Minggu, 29 Mei 2011

Makna Penaklukan Konstatinopel

Oleh Erwin FS

Nabi Muhammad SAW bersabda saat terjadi perang Khandaq (Ash-Shalabi, 2008), “Konstatinopel akan ditaklukkan di tangan seorang laki-laki. Maka orang yang memerintah di sana adalah sebaik-baik penguasa dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara” (HR Ahmad). Apa yang disampaikan Nabi Muhammad SAW ini terbukti sekitar 800 tahun kemudian.
Nabi Muhammad SAW menyebut penaklukan Konstatinopel ini kepada para sahabat dan kaum muslimin pada waktu itu, bermakna ada hal yang istimewa terjadi dengan penaklukan tersebut. Di dalam hadits yang telah disebutkan, ada sebutan ‘sebaik-baik penguasa’ dan ‘sebaik-baik tentara’. Dan kedua hal itu kelak ada di diri Sultan Muhammad Al Fatih dan pasukannya yang berasal dari Bani Utsmani.

Lord Kinross mengutip Bertrand de Broquiere, seorang pengembara yang menyatakan, “Pasukan Utsmani sangat cepat gerakannya. Seratus pasukan musuh akan jauh lebih gaduh dari sepuluh ribu pasukan Utsmani. Dalam semalam mereka mampu melakukan tiga kali lipat perjalanan yang dilakukan oleh musuh-musuhnya” (Ash-Shalabi, 2008).

Semenjak wafatnya Rasulullah SAW, setiap orang selalu bertanya-tanya, siapa yang bisa melaksanakan sabda Rasulullah SAW tersebut. Semenjak era kehalifahan Bani Umayyah di tahun 44 Hijriah sudah dilakukan usaha untuk menaklukan Konstatinopel. Kemudian berlanjut di masa kekhalifahan Bani Abbasiyah. Hingga kemudian Konstatinopel bisa ditaklukkan oleh Sultan Muhammad Al Fatih yang merupakan khalifah Bani Utsmani pada tanggal 29 Mei 1453 Masehi atau 20 Jumadil Ula 857 Hijriah, sekitar 800 tahun setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.

Pada masa itu, Konstatinopel merupakan salah satu kota terbesar dan terpenting di dunia. Konstatinopel dibangun pada tahun 330 Masehi. Muncul ungkapan, “Andai kata dunia ini berbentuk satu kerajaan, maka Konstatinopel akan menjadi kota yang paling cocok untuk menjadi ibu kotanya” (Mushtafa dalam Ash-Shalabi, 2008).

Sultan Muhammad II atau Sultan Muhammad Al Fatih memegang jabatan pada umur 22 tahun. Pada usia muda ia telah mengungguli teman-temannya dalam menangkap dan menyerap ilmu pengetahuan. Ia menguasai manajemen dan administrasi negara, penguasaan medan dan strategi perang. Ia melakukan restrukturisasi administrasi negara dan keuangan negara. Pembelanjaan dilakukan secara efektif dan efisien untuk mencegah terjadinya pemborosan dan pembobolan uang negara. Ia juga berkonsentrasi meningkatkan kepiawaian pasukan, melakukan restrukturisasi tentara, memberikan tambahan gaji pada tentara dan melengkapi persenjataan terbaik di zamannya  (Ash-Shalabi, 2008).

Di samping itu, Muhammad Al Fatih menjalani didikan oleh ulama dengan baik. Ia mengikuti didikan dari ulama sejak kecil. Guru-gurunya memiliki kebersihan hati hingga mampu menjadikan Sultan Muhammad II mendapatkan pengalaman relijius yang sangat baik. Salah seorang gurunya yang berpengaruh adalah Rabbani Ahmad bin Ismail Al-Kurani. Hingga Muhammad Al Fatih menjadi pemimpin, Al Kurani tidak pernah menundukkan kepala maupun mencium tangan Muhammad Al Fatih, bahkan memanggil dengan nama asli, bukan gelar. Sementara gurunya yang lain Syaikh Aaq Syamsuddin telah menanamkan kepada Muhammad Al Fatih sejak kecil bahwa yang dimaksud oleh Hadits Nabi Muhammad SAW tentang penakluk Konstatinopel adalah dirinya (Ash-Shalabi, 2008).

Dengan harapan bahwa yang dimaksud oleh Hadits Rasulullah SAW itu adalah tentaranya, maka Muhamad Al Fatih meningkatkan dan memperkuat jumlah tentaranya. Pelatihan pasukan dengan berbagai seni tempur dan kemahiran menggunakan senjata sangat diperhatikannya. Di samping itu tentarannya juga dibekali semangat keIslaman  dan selalu disampaikan tentang Hadits Nabi Muhammad SAW mengenai sebaik-baik tentara. Muhammad Al Fatih mengerahkan banyak ulama untuk meninggikan moralitas keIslaman pasukannya. Muhammad Al Fatih telah memadukan infrastruktur perang yang mutakhir dan strategi canggih dengan moralitas keIslaman yang tinggi pada pasukannya.

