaligus
melakukan pembinaan kepada kaum dhuafa yang
disantuni. Meskipun belum mampu menjangkau umat secara keseluruhan,
langkah awal yang baik ini telah memotivasi umat untuk lebih giat melakukan
usaha-usaha untuk membantu saudaranya yang kekurangan. Hal ini juga berkat
kinerja lembaga-lembaga pengelola zakat, infak dan sodaqoh yang amanah,
profesional dan transparan sehingga mampu menggembirakan hati pada dermawan
yang telah memberikan sebagian miliknya kepada kaum yang membutuhkan.
Adanya Dewan Syariah Nasional juga turut
menambah semangat untuk mengembangkan ekonomi syariah. Peran DSN turut membantu
para nasabah maupun pelaku ekonomi syariah dalam melakukan aktivitas di sektor
ini.
Meskipun di tengah suasana dunia yang
mencemaskan yaitu adanya perseteruan antara AS dengan Irak, dan di tengah
kondisi Indonesia yang penuh ketidakadilan dan korupsi, implementasi untuk
mengembangkan ekonomi syariah tidak menyurut.
Peran MUI maupun para tokoh Islam dalam
memotivasi umat untuk tetap berusaha semaksimal mungkin sangat dibutuhkan.
Dengan melihat kondisi APBN yang tidak berpihak kepada rakyat, umat Islam
sebaiknya juga tidak bergantung kepada APBN tersebut.
Potensi umat Islam untuk saling menolong
antar sesamanya sesungguhnya ada, hanya
saja ini belum dikelola dengan baik. Namun, sedikit demi sedikit potensi itu
mulai muncul dan mewarnai kehidupan ekonomi umat. Memang jalan yang dilalui
masih panjang dan waktu yang akan ditempuh masih lama untuk memakmurkan umat
secara keseluruhan. Namun, melihat pada tahun-tahun sebelumnya, prospek umat
Islam untuk mandiri terbentang luas. Hanya saja, tinggal menunggu kesungguhan
dari umat karena dengan kesungguhan itu cita-cita akan tercapai.
Dari pengalaman pelaksanaan haji pada
tahun 1423 H dimana terdapat beberapa hal yang perlu dievaluasi menyangkut
pelaksanaan oleh BPH ataupun Departemen Agama, adanya ide untuk membuat tabung
haji adalah suatu hal yang diharapkan mampu menolong para jamaah haji dan juga
masyarakat. Di Malaysia tabung haji pernah berperan menyelamatkan perekonomian
Malaysia, kiranya hal ini dapat pula terjadi pada diri umat Islam Indonesia.
Disamping itu, sampai 1423 H, pelaksanaan
qurban telah berskala nasional dimana hal ini dilakukan oleh berbagai lembaga
dan perusahaan. Ini merupakan hal yang menggembirakan dan makna qurban yang
lebih besar lagi kiranya bisa diimplementasikan pada 1424 ini. Pelaksanaan
qurban secara nasional adalah perkembangan baru dimana umat Islam mampu
berpikir secara makro dan menimbulkan solidaritas pada tingkat nasional.
Di awal 1424 ini beberapa kejadian
penting juga patut mendapat perhatian. Hal itu di antaranya adalah
penyelenggaraan Islamic Book Fair (IBF) kedua dan peluncuran pasar modal
syariah. Pada IBF kali ini terlihat bertumbuhnya penerbit buku Islam dan juga
bertumbuhnya buku-buku Islam yang diikuti bertambahnya penggemar dan peminat
buku-buku Islam tersebut. Ini adalah fenomena yang menggembirakan dimana
kemauan membaca umat Islam sudah semakin tinggi. Sementara itu adanya pasar
modal syariah diharapkan menambah gairah investasi para pengusaha muslim maupun
para pengusaha Timur Tengah yang tengah mencari daerah penanaman modal.
Diharapkan multiplier effect dari hal ini akan terimbas kepada umat Islam.
Satu hal yang juga patut mendapat catatan
adalah berdirinya kepengurusan resmi Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) pada 1423
yang lalu. MES merupakan salah satu bukti komitmen para praktisi ekonomi maupun
para akademisi untuk mengembangkan ekonomi syariah dengan lebih baik,
berkelompok (jamaah) dan berkelanjutan.
Momentum bulan Muharam ini seyogyanya
mampu menjadi landasan bagi umat untuk menatap masa depan yang lebih baik
sebagaimana dulu kaum muslimin melakukan hijrahnya dengan penuh keyakinan bahwa
Allah SWT dan Rasulnya akan menolong mereka di tempat yang baru. Dan bulan
Muharam ini juga seyogyanya mampu menghijrahkan umat kepada kondisi yang lebih
baik yang diberkahi Allah SWT di tengah carut marut korupsi dan kegilaan akan
kekuasaan. Wallahu a’lam.
Artikel ini dimuat di peka online
(www.peka.or.id), 24 Maret 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar