Dokter Wahidin
Sudirohusodo, pengagas berdirinya Budi Utomo dikenal sebagai dokter
yang memiliki kepedulian kepada masyarakat, terutama masyarakat tidak
mampu. Ia sering mengobati masyarakat tidak mampu tanpa mengenakan
biaya. Ia juga mengusulkan pemberian beasiswa bagi pelajar tidak mampu
yang memiliki kecerdasan.
Meskipun
tidak menjadi pendiri maupun pengurus Budi Utomo, dr Wahidin telah
menjadi peletak kebangkitan nasional. Bangkit dari ketertindasan,
keterjajahan, kebodohan, dan kemiskinan yang pada waktu itu tengah
dirasakan oleh rakyat pada masa itu.
Dokter
Wahidin telah menjadi teladan dengan peduli kepada rakyat melalui
pengobatan gratis dan pengusulan pemberian beasiswa. Inilah yang
dibutuhkan oleh rakyat pada hari ini, kepedulian akan ketidakmampuan
akibat ”penjajahan”. Penjajahan pada masa itu tentu berbeda konteksnya
dengan penjajahan saat ini.
Saat
ini, penjajahan itu bersumber dari perilaku individualisme. Dengan
berkembangnya budaya neoliberalisme yang mengedepankan individualisme
dan uang, kondisi sosial masyarakat mengalami perubahan. Menyelamatkan
nyawa tanpa ketersediaan uang adalah hal yang mustahil saat ini. Uang
harus tersedia jika ingin nyawa selamat.
Individualisme
didorong oleh kurangnya sikap menjalankan ajaran agama secara benar.
Perzinahan terjadi di mana saja. Bahkan sambil naik motor dan bisa
dilihat orang. Tidak sedikit orangtua tidak mampu mendidik anak
perempuan mereka untuk melindungi diri dari bahaya yang mengancam. Lalu
lintas semrawut, kebut-kebutan dan melanggar rambu lalu lintas dan
marka jalan. Banyak laki-laki dewasa yang tidak melaksanakan Shalat
Jumat, belum lagi shalat 5 waktu.
Ketika kondisi yang tidak kondusif bagi kemanusiaan kita ini semakin menjalar ke bebagai tempat, maka obatnya adalah dengan memperbaiki diri, lalu memperbaiki keluarga bagi yang sudah berkeluarga dan kemudian memperbaiki masyarakat. Tidak mungkin bisa memperbaiki orang lain tanpa memperbaiki diri dahulu.
Cita-cita kebangkitan nasional adalah sejalan dengan semangat Proklamasi dan juga UUD 1945 yang dilahirkan pada saat itu. UUD 1945 pada saat dilahirkan sarat dengan nilai agama, kepedulian, kebersamaan dan pemerataan. Hal ini dikarenakan para pembuatnya merasakan langsung pahitnya dijajah, diambil hasil buminya oleh penjajah dan kepahitan lainnya.
Namun, saat ini seolah-olah semangat kepedulian dan pemerataan itu hilang. Yang muncul ke permukaan justru individualisme di segala level tingkat pendapatan masyarakat. Namun demikian, usaha memperbaiki kondisi selalu dilakukan oleh orang-orang yang sadar akan bahaya yang mengancam.
Lalu, bagaimana mengimplementasikan kepedulian itu dan mewujudkan pemerataan? Siapa yang bisa dijadikan model? Menjawab hal ini, maka salah satu model yang bisa dilihat adalah Nabi Muhammad SAW.
Ketika hijrah Rasulullah ke Madinah, yang dilakukan pertama kali adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshor. Dengan persaudaraan ini, biaya hidup kaum Muhajirin ditanggung. Namun demikian, kaum Muhajirin juga berusaha agar bisa mandiri.
Setelah Rasulullah SAW menjadi pemimpin di Madinah, kebijakan yang dilakukan adalah membentuk baitul mal, di mana lembaga ini berfungsi memberikan santunan kepada orang-orang miskin. Kemudian ketika Rasulullah wafat dan digantikan Abu Bakar Siddiq ra, Abu Bakar Siddiq memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Kemudian ketika kepemimpinan Abu Bakar Siddiq digantikan oleh Umar bin Khaththab ra, Umar tetap memperhatikan pentingnya pemerataan dan kepedulian. Salah satu cerita yang terkenal adalah ketika Umar membawa sendiri makanan untuk seorang ibu yang tidak memiliki makan untuk anaknya.
Kepemimpinan sejak Rasulullah SAW hingga Khulafaur Rasyidin mengedepankan kepedulian kepada orang tak mampu (dhuafa). Kepedulian mereka kepada rakyatnya adalah bagian dari ajaran Islam yang diterima Rasulullah dan diajarkan kepada sahabatnya serta masyarakat serta buah dari pemahaman agama yang lurus.
Maka,
untuk menumbuhkan kepedulian, dibutuhkan pemimpin yang juga memahami
agamanya maupun nilai-nilai universal. Karena pemimpin yang memahami
agamanya akan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan
Khulafaur Rasyidin, termasuk Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz
berhasil menjadikan rakyatnya pembayar zakat setelah sebelumnya ia
membagikan zakat kepada rakyatnya. Di samping itu, tata kelola
pemerintahan ia luruskan agar sesuai dengan amanah yang diemban.
Kebangkitan
nasional yang telah dialami masyarakat jazirah Arab di zaman
Rasulullah SAW merupakan inspirasi bagi kita agar kembali mendalami
ajaran agama dan sekaligus menunjukkan kepedulian kepada sesama,
terutama kaum dhuafa.
”Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya” (QS 7:96).
Rasulullah
SAW dan para sahabat telah mengaplikasikan keimanan mereka dengan
peduli kepada kaum dhuafa. Kebangkitan nasional di masa Rasulullah SAW
adalah implementasi dari pemahaman agama yang lurus dan dirasakan
manfaatnya hingga kini.
Meskipun
jazirah Arab juga mengalami kebangkitan nasional setelah tahun 1900,
namun berbeda dengan kebangkitan nasional yang terjadi pada zaman
Rasulullah. Di mana pada saat itu ajaran Islam dipraktikkan dalam
kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Sehingga manfaatnya langsung
terasa oleh masyarakat.
Kebangkitan
nasional akan bermakna ketika tersedia sumber daya manusia yang mampu
membawa perubahan ke arah lebih baik dengan menjunjung nilai-nilai
universal dan menunjukkan keteladanan sehingga terbentuk budaya
organisasi yang menstimulus masyarakat untuk bekerja dengan baik. (*)
Dimuat di Padang Ekspres 20 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar