Bulan
Mei 2008 ini penuh dengan momentum bersejarah yang harus direorientasi
kembali. Pada bulan ini genap 10 tahun usia kejatuhan pemerintahan orde
baru yang dipimpin oleh Soeharto. Pada awal pergantian kepemimpinan
nasional tersebut terdapat harapan baru rakyat Indonesia akan keadaan
yang lebih baik dan adil. Namun ternyata sampai satu dekade belum ada
perubahan yang berarti bagi rakyat, terutama dalam bidang ekonomi dan
kesejahteraan.
Disamping
itu, pada tanggal 2 Mei merupakan hari pendidikan nasional. Untuk
bidang pendidikan, setelah kejatuhan orde baru telah ada peningkatan
anggaran untuk pendidikan yang cukup banyak. Adanya anggaran ini cukup
membantu rakyat yang tinggal di desa karena jumlah nominal untuk biaya
operasional sekolah menyebabkan siswa tidak perlu lagi membayar iuran
sekolah.
Adanya
perubahan UUD 1945 yang memunculkan angka 20 persen untuk anggaran
pendidikan dasar adalah salah satu hasil positif yang didapat setelah
kejatuhan orde baru. Namun sayang, pemerintah nampaknya belum bisa
menggenapkan 20 persen anggaran pendidikan sehingga muncul protes dari
berbagai pihak agar anggaran pendidikan dipenuhi sebesar 20 persen.
Hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa gaji guru termasuk
sebagai anggaran pendidikan.
Kembali
kepada momentum bulan Mei 2008, maka pada tanggal 20 bulan ini genap
diperingati sebagai hari kebangkitan nasional yang berusia 100 tahun.
Usia 100 tahun merupakan usia psikologis yang seharusnya menunjukkan
perbaikan yang berarti. Namun momentum kebangkitan nasional yang
diperingati setiap tahun beralih rupa untuk sekedar seremonial tanpa ada
evaluasi terhadap makna peringatan hari kebangkitan nasional tersebut.
Jika
kita melihat sejarah yang sempat diajarkan di bangku sekolah, tanggal
tersebut adalah tanggal berdirinya Budi Utomo yang merupakan kumpulan
mahasiswa STOVIA, semacam sekolah kedokteran jaman penjajahan Belanda.
Artinya, jika bangsa ini ingin bangkit, rakyatnya haruslah menikmati
kesempatan mengikuti pendidikan yang setinggi-tingginya. Pesan ini jelas
dari berdirinya Budi Utomo tersebut.
Pesan
dari berdirinya Budi Utomo tersebut bisa berbalik bila ternyata yang
bisa menikmati pendidikan setinggi-tingginya itu adalah kalangan elit
saja, sehingga makna kebangkitan nasional akhirnya hanya menjadi isu
kalangan elit dan berpendidikan. Kalangan yang kurang beruntung tidak
bisa memaknai kebangkitan nasional karena mereka akan berpikir korelasi
kebangkitan nasional dengan nasib mereka dan juga nasib bangsa ini.
Manajemen Demokrasi
Dari
ketiga momentum pada bulan Mei ini, dapat ditarik benang merah bahwa
kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia perlu mendapat perhatian
serius dari pemerintah dan juga pihak-pihak yang memiliki pengaruh dalam
maju tidaknya pendidikan di Indonesia.
Era
reformasi sedikit banyaknya telah memberikan ruang bagi berkembangnya
demokrasi. Kebebasan berpendapat secara bertanggung jawab telah
memberikan pengaruh bagi terciptanya kebijakan-kebijakan yang
berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat. Demikian juga dengan
penegakan hukum, khususnya terhadap korupsi, yang telah memberikan
harapan baru untuk mendukung berjalannya demokrasi. Tanpa penegakan
hukum, demokrasi akan sulit berkembang.
Amartya
Sen, penerima nobel ekonomi pernah mengatakan bahwa demokrasi dapat
mengurangi tingkat kemiskinan. Tentunya pendapat Sen ini berdasarkan
fakta yang ia lihat, dan tentunya bukan di Indonesia. Namun demikian,
pendapat Sen ini sangat masuk akal jika diasumsikan para pelaku
demokrasi adalah rasional. Negara-negara maju yang menerapkan demokrasi
telah memperlihatkan adanya tingkat kesejahteraan bagi rakyat dan
tunjangan sosial bagi orang miskin. Dengan tingkat kesejahteraan yang
bagus, partisipasi masyarakat dalam pendidikan juga tinggi.
Momentum
bulan Mei 2008 adalah menggabungkan makna 1 abad kebangkitan nasional, 1
dekade era reformasi dan semangat kepedulian terhadap pendidikan
nasional. Ketiga hal tersebut. Sebagai bangsa, kita ingin bangkit dan
maju. Kita juga ingin agar ada perubahan kearah perbaikan di era
reformasi sehingga SDM Indonesia semakin berkualitas dan dapat menikmati
pendidikan.
Dari
ketiga momentum tersebut, maka yang perlu dimenej dengan
berkesinambungan adalah demokrasi yang berpihak kepada pendidikan
setelah satu dekade reformasi. Dalam satu dekade ini, gejolak politik
berpengaruh terhadap kehidupan rakyat. Pilkada telah dilakukan di banyak
tempat di seluruh Indonesia. Namun belum banyak kepala daerah yang
memperhatikan kualitas SDM wilayahnya. Demikian juga dengan peran partai
politik (parpol) yang semakin kuat dalam era reformasi ini, signifikan
menentukan arah kebijakan.
Perlu
adanya kesadaran kolektif bahwa setiap pemain dalam sistem demokrasi
harus mendukung perbaikan SDM melalui pendidikan. Dukungan tersebut
sangat penting agar ketika terjadi pertikaian atau krisis politik,
pendidikan bisa tetap berjalan dan tidak terpengaruh. Setiap pemain
dalam sistem demokrasi juga perlu mendukung perbaikan pendidikan bagi
orang yang sangat miskin hingga orang yang tidak mampu karena kelompok
ini jumlahnya cukup banyak dan bisa menjadi lingkaran setan bila tidak
mendapat bantuan yang kongkrit dari negara.
Bisakah
terjadi adanya manajemen demokrasi untuk perbaikan pendidikan? Hal itu
terpulang kepada penentu kebijakan dan pemain dalam sistem demokrasi
yang umumnya kaum elit dan berpendidikan. Jika pemerintah, partai
politik, kelompok kepentingan dan kelompok penekan, lembaga swadaya
masyarakat dan unsur lainnya sepakat untuk tidak mengarahkan pendidikan
ke jalan yang lebih buruk dalam kondisi apapun, maka kita akan bisa
melihat nasib rakyat yang lebih baik. Sudah begitu banyak fakta yang
bisa dilihat bahwa semakin baik pendidikan di sebuah negara akan lebih
baik pula kondisi masyarakatnya.
Jakarta, 20 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar