Kamis, 12 Desember 2002

Ekonomi Syariah Mendorong Kemandirian Ekonomi Bangsa

Oleh Erwin FS


Umat Islam boleh saja kecewa karena Sidang Tahunan MPR 2002 lalu tidak ada perubahan dalam Pasal 29 yang berisikan pemberlakuan Syariat Islam ataupun pelaksanaan syariat agama bagi pemeluk agama masing-masing. Padahal Syariat Islam diyakini menjadi solusi yang bisa membawa bangsa ini lebih maju dan beradab.

Hal ini lantaran semenjak kejatuhan pemerintahan Orde Baru, berbagai kerusakan yang ada tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah maupun para pengambil keputusan. Kegeraman melihat berbagai kerusakan itu yang semakin mengkristalkan umat Islam untuk mendesak pemberlakuan syariat Islam maupun syariat agama lain bagi pemeluknya, disamping hal ini sudah menjadi dambaan sejak dulu.
Meskipun pemberlakuan Syariat Islam tidak bisa digolkan dalam Sidang Tahunan MPR 2002 lalu, bagian-bagian dari Syariat Islam sebenarnya sudah diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Satu di antaranya yaitu aplikasi ekonomi syariah dalam kegiatan ekonomi masyarakat yang kini memasuki usia kesepuluh tahun.
Uniknya, sewaktu terjadi krisis moneter yang mengakibatkan likuidasi perbankan dan juga rekapitalisasi yang menelan dana yang sangat besar sehingga menyebabkan terjadinya defisit pada neraca Bank Indonesia, justru perbankan syariah tidak mengalaminya dan bahkan pada tahun 1998 Bank Muamalat Indonesia (BMI) mencapai rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 12 persen dari yang disyaratkan BI sebesar minimum empat persen di tengah kesulitan banyak bank konvensional memenuhi CARnya.
Hal ini terkait erat dengan sistem yang dipakai oleh masing-masing bank. Sebagai contoh, jika pada waktu krisis bank konvensional menawarkan tingkat bunga yang besar maka tidak demikian halnya dengan bank syariah. Bank syariah justru mengecilkan porsi bagi hasil bagi nasabah yang merupakan isyarat kepada nasabah bahwa kondisi yang ada tidak bisa memaksimalkan penggunaan dana.
Dengan demikian pihak bank syariah memberikan transparansi mengenai kondisi banknya kepada para nasabah. Sedangkan bank konvensional, kondisi mereka yang kropos justru ditutupi dengan menjanjikan bunga yang besar. Nasabah tidak bisa mengetahui bagaimana kondisi sebenarnya dari bank tersebut.
Disamping itu bank syariah memiliki dewan pengawas syariah yang integritasnya sudah diakui, sehingga kemungkinan adanya penyalahgunaan dalam bank dapat ditekan seminimal mungkin. Sedangkan untuk bank konvensional, pengawas semacam ini tidak ada sehingga terjadi moral hazard yang luar biasa.
Perkembangan implementasi ekonomi syariah (lembaga keuangan) mengalami akselerasi semenjak terjadinya krisis moneter. Sampai saat ini tercatat terdapat dua bank umum syariah dengan 36 kantor cabang dan 52 kantor di bawah cabang. Disamping itu masih ada enam bank umum konvensional yang memiliki kantor cabang syariah yang tersebar di 26 kota di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Belum lagi masih ada 81 BPR Syariah.
Sementara itu pengumpulan dana masyarakat oleh Bank Syariah per 21 Mei 2002 mencapai Rp 2 triliun, dan penyaluran pembiayaan sebesar Rp 2,5 triliun. Ini berarti financing to deposit ratio (FDR) melampaui 100 persen. Padahal FDR perbankan nasional hanya 39 persen per April 2002. Sementara total aset perbankan syariah pada periode yang sama adalah Rp 3,2 triliun. (modalonline.com)
Kemajuan lainnya yang dapat dilihat adalah lahirnya UU No.10/1998 yang memungkinkan bank umum konvensional berubah menjadi bank umum syariah ataupun terjadinya dual banking system yang memungkinkan sebuah bank konvensional memiliki cabang syariah. Telah terbit pula Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.59 yang merupakan instrumen penunjang operasional perbankan syariah. Disamping itu, sedang diusahakan pula RUU Bank Syariah dan RUU Lembaga Keuangan Mikro dan Syariah. Semua ini memperlihatkan akselerasi implementasi ekonomi syariah dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
Implikasi
Implikasi dari perkembangan implementasi ekonomi syariah adalah bangkitnya kesadaran masyarakat akan rasa keIslaman mereka. Meskipun nasabah bank syariah tidak semuanya memiliki ikatan emosional (lebih kepada rasional, untung atau rugi), tetap saja mereka mengakui bahwa sistem ekonomi syariah menguntungkan dan menenangkan. Secara implisit, mereka sudah mengakui bahwa syariat Islam akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Belum lagi jika membicarakan perkembangan Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang bergerak pada level terendah masyarakat.