Pada masa itu, Konstatinopel secara militer merupakan kota yang paling aman dan terlindungi. Ia memiliki benteng yang kuat dan perlindungan secara alami. Sangat sulit untuk menaklukkan kota tersebut. Hingga salah satu titik lemah tersebut berhasil ditembus oleh Sultan Muhammad Al Fatih secara mengejutkan.

Salah seorang ahli sejarah tentang Byzantium (Konstatinopel) menyatakan, “Kami tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar sebelumnya, sesuatu yang sangat luar biasa seperti ini. Muhammad Al Fatih telah mengubah bumi menjadi lautan dan dia menyeberangkan kapal-kapalnya di puncak-puncak gunung sebagai pengganti gelombang-gelombang. Sungguh perbuatannya ini jauh melebihi apa yang dilakukan oleh Iskandar yang Agung” (Ash-Shalabi, 2008). Pada waktu itu, Muhammad Al Fatih memindahkan kapal-kapal perangnya melalui daratan, sesuatu yang belum pernah terjadi di masa itu. Ini adalah titik awal menjelang takluknya Konstatinopel.

Tanggal 29 Mei  1453 Masehi, Sultan Muhammad Al Fatih berhasil memasuki Konstatinopel. Seluruh masyarakat di kota tersebut diperlakukan dengan baik. Mereka dipersilakan melakukan kegiatan keagamaan maupun kesehariannya. Tidak ada pembunuhan massal. Uskup Agnadius dan uskup-uskup yang diundang makan oleh Sultan Muhammad Al Fatih, setelah bertemu dengan Sultan mendapatkan persepsi berbeda yang selama ini ada tentang Sultan. Mereka  merasa berhadapan dengan seorang sultan yang demikian terdidik dan berperadaban, seorang ksatria sejati yang membawa nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Sebelumnya sudah terbayang akan terjadi pembunuhan massal oleh tentara Utsmani. Dan dalam hitungan hari sejak ditaklukan, Konstatinopel telah melakukan kegiatan sehari-hari sebagaimana biasa. 

Pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa ini adalah, bahwa bagi seorang muslim agar bisa berhasil kehidupannya tidak lain mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pembinaan pribadi muslim yang berhasil adalah memadukan kemampuan intelektual, fisik dengan semangat keIslaman yang tinggi. Sultan Muhammad Al Fatih dan tentaranya telah mengikuti apa yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Termasuk memperlakukan penduduk di daerah penaklukan dengan baik dan menghormati hak-hak mereka. Tidak terjadi pembunuhan massal seperti yang dibayangkan oleh penduduk Konstatinopel, bahkan Muhammad Al Fatih dan tentaranya  memperlakukan manusia di sana dengan baik, hormat dan santun.

Meskipun sudah lebih dari 500 tahun lalu terjadi, peristiwa penaklukkan Konstatinopel sungguh sangat berharga bagi umat Islam untuk mempelajari berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya, terutama bagaimana membentuk sumberdaya manusia yang unggul dengan memperhatikan aspek spiritualitas.

Saat ini begitu banyak umat Islam melupakan aspek spiritualitas mereka sehingga kualitas kehidupan terasa kurang menggembirakan. Jauh dari ajaran agama, hanya berlomba mencari kehidupan dunia. Nabi Muhammad SAW telah meninggalkan Al Quran dan Sunnah yang berisi pembinaan sumberdaya manusia yang unggul. Siapa saja yang mengikuti  metode tersebut, insya Allah akan mendapatkan kebaikan dan kesuksesan.

Meskipun saat ini umat Islam berjarak 1400 tahun lebih dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW, pola pembinaan sumberdaya manusia tetap bisa diikuti dengan berpedoman kepada Al Quran dan Sunnah. Sultan Muhammad Al Fatih yang hidup 800 tahun sejak hijrah Rasulullah SAW telah membuktikan hal tersebut bersama rakyat dan tentaranya. Dan kini, dengan kecanggihan teknologi dan kemudahan hidup, seharusnya kualitas umat Islam bisa jauh lebih baik dan unggul. ۞

29 Mei 2011

Daftar Pustaka

Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Pustaka Al Kautsar, Jakarta: 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Dilema Inklusi Keuangan di Indonesia

Oleh Erwin FS Bank Dunia merilis data terkait inklusi keuangan (Kompas, 17/4/2015), pada rentang 2011-2014 700 juta orang di dunia men...

Popular Post