Adanya reformasi (kejatuhan Orde Baru) dan proses demokratisasi mendukung berkembangnya lembaga keuangan syariah (maupun lembaga non keuangan). Selama ini mungkin yang terlihat oleh mata hanyalah berkembangnya organisasi politik maupun organisasi massa Islam dalam masa reformasi dan proses demokratisasi ini. Namun antara sektor ekonomi syariah maupun sosial politik dapat dibuat titik temu dalam hal perkembangan Islam di Indonesia.
Selama lebih kurang 30 tahun kebijakan ekonomi Indonesia diwarnai aliran pemikiran neo klasik yang kental dengan semangat kapitalisme. Hal ini ternyata berjalan seiring dengan praktik-praktik tidak terpuji dalam kegiatan politik dan ekonomi (seperti halnya yang terjadi pada kasus Enron dan Worldcom di AS). Namun akibat yang ditimbulkannya sangat luar biasa, telah dan sedang dirasakan mayoritas rakyat Indonesia saat ini.
Warna pemikiran ekonomi tersebut terasa kental ketika dalam kondisi krisis. Saat rakyat sangat membutuhkan berbagai kebutuhan pokok, pemerintah malah mengeluarkan dana yang sangat besar bagi sektor keuangan. Padahal dana yang demikian besarnya lebih bernilai guna bila diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan rakyat.
Rontoknya sistem kapitalis di Indonesia pada tahun-tahuan krisis tersebut ternyata masih mendapat bantuan dari IMF dan Bank Dunia sehingga para penjahat yang mencuri uang negara masih sulit untuk dipenjara. Namun, jika pada sektor ekonomi (yang kental dengan kapitalisme) masih mendapat bantuan, maka dalam realitas sosial politik (yang kental dengan barbarisme dan juga kapitalisme), tidak sebagus yang dialami oleh sektor ekonomi. Kini masyarakat sudah semakin tahu kebobrokan sebagian besar elit politik maupun pemerintahan. Lebih jauh lagi, sedikit banyaknya masyarakat sudah mampu menilai bagaimana bobroknya sistem kapitalis yang saling berhubungan antara ekonomi dengan sosial politik. Maka bisa dilihat jika mereka yang diduga korup sangat mendukung kapitalisme karena memang lebih banyak menguntungkan mereka.
Di tengah tanda kejatuhan sistem kapitalis di Indonesia itu, ekonomi syariah mengalami akselerasi signifikan. Tidak hanya dari pihak lembaga keuangan tetapi juga dari pertambahan nasabah yang pesat dan bahkan lembaga yang mendukungnya. Masih di tengah kejatuhan sistem kapitalis, kesadaran masyarakat akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam juga mengalami akselerasi signifikan. Hal ini merupakan modal politik yang potensial bagi gerakan Islam di Indonesia.
Jika Max Weber menyatakan bahwa Barat maju dengan etika Protestan, sistem ekonomi kapitalis, dan sistem politik demokrasi, maka bukan tidak mungkin bila Indonesia bangkit dengan dimotori spritualitas Islam (tanpa mengesampingkan agama lain), sistem ekonomi syariah dan sistem politik demokrasi (yang memiliki peluang bagi perkembangan Islam). Lahirnya berbagai partai politik Islam maupun ormas-ormas Islam dan juga lembaga keuangan/non keuangan syariah adalah modal yang saling berpadu dalam perkembangan politik Islam Indonesia pasca kejatuhan Orde Baru. Benang merah antara ekonomi syariah dan politik Islam adalah integritas para pelakunya. Inilah yang menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Dampak positif implementasi ekonomi syariah adalah semakin mandirinya ekonomi Indonesia pada beberapa tahun mendatang. Hal ini karena sistem yang ada pada ekonomi syariah tidak terpengaruh oleh volatilitas ekonomi konvensional kapitalis yang penuh spekulasi dan ketidakpercayaan. Disamping itu kemandirian dalam ekonomi syariah juga diikuti dengan kepercayaan sehingga sangat potensial untuk berkembang. Dan satu hal yang masih belum terwujud secara makro dengan berkembangnya ekonomi syariah ini adalah tujuan syariat yaitu (seperti yang disebut Al Ghazali) mendorong kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan kepada keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan kekayaan mereka.
Sebagian dari isi tulisan ini pernah dimuat di majalah Saksi No.3 Tahun V, 29 Oktober 2002
Artikel ini dimuat di Peka Online (www.peka.or.id) 12 Desember 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